Jumat, Maret 29, 2024

Freedom of Speech atau Freedom of Hate Speech?

M. Irfan Dwi Putra
M. Irfan Dwi Putra
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Konten ini dibuat bersama Edmond Wangtri Putra

Eksistensi media sosial kerap menjadi perbincangan menarik terkait isu kebebasan berpendapat di Indonesia. Hal ini disebabkan karena keberadaan media sosial mengakomodasi seseorang untuk bisa menyatakan pikirannya ke muka publik, bahkan dengan identitas anonim sekalipun. Permasalahan kemudian timbul ketika sebagian orang kemudian menggunakan media sosial untuk memberikan komentar negatif, hinaan, bahkan fitnah kepada orang lain, terutama figur publik. Tak jarang beberapa kasus bahkan sampai diselesaikan di meja hijau.

Isu-isu tersebut pada akhirnya menimbulkan pertanyaan: sejauh mana kebebasan berpendapat dapat diterapkan? Adakah hal-hal yang dapat membatasi kebebasan berpendapat? Terlebih, pesatnya perkembangan teknologi juga pada akhirnya mengakomodasi seseorang untuk dapat menggunakan identitas anonim untuk menyatakan pendapatnya. Benarkah kebebasan berpendapat adalah kebebasan yang tidak memiliki batasan sama sekali?

Jika melihat UUD 1945, kebebasan berpendapat beberapa kali disebut di dalam bab tentang hak asasi manusia. Misalnya Pasal 28 yang menyatakan kebebasan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan yang ketentuannya diatur di dalam undang-undang. Kemudian juga Pasal 28E ayat (3) yang juga menjamin kebebasan seseorang untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Mengacu kepada kedua pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya kebebasan berpendapat di Indonesia dilindungi dan dijamin kemerdekaannya secara konstitusional.

Namun, tentu saja kebebasan tersebut bukanlah tanpa batas. Pada hakikatnya, hak asasi manusia yang dimiliki oleh seseorang akan selalu bersinggungan dengan hak asasi orang lain. Hal ini merupakan manifestasi bahwa meskipun manusia adalah makhluk individu, manusia juga merupakan makhluk sosial yang hidup di lingkungan masyarakat bersama dengan manusia lainnya. Dengan demikian, kebebasan berpendapat pun memiliki batasan yang berkaitan dengan hak-hak orang lain.

Lantas, sebenarnya seberapa jauh kebebasan berpendapat dapat dilakukan? Bagaimana sebenarnya membedakan antara sebuah pendapat dan sebuah hate speech? Terdapat beberapa dokumen internasional yang membahas mengenai kebebasan berpendapat dan pembatasan terhadapnya, yaitu Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Rabat Plan of Action yang membahas tentang pelarangan dari ujaran kebencian terhadap suku, ras, atau agama yang memuat hasutan berbau diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan.

Di dalam Pasal 19 ayat (1) ICCPR, dinyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk  menyatakan pendapatnya. Selanjutnya, dalam ayat (2) juga dinyatakan bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk mencari dan menerima berbagai informasi, baik tertulis, tidak tertulis, maupun informasi yang berasal dari media sosial. Meskipun semua orang bebas untuk berpendapat dan mendapatkan informasi, kebebasan ini sendiri dapat dibatasi. Pembatasan ini diatur dalam ayat (3) yang menyatakan bahwa pelaksanaan dari kebebasan berpendapat dan mendapatkan informasi ini disertai dengan tanggung jawab. Oleh karena itu, kebebasan berpendapat ini bisa dibatasi melalui hukum atau pun keperluan mengenai penghormatan terhadap nama baik seseorang dan perlindungan terhadap keamanan nasional, ketertiban publik, atau pun moral publik.

Sementara itu, Rabat Plan of Action membahas mengenai pelarangan terhadap ujaran kebencian terhadap suku, ras, atau agama yang berbau diskriminasi atau permusuhan. Dalam Rabat Plan of Action, terdapat enam indikator yang menentukan apakah sebuah pendapat merupakan sebuah hate speech atau bukan. Pertama, konteks dari pendapat yang diberikan, apakah dalam hal ini sebenarnya pendapat yang dilontarkan bisa menimbulkan diskriminasi atau kekerasan.

Kedua, posisi atau status dari sang pembicara, misalnya sang pembicara merupakan seseorang yang memiliki pengaruh besar yang tentunya ucapan dari orang ini dapat berdampak besar kepada masyarakat. Ketiga, niat dari pembicara, dalam hal ini perkataan yang diucapkan mengandung hasutan atau anjuran kepada orang lain. Keempat, isi dan bentuk dari pendapat yang diucapakan, di mana isi dari pendapat pembicara mengandung provokasi dan dinyatakan dengan lugas. Kelima, luas cakupan dari pendapat yang dikemukakan, seberapa jauh dan besar masyarakat yang mendengarkan pendapat tersebut. Terakhir, perkataan yang diucapkan memiliki kemungkinan untuk menimbulkan ancaman bagi masyarakat banyak.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kebebasan berpendapat yang meskipun bagian dari hak asasi manusia tetap memiliki batasan, yakni penghormatan terhadap hak asasi orang lain. Seseorang tidak bisa menggunakan dalih kebebasan berpendapat untuk menghina, mencaci, atau bahkan memfitnah orang lain karena hal tersebut sudah termasuk pelanggaran hak orang lain.

Akan tetapi, keberadaan media sosial mengakomodasi setiap penggunanya untuk dapat menyatakan pendapat dengan bebas dan secara anonim atau tanpa identitas. Hal inilah yang kemudian menjadi penyebab banyaknya ucapan-ucapan amoral beredar di media sosial seperti penghinaan, ujaran kebencian, rasisme, hingga ancaman pembunuhan. Media sosial yang memungkinkan seseorang menggunakan identitas anonim ini kemudian menjadi masalah baru. Ketika seseorang mengutarakan pendapat secara anonim, tentunya akan sulit bagi polisi untuk melacak pelaku dari penebar ujaran kebencian tersebut. Hal ini kemudian berimbas pada lemahnya penegakan hukum terhadap ujaran kebencian di media sosial dan berakibat pada maraknya ujaran kebencian yang ada di internet.

Pada akhirnya, pembatasan terhadap kebebasan berpendapat di ruang digital hanya bisa dilakukan dengan dasar kesadaran masing-masing individu untuk menghormati hak asasi orang lain. Setiap individu haruslah memiliki obligasi moral untuk menghormati hak-hak orang lain dalam melaksanakan kebebasannya, terutama kebebasan berpendapat di media sosial. Setiap orang harus mengetahui batasan-batasan dalam berpendapat meskipun ia memiliki kebebasan berpendapat.

M. Irfan Dwi Putra
M. Irfan Dwi Putra
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.