Proses panjang Pilkada DKI yang menyita perhatian publik telah selesai dilaksanakan, dan kini DKI telah mempunyai Gubernur baru. Namun demikian ekses dari pilkada DKI tersebut masih terasa sampai saat ini. Salah satu yang paling mengemuka yaitu adanya fragmentasi dan polariasai kelompok masyarakat yang saling bersebrangan dan berhadap-hadapan. Hal ini tak lepas dari proses penyelenggaraan Pilkada DKI yang dibumbui “SARA”, sehingga ada kelompok tertentu yang menggunakan “propaganda” klise “SARA” untuk menjegal salah satu pasangan calon.
Kelompok tersebut terkooptasi dalam jargon “pemimpin harus seaqidah” “tolak pemimpin kafir” dan lain halnya, sehingga diskursus tersebut menghidupkan kembali pertentangan kelompok fundamentaslis yang menginginkan formalisasi hukum agama (baca : islam) dengan kelompok nasionalis yang ingin tetap berpegang pada hukum positif (Pancasila).
Memang pertentangan dua kelompok ini bukan barang baru, sedari awal sejarah didirkannya Negara Kesatuan Republik Indonesia, dua kelompok tersebut selalu berhadap-hadapan. Hingga pada akhirnya dicapailah kesepakatan untuk menerima Pancasila sebagai dasar / falsafah hidup bangsa. Pancasila yang dalam bahasa Prof. Mahfud MD sebagai kesepakatan luhur (mitsaqon ghalidzo) bangsa Indonesia, merupakan kristalisasi hukum-hukum agama yang ada dan diakui di Indonesia.
Meskipun harus diakui dalam beberapa peraturan perundang-undangan masih menggunakan beberapa produk hukum peninggalan kolonial. Tetapi hal itu dimungkinkan oleh konstitusi kita, dalam UUD NRI 1945 Pasal 1 aturan peralihan menyebutkan “segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Pentingkah Fomalisasi?
Memformalisasi hukum agama berarti menjadikan hukum agama tertenu di legalisasi menjadi hukum yang berlaku bagi seluruh masyarakat suatu negara. Yang menjadi fokus perhatian adalah seberapa pentingkah formalisasi hukum agama kedalam hukum negara? Jika pun penting, hukum agama mana yang akan di legal-formalkan?
Dalam konteks ke Indonesiaan yang berkarakter dan bercorak majemuk (heterogen) termasuk multi etnis, multi agama, multi bahasa, tidak mungkin bisa memformalisasikan hukum agama tertentu menjadi hukum negara. Hal itu dikarenakan dapat menimbulkan gejolak dan penolakan dikalangan masyarakat. Bagi pemeluk agama tertentu yang hukum agamanya dijadikan hukum negara bisa saja menerima, lalu bagaimana dengan penganut agama lain? Apakah akan menerima? Tentu tidak.
Jika yang harus dilegalisasi menjadi hukum negara adalah hukum islam, karena dianggap sebagai agama yang paling banyak dianut di Indonesia, maka apakah islam mengharuskan demikian?. Tentu jawabannya ikhtilaf / debatable. Kalaupun tetap memaksakan untuk memformalisasi hukum islam secara kaffah kedalam hukum negara, yang ditakutkan akan terjadi gejolak di masyarakat, sehingga pada akhirnya akan terjadi konflik horizontal diantara sesama warga negara.
Tentu islam tidak menghendaki hal itu terjadi, adagium ushul fiqh pun sudah secara jelas menerangkan bahwa “menghindarkan kerusakan/kerugian diutamakan atas upaya membawakan keuntungan/kebaikan (dar’u al-mafâsid muqaddam ‘alâ jalbi al-mashâlih).” Jika tujuan formalisasi hukum islam adalah untuk kemaslahatan umat, tetapi selama prosesnya terjadi konflik dan gejolak, maka akan lebih baik tidak diformalisasi sama sekali demi menghindari kerugian/kerusakan dimasyarakat. Satu yang pasti tanpa formalisasi hukum islam pun, yang penting islam tetap menjadi sumber inspirasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Langkah menjadikan agama sebagai sumber inspirasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini telah dipraktekan oleh beberapa partai demokratik di Jerman, inti dari pandangan seperti itu, terletak pada kesadaran bahwa agama harus lebih berfungsi nyata dalam kehidupan masyarakat, daripada membuat dirinya menjadi wahana formalisasi agama yang bersangkutan dalam kehidupan bernegara (Abdurahman Wahid, 2006: 24).
Pancasila adalah solusi
Ketika ada pertentangan antara kelompok fundamentalis yang tetap menginginkan formalisasi hukum agama dengan kelompok nasionalis, maka harus ada wahana untuk menjembatani keduanya. Bersyukrulah bangsa ini mempunyai wahana tersebut, yang terkristalisasi dalam Pancasila. Pancasila sebagai falsafah / dasar negara (Philosophische Grondslag) harus dijadikan pedoman dan landasan dalam berbagai kebijakan yang diambil oleh negara.
Dalam kerangka politik hukum nasional, Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara (vide Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2011), dengan demikian segala peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Namun demikian bukan berarti Pancasila menegasikan sumber hukum agama. Pancasila memberikan tempat pada sumber hukum agama yang dianut oleh rakyat Indonesia untuk dijadikan sebagai sumber hukum materil / bahan hukum bagi produk hukum nasional.
Sebut saja UU Perkawinan (UU Nomor 1 Tahun 1974), UU Perbankan Syariah (UU Nomor 21 Tahun 2008), UU Zakat (UU Nomor 23 Tahun 2011), UU Penyelenggaran Ibadah Haji (UU Nomor 13 Tahun 2008) dan masih banyak lagi undang-undang lain yang konten dan substansinya bersumber dari hukum agama (islam).
Lalu jika masih tetap menginginkan formalisasi hukum agama, sedangkan Pancasila sendiri afirmatif terhadap hukum agama, saya sarankan untuk memperbanyak piknik.
Ispan Diar Fauzi
Mahasiwa Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Suryakancana, Generasi Muda NU, Penikmat Kebhinekaan Indonesia.