Jumat, Maret 29, 2024

Food Estate, Istilah ‘Baik’ dari Deforestasi

Aldi Setiawan
Aldi Setiawan
Penulis Gelandang

Katanya Indonesia hari ini berhasil menurunkan angka deforestasi 75% pada periode 2019-2020, hingga mampu menekan angka deforestasi mencapai 115,46 ribu Ha. Angka tersebut merupakan capaian yang lebih baik daripada tahun 2018-2019 yang mencapai angka 462,46 ribu Ha. Data tersebut diucapkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Hal tersebut merupakan imbas dari usaha yang dilakukan pemerintah seperti, Penyelesaian Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH/TORA), Perhutanan Sosial, Rehabilitasi Hutan dan Lahan dan lain sebagainya. Saya harap data tersebut memang benar adanya dan tentu pemerintah layak diapresiasi.

Selanjutnya dari naiknya tren positif yang sudah saya paparkan di atas, ada hal lain yang mengganjal dan membuat saya menjadi pesimis terkait komitmen pemerintah dalam menekan angka deforestasi. Keganjalan tersebut muncul karena pemerintah mengeluarkan program food estate di beberapa provinsi seperti, di Papua, Kalteng, Sumut, Sumsel, NTT dan tidak menutup kemungkinan akan merambah ke provinsi-provinsi lain di Indonesia.

Legalitas deforestasi dan langkah awal menuju bencana global

Food estate sendiri merupakan “Kawasan Pangan Modern Terintegrasi dan Berkelanjutan” yang nantinya akan menjadi lumbung cadangan logistik strategis Ketahanan Pangan. Yang berbahaya disini, dalam menjalankan program ini pemerintah tentu akan melakukan pembebasan hutan yang kemudian dikonversi menjadi lahan pertanian. Artinya peluang deforestasi akan menjadi ancaman nyata.

Selain itu, program food state juga akan mencederai komitmen iklim NDC (Nationally Determinded Contribution) Indonesia. Pada perjanjian Paris, Indonesia meratifikasi komitmen iklim untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2016. Dalam UU tersebut Indonesia menargetkan pengurangan emisi mencapai 29% dan 41% dengan syarat (dengan dukungan Internasional) pada tahun 2030.

Namun, apa yang terjadi hari ini nampaknya membuat saya kebingunan, dengan alasan pandemi dan ancaman krisis pangan, pemerintah mencoba melanggar komitmennya dengan melakukan program yang bisa mengancam keberadaan hutan.

Luas hutan yang akan terdampak pun bukan main-main, ada sekitar 1,5 juta Ha dan Papua menjadi provinsi yang paling memperihatinkan dengan menyumbang luas hutan hingga 1,38 juta hektare yang siap dieksekusi. Data-data tersebut tentu bukanlah data final. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, kemungkinan perluasan program food estate ini selalu ada. Sehingga luasan hutan alam yang terancam mengalami deforestasi akan bertambah.

Dampak-dampak kecil dari proyek food estate ini nampaknya sudah mulai terlihat. Ada sekitar 700 hektaer hutan Gunung Mas di Kalteng disulap menjadi perkebunan singkong. Sehingga memicu terjadinya banjir karena resapan air berkurang akibat konversi hutan menjadi lahan perkebunan.

Food estate hari ini bukanlah yang pertama kalinya dilakukan di Indonesia. pada zaman presiden Soeharto ada proyek satu juta hektare sawah di lahan gambut di Kalimantan Tengah yang kemudian gagal karena berbagai faktor. Selanjutnya, rice estate di Sumatera Selatan, food estate di Merauke, Bulungan, dan Ketapang yang juga gagal karena hasil tak sesuai harapan.

Ketidakmampuan menganalisa lingkungan dan diberlakukannya modernisasi tanpa pembangunan, membuat segala pengorbanan untuk food estate di masa lampau menjadi sia-sia, dan hal serupa nampaknya akan kembali terjadi saat ini.

Di awali dengan gencarnya deforestasi yang merupakan potret dari pemerintah yang inkonsisten dari pemerintah dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan kemudian akan memicu bencana alam global.

Selain itu, program food estate yang harus mengorbankan hutan juga berpotensi menimbulkan konflik dengan masyarakat sekitar. Bukan tidak mungkin wilayah masyarakat adat ikut terampas demi terselenggaranya program food estate ini. Juga, reaksi dari masyarakat jika bencana alam seperti banjir, longsor, erosi dan hilangnya mata pencaharian.

Di sisi lain jika melihat dari sudut pandang seorang aktivis lingkungan, program food estate dapat mengakibatkan kerusakan ekologi akibat dari deforestasi.

Kita bisa ambil contoh dari Papua. Di mana, program serupa pernah mengalami kegagalan di masa lalu. Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang digagas pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada 2010 hingga kini menyisakan banyak permasalahan.

Wilayah Merauke, Mappi, dan Boven Digoel yang menjadi lahan food estate merupakan wilayah dengan keanekaragaman hayati tinggi. Pada area hutan rawa gambut, ada berbagai flora yang ditemukan seperti sagu, gaharu, gambir, masohi, dan bus. Belum lagi berbagai ikan, babi, rusa, kus-kus dan hewan bertubuh besar lain yang menjadi sumber penghidupan masyarakat adat.

Pilihan

Keputusan pemerintah untuk mengeluarkan program food estate ini sendiri berawal dari kekhawatiran FAO (Food Agriculture Organization) terhadap krisis pangan. FAO mengingatkan kepada negara-negara di dunia untuk bersiap menghadapi krisis pangan yang akan terjadi karena pandemi covid-19 dan kemarau berkepanjangan.

Indonesia sendiri meresponnya dengan menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate.

Namun, selain sederet permasalahan yang sudah saya paparkan di atas ada permasalahan lain yang membuat program food estate ini terkesan dipaksakan. Bahkan menurut Uli Arta Siagian, selaku Direktur Genesis Bengkulu mengatakan bahwa Permen tersebut hanya akan memperkuat dominasi korporasi terhadap kawasan hutan Indonesia.

Masuknya korporasi ke dalam pengelolaan program food estate ini hanya akan membuat kerusakan lebih parah. Pola kerja korporasi yang cenderung eksploitatif dan ekstraktif karena memang tentunya korporat hanya berorientasi pada target tanpa memperdulikan lingkungan.

Selain itu alasan krisis pangan tampaknya sebuah alasan yang tidak rasional. Karena memang meskipun pandemi Indonesia tidak mengalami krisis ketersediaan pangan. Permasalahan pangan hanya berada pada distribusinya. Sehingga akses masyarakat untuk mendapatkan pangan sangat terbatas.

Kekhawatiran pemerintah hari ini merupakan buah dari kegagalan konsep ketahanan pangan. Padahal sejak awal, masyarakat sudah menawarkan konsep kedaulatan pangan yang berkonsentrasi kepada kemandirian dan diversifikasi pangan.

Ketersediaan pangan harusnya dikembalikan kepada para petani di setiap daerah. Pemerintah hanya perlu mendorong dan memfasilitasi petani agar mampu mencapai level swasembada. Lalu tinggal bagaimana pemerintah menyusun strategi distribusi pangan dari para petani hingga mencapai tingkat keluarga. Selain itu, promosi keberlanjutan di semua aspek rantai pasokan pangan dengan memperhatikan sumber daya alam dan kapasitas setempat.

Pemusatan pangan seperti yang diterapkan pada program food estate hanya akan menimbulkan ketimpangan pangan jika proses distribusi tidak maksimal, disamping ancaman deforestasi tadi.

Aldi Setiawan
Aldi Setiawan
Penulis Gelandang
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.