Sains dan teknologi sangat besar peranannya dalam kehidupan manusia. Hampir semua aktivitas manusia memiliki keterlibatan peranan sains di dalamnya. Oleh karena itu, sains terus mengalami perkembangan seiring berkembangnya peradaban manusia. Manusia percaya bahwa kita membutuhkan sains untuk menyelesaikan masalah dunia, terutama di era globalisasi yang merupakan masa keemasan sains yang berkolaborasi dengan teknologi (Feri, 2020). Oleh karena itu, manusia terus berpikir agar ilmu sains dapat dikomunikasikan lebih baik, efektif, dan bermanfaat.
Pengetahuan sains dikonstruksi oleh 3 dimensi penting (Rezba, 1999). Dimensi yang pertama berkaitan dengan isi / konten, konsep dasar, dan pengetahuan ilmiah. Dimensi ini merupakan dimensi ilmu pengetahuan yang menjadi dasar pemikiran (scientific knowledge). Dimensi yang kedua adalah keterampilan proses sains (process of doing science) Dimensi yang ketiga dari ilmu pengetahuan adalah sikap ilmiah (scientific attitude). Dimensi ini mencakup sikap-sikap yang dimiliki seseorang dalam proses sains, antara lain ; rasa ingin tahu, antusiasme, objektif, dll.
Guru fisika tidak mungkin hanya mengajarkan seputar konten, pengetahuan, dan fakta-fakta ilmiah fisika, melainkan juga harus mengajarkan metodologi kerja sains sehingga siswa memahami keterampilan dalam melakukan kerja ilmiah. Pembelajaran menggunakan penggabungan model dan analogi konsep dasar fisika sangat penting diterapkan untuk mengukur seberapa jauh pemahaman siswa terhadap konsep dasar fisika.
Penguasaan keterampilan proses sains memerlukan lingkungan belajar yang mampu mendorong siswa memecahkan persoalan berdasarkan logikanya sendiri sesuai dengan konsep dasar fisika yang telah diperoleh. Lingkungan belajar yang dimaksud mampu mendukung proses pengamatan, pengklasifikasian, perhitungan, prediksi, pelaksanaan eksperimen, dan pengkomunikasian hasil analisa dari sebuah fenomena fisika (Yunansah, 2014). Pengalaman pengamatan terhadap fenomena fisika secara langsung dapat menguatkan pemahaman siswa terhadap konsep fisika yang terjadi dalam kehidupan.
Pada kenyataannya, pembelajaran di Indonesia lebih menekankan pada hasil akhir yang diperoleh siswa, bukan pada prosesnya. Pengenalan dan pendekatan sains cenderung diabaikan sehingga siswa hanya memiliki kemampuan mengolah data secara matematis. (Liliasari, 1996) mengungkapkan bahwa penguasaan konsep IPA (sains) yang rendah disebabkan oleh pola pikir yang rendah pada proses pembentukan konseptual sains.
Banyak rahasia alam yang menjadi latar belakang terjadinya suatu fenomena fisika, beberapa di antaranya sudah dapat dibuktikan dan beberapa masih berupa teori. Oleh karena itu, ilmu fisika menjadi wahana berpikir yang luas untuk mempelajari kejadian-kejadian di alam semesta dan menjadi wahana dalam peningkatan keterampilan proses sains (kemampuan melakukan kegiatan sains secara terstruktur dan sistematis selama proses hingga menghasilkan produk fisika).
Wahana berpikir sudah dimiliki manusia sejak manusia menginjak usia nol. Usia nol sampai enam tahun, otak mengalami perkembangan yang begitu kompleks. Anak cenderung menerima segala informasi melalui kemampuan fungsi alat indranya. Mereka akan belajar banyak hal baru melalui proses meraba, merasakan, mendengar, mencium, melihat, dan berbicara. Hingga ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, manusia tetap akan mempelajari banyak hal di sekitarnya.
Keterampilan proses sains yang perlu dikembangkan sejak usia dini hingga ke pendidikan tinggi (Rustaman, 2003), antara lain : Melakukan pengamatan (observasi), melakukan eksperimen, mengelompokkan (klasifikasi), menafsirkan hasil eksperimen, menerapkan konsep (aplikasi), dan merumuskan hipotesis serta mengomunikasikannya.
Walaupun sains baru mulai diajarkan pada tingkat sekolah dasar, namun keterampilan proses sains dapat diajarkan sejak dini dengan melakukan pengamatan terhadap fenomena-fenomena fisika yang terjadi di dalam kehidupan. Pada usia 0-5 tahun, beberapa topik mengenai konsep dasar fisika yang dapat diajarkan, antara lain : membuat es batu, mengamati zat telarut dan tidak terlarut (sirup dan minyak), bermain bayangan, dsb.
Pada usia 6-12 tahun (setara dengan pendidikan sekolah dasar), keterampilan proses sains terhadap fenomena fisika perlu didukung pemahaman bagaimana fenomena tersebut bisa terjadi, bagaimana proses perubahan setiap harinya, dan dugaan alasan kegagalan eksperimen jika eksperimen tidak sesuai dengan teori atau konsep dasar fisika. Contoh kegiatan, antara lain: Mengamati dan menjelaskan proses pembelokan cahaya, menjelaskan bagaimana membuat spektrum cahaya dan cara kerjanya, pembuatan tapai (proses pembusukan), dsb.
Pada usia 13-19 tahun (setara dengan pendidikan sekolah menengah), keterampilan proses sains terhadap fenomena fisika perlu didukung dengan penggunaan alat-alat yang berperan selama proses eksperimen dan pelatihan mengomunikasikan hasil eksperimen secara lisan dan tulisan. Alat-alat tersebut akan membantu praktikan untuk memperoleh hasil yang lebih akurat serta proses eksperimen berjalan lebih efektif (tepat waktu dan tidak membuang banyak bahan). Salah satu contohnya, anak mengamati fenomena gerak lurus berubah beratusan menggunakan ticker timer lalu mempresentasikan hasil pengamatannya.
Peningkatan keterampilan proses sains pada tingkat mahasiswa bisa dilakukan dengan pembelajaran kontekstual. Sistem pembelajaran kontekstual ini lebih mengarahkan mahasiswa untuk menyusun dan menemukan pengetahuan barunya sendiri, namun tetap diarahkan bapak/ibu dosen sesuai dengan konsep dasar fisika (M. Hosnan, 2014). Selanjutnya, dosen juga membentuk kelompok-kelompok belajar untuk menganalisa dan mengeksplorasi gagasan mereka dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang didiskusikan bersama.
Sains dan teknologi sangat besar peranannya dalam kehidupan manusia sehingga manusia terus memikirkan bagaimana agar ilmu sains dapat dikomunikasikan lebih baik, efektif, dan bermanfaat. Salah satu dimensi penting yang mengkonstruksi ilmu sains adalah keterampilan proses sains, maka upaya mengomunikasikan ilmu sains itu sendiri dilakukan dengan cara meningkatkan keterampilan proses sains melalui fenomena-fenomena fisika sebagai pengalaman belajar bermakna
Sumber tulisan :
Hosnan, M. (2014). Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran ABAD 21 : Kunci Sukses Implementasi Kurikulum 2013. Bogor: Ghalia Indonesia
Noperman, Feri. (2020). Pendidikan Sains dan Teknologi : Transformasi Sepanjang Masa untuk Kemajuan Peradaban. Bengkulu : Universitas Bengkulu Press
Yunansah, Hana.(2014). Fenomena Fisika dalam Mengembangkan Keterampilan Sains Anak Pada Usia Dini [internet]. [Diunduh pada : 27 desember 2020]. Tersedia pada : https://media.neliti.com/media/publications/240637-fenomena-fisika-dalam-mengembangkan-kete-5c9dc4a4.pdf
Rezba. J. Richard, et al. (1999). Learning and Assesing: SCIENCE PROCESS SKILLS. Fourth Ediotion. Kendall/ Hunt Publishing Company
Rustaman, N.Y. (2007). Kemampuan Dasar Bekerja Ilmiah dalam Pendidikan Sains dan Asesmennya. SPS UPI. 27 Oktober 2007. Bandung.
Liliasari. (1996). Beberapa pola berpikir dalam pembentukan pengetahuan kimia oleh siswa SMA. Disertasi PPS IKIP Bandung: Tidak diterbitkan.