Minggu, Oktober 13, 2024

Film Jagal dan Senyap Sebagai Media Pembelajaran Siswa, Berani?

Satriwan Salim
Satriwan Salim
Penulis adalah guru di SMA Labschool Jakarta. Organisasi: Saat ini sebagai Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G); Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia/FSGI (2017-2020); Plt. Ketua Umum Serikat Guru Indonesia/SEGI Jakarta (2017-2020); Pengurus Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Indonesia (AP3KnI); dan Wakil Ketua Umum Asosiasi Guru PPKn Indonesia/AGPPKnI (2019-2024). Karya Buku: 1. Judul: Guru Menggugat! (Penerbit Indie Publishing, 2013) 2. Judul: Guru untuk Republik, Refleksi Kritis tentang Isu-isu Pendidikan, Kebangsaan dan Kewarganegaraan (Penerbit Indie Publishing, 2017)

Pasca penyerangan diskusi yang diselenggarakan di LBH Jakarta, ramai kemudian muncul di media sosial wacana untuk menonton kembali Film G30S/PKI. Diskusi tersebut diadakan LBH Jakarta, merupakan LSM yang bergiat di lapangan hak asasi manusia dan para penyintas 1965.

Film yang pernah menjadi tontotan wajib bagi para siswa sekolah di era 80-90an (era reformasi), saat ini dinilai sebagian masyarakat menemukan momentumnya untuk ditonton kembali. Bagi sebagian masyarakat percaya, jika gerakan neokomunisme sedang bangkit.

Lain halnya dengan kelompok masyarakat yang meyakini bahwa isu tentang neokomunisme yang sedang bangkit itu hanyalan halusinasi politik belaka. Komunisme sebagai ideologi sudah lama hancur, awal tahun 90an menemui ajalnya. Tak ada yang perlu ditakutkan lagi dengan komunisme.

Ideologi yang sudah menjadi hantu. Paranoid sejarah tersebut sengaja dimunculkan, untuk menyerang pemerintahan sekarang. Bahkan isu komunisme ini tak tanggung-tanggung, sering menerpa presiden dan orang-orang istana. Kira-kira demikian gambaran sederhananya.

Lantas, sebagai seorang guru yang tiap hari berkutat di bidang pendidikan khususnya Pancasila dan kewarganegaraan (termasuk sejarah di dalamnya), saya berpikir untuk ikut urun-rembug dalam persoalan laten ini.

Sebagai negara yang sudah menikmati alam demokrasi dibanding era Orde Baru dan Orde Lama, kita sedang berproses menjadi negara yang menghargai hak-hak asasi manusia, kebebasan berserikat, menyatakan pikiran dan kebebasan berbicara.

Diskursus tentang peristiwa 1965/1966 bukan lagi monopoli negara untuk menafsirkannya. Negara juga tak lagi bisa membuat tafsiran hegemonik, atas peristiwa berdarah tersebut. Terbukti dalam buku-buku sejarah di sekolah kita sekarang.

Sudah dibuka berbagai versi interpretasi, apakah betul-betul PKI atau rencana Amerika Serikat? Konflik TNI AD atau jangan-jangan skenario Soeharto, pihak yang merencanakan melakukan pembunuhan para jenderal pada 1965 dan kudeta politik itu? Sekarang, buku-buku sejarah menyajikan varian interpretasi di atas, termasuk di sekolah.

Guru menyampaikan fakta-fakta tersebut, setelah membaca lengkap, menganalisis dan melakukan refleksi, silakan siswa meyakini versi yang mana, itulah realitanya sekarang, terlebih di level SMA. Guru tidak bisa lagi memberikan tafsiran tunggal terhadap peristiwa 1965, sembari memaksakan tafsirannya tersebut kepada siswa.

Jika itu terjadi, inilah yang menurut Pierre Bourdieu (1930-2002) dikenal sebagai “kekerasan simbolik”. Yaitu terjadinya pemaksaan makna, dominasi interpretasi, guru memanfaatkan superioritas dalam struktur terhadap siswa sebagai kelompok inferior. Kekerasan yang tanpa disadari oleh para siswa. Bagi guru yang masih konvensional, tentu cara-cara seperti ini masih lazim digunakan.

Jika orientasinya adalah rekonsiliasi anak bangsa, dalam perspektif kebangsaan, menyuguhkan kembali Film G30S/PKI yang disutradarai Arifin C. Noer seperti model Orde Baru dulu, bukanlah solusi yang tepat. Karena akan mengembalikan ingatan tentang dendam, yang tak berkesudahan.

Tapi jika menonton film tersebut dalam rangka membuka ruang diskursus ilmiah bagi para siswa (juga guru) di sekolah, menonton, memaknai teks & dialog, memaknai peristiwa dan menafsirkan film dari kacamata yang multiperspektif, justru hal ini akan memperkaya khasanah keilmuan guru dan siswa.

Faktanya sekarang adalah para guru sedang berinteraksi dan mengajar generasi yang jauh berbeda jiwa zamannya (zeitgeist) dengan kita. Mereka para Generasi Z, tak lagi memiliki ketergantungan yang akut, bahwa satu-satunya sumber belajar yang legitimatif adalah guru dan buku sekolah saja.

Kecepatan mereka sudah melampui kita para guru, dalam mengakses sumber informasi dan pengetahuan. Sehingga guru bukan lagi sebagai pengendali absolut, dalam menafsirkan suatu persitiwa sejarah.

Akan lebih adil dan bermakna, sebagai media pembelajaran di sekolah, jika suguhan Film G30S/PKI bisa disandingkan untuk ditonton bersama-sama dengan Film Jagal (2012) atau Film Senyap (2014). Keduanya meraih berbagai penghargaan internasional dan disutradarai Joshua Oppenheimer.

Jika tiga film “sejarah” ini bisa disuguhkan di tv nasional sekarang, atau setidaknya media pembelajaran di kelas, saya yakin para siswa (khususnya SMP-SMA) akan memiliki sumber pembelajaran sejarah yang beragam dan menarik. Akan melahirkan diskursus multiaspek, baik dari segi sejarah, ideologi, agama, sastra, sinematografi, sosiologi, budaya maupun psikologi, yang dilakukan oleh siswa.

Tentu ini baik, memberikan stimulus positif bagi pengembangan rasa keingintahuan (curiosity) siswa. Bahkan meningkatkan kemampuan berpikir kritis & ilmiah (menulis ilmiah), dalam bingkai pedagogi kritis.

Tak kalah penting adalah menonton tiga film di atas, mesti didampingi oleh orang dewasa, para guru dan orang tua bisa berperan dalam pendampingan dan pembimbingan. Ditambah sensor yang akurat dari pemerintah, mengingat adanya adegan-adegan kekerasan, sadis dan rokok tentunya, di ketiga film tersebut.

Oleh karena itu bagi saya, wacana menonton Film G30S/PKI yang diperuntukkan bagi para siswa sekolah secara nasional, akan lebih afdhol jika disertai dengan menonton Film Senyap dan Jagal. Agar para siswa yang nota bene generasi bangsa, bisa lebih jujur, terbuka, demokratis, kritis dan bijak dalam memaknai satu persitiwa sejarah.

Bisa saling memaafkan atas dosa masa lalu. Tidak merawat dendam, seperti yang pernah Gus Dur lakukan dan teladankan kepada kita. Karena sejarah adalah guru kehidupan, kata Cicero.

           

Satriwan Salim
Satriwan Salim
Penulis adalah guru di SMA Labschool Jakarta. Organisasi: Saat ini sebagai Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G); Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia/FSGI (2017-2020); Plt. Ketua Umum Serikat Guru Indonesia/SEGI Jakarta (2017-2020); Pengurus Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Indonesia (AP3KnI); dan Wakil Ketua Umum Asosiasi Guru PPKn Indonesia/AGPPKnI (2019-2024). Karya Buku: 1. Judul: Guru Menggugat! (Penerbit Indie Publishing, 2013) 2. Judul: Guru untuk Republik, Refleksi Kritis tentang Isu-isu Pendidikan, Kebangsaan dan Kewarganegaraan (Penerbit Indie Publishing, 2017)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.