Kamis, Juli 10, 2025

Film Gowok Kamasutra Jawa: Representasi Seksualitas dalam Pertar

Novia Ulfa Isnaini
Novia Ulfa Isnaini
Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora UIN KH Ahmad Shiddiq Jember
- Advertisement -

Diskursus mengenai perempuan dan kekuasaan politik telah lama mengakar dalam arus utama study sosiologi dan budaya Indonesia, hingga saat ini dinamika persoalan perempuan dalam kontestasi publik masih sering digaungkan. Tubuh perempuan dianggap menjadi sumber kekuasaan yang memiliki nilai strategis sebagai alat politik dalam memperebutkan kekuasaan. Tercatat dalam sejarah kehidupan politik Indonesia tubuh perempuan dijadikan media untuk menggalang politik baik melalui pembentukan opini publik maupun perilaku seksualitas mereka.

Salah satu bentuk politisasi tubuh perempuan ialah praktik gowok-an yang terpatri dalam film Gowok Kamasutra Jawa (2025). Gowok merupakan budaya klasik yang mempresentasikan pendidikan seksual terhadap masyarakat Jawa pada saat itu, gowok sendiri diperankan oleh perempuan dewasa untuk mengedukasi seksual kepada laki laki muda yang hendak menikah, tradisi tersebut telah lama hadir dalam masyarakat Indonesia sekitar abad ke -2 Masehi. Tak banyak tradisi gowok-an di politisasi oleh kalangan bangsawan dan tokoh elite untuk dijadikan permainan politik sebagaimana yang terserat dalam film tersebut.

Melalui medium sinema, tradisi gowok mencoba hadir kembali kedalam ranah publik untuk menggambarkan budaya klasik Jawa di tengah struktur sosial yang kompleks. Selain itu film tersebut juga memberikan cerminan kembali bahwa tubuh perempuan menjadi struktur yang rentan dalam relasi kuasa antara kelas, gender dan politik keluarga bangsawan.

Representasi Politik atas Tubuh perempuan

Film ini membidik tradisi tabu sosial mengenai praktik pendidikan seksual yang diwariskan secara informal dalam masyarakat tradisional Jawa. Hal ini terlihat dari tokoh tokoh gowok selalu diperankan berdasarkan keahlian dan memiliki pengetahuan mendalam terkait bagaimana membentuk laki laki yang “siap” seksual dan emosional untuk menjalani kehidupan pernikahan. Tidak semua perempuan bisa menjadi gowok karena butuh pelatihan dan proses pembelajaran dari seorang nyai, bahkan jika seorang perempuan telah menjadi figur gowok ia akan terus mengabdi pada tubuhnya yang hanya dipertaruhkan oleh kekuasaan budaya dan politik.

Praktik semacam ini menunjukkan bahwa tubuh perempuan telah lama menjadi cengkraman budaya patrialkal. Sebagaimana yang ditegaskan oleh tokoh feminisme Simone de Behaviour yang dipengaruhi oleh Sartrean Existentialism, ia berpandangan bahwa perempuan sering kali terjebak dalam pola la mauvaise foi atau bad faith. Artinya, perempuan percaya bahwa dirinya terkondisikan dalam esensi yang terproduksi dan kemudian tersosialisasi dalam masyarakat Patriarkis. Hasilnya perempuan tidak bisa menjadi tuan atas diri mereka sendiri dan selalu gagal untuk menjadi subjek yang bebas bereksistensi. Hal ini yang membuat perempuan akan selalu hidup mengikuti tuntutan masyarakat patriarkis dan terasing dari dirinya sendiri.

Selain itu representasi politik seksual juga dikemukakan oleh Michel Foucault (1978), bahwa seksualitas bukan hanya persoalan pribadi atau biologis, tetapi juga merupakan medan kuasa yang dikendalikan oleh norma dan institusi sosial. Narasi yang disampaikan pada film tersebut, peran gowok tidak hanya berhenti pada persoalan reproduksi dan edukatif, ia menjadi alat politik strategis dalam memperebutkan kekuasaan. Keluarga dari calon mempelai laki laki kerap menggunakan jasa gowok untuk mempersiapkan anak mereka dalam menjalankan pernikahan dengan si mempelai perempuan yang statusnya dari kalangan priyayi atau elite pemerintahan, hal ini dilakukan demi mencapai struktur kekuasaan ideal. Tak hanya itu jasa gowok juga dapat menaikkan status sosial keluarga, karena secara fungsionaris pengalaman reproduksi dinilai lebih menjamin dalam membentuk suasana keluarga harmonis.

Praktik Gowok dalam Relasi Gender

Dimensi lain yang diangkat dalam film gowok ialah mengembangkan sistem feodalisme dan maskulinitas, hal ini menggambarkan bahwa hirarki sosial masyarakat di era Jawa klasik sarat dengan ketimpangan relasi kuasa, tidak hanya antar kelas sosial, tetapi juga antara laki-laki dan perempuan. Feodalisme dalam konteks ini tidak hanya memposisikan bangsawan sebagai kelas penguasa, tetapi juga melanggengkan struktur maskulin di mana laki-laki menjadi pusat orientasi kekuasaan, kendali, dan kehormatan.

Kontes tersebut terlihat ketika pengabdi ndalem tidak bisa duduk sejajar dengan tokoh bangsawan, selain itu film ini juga menampilkan beberapa scene yang bias patriarki dengan seringkali beberapa tokoh menyebut istilah lelananging jagad, artinya lelaki utama jagad raya. Dalam konteks seksualitas perempuan yang harus di taklukkan sedangkan laki laki mendominasi, perempuan dijadikan objek sebagai alat pencapaian bagi laki laki atas keperkasaannya dalam melakukan hubungan seks.

Relasi gender yang dibangun dalam narasi film ini bersifat hierarkis. Perempuan ditampilkan sebagai pelatih yang mendidik seksual laki-laki, namun tetap dalam struktur yang dikendalikan oleh nilai-nilai maskulin. Hal ini menjadi semacam paradoks bagi perempuan walaupun memiliki pengetahuan dan kuasa dalam konteks tertentu, tetapi kekuasaan itu tetap berorientasi pada dominasi laki-laki.

Praktik gowok di zaman Jawa klasik menjadi semacam opium bagi laki laki terutama elite bangsawan sekaligus senjata mematikan untuk figur sang gowok, karena hal ini perempuan lebih rentan terhadap resiko tekanan mental, kesehatan reproduksi dan ketimpangan relasi.

- Advertisement -

Eksistensi Gowok di Tengah Moral Modernitas

Memasuki abad modern praktik gowok perlahan mengalami kemunduran dan mulai ditinggalkan, hal ini terjadi karena perubahan sosial, perkembangan norma moral keagamaan, dan habituasi pendidikan ditengah masyarakat Indonesia. Pergeseran tersebut merupakan wujud upaya masyarakat dalam membangun tatanan sosial yang lebih seragam berdasarkan norma keagamaan dan asas pendidikan yang berlandaskan pada nilai kemanusiaan.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Paulo Freire Pendidikan adalah praktik pembebasan. Dalam karyanya Pedagogy of the Oppressed, Freire menekankan bahwa pendidikan mampu membangkitkan kesadaran kritis (conscientização), yaitu kemampuan individu untuk memahami realitas sosial-politik yang menindas dan kemudian bertindak untuk mengubahnya.

Konteks tersebut juga tergambar dalam narasi film bahwa perempuan yang sebagai figur gowok dimana ruang kendalinya terkekang oleh budaya patriarki akan mengalami kesadaran kritis dan mencoba melawan ketertindasan. Kehidupan sang Nyai lebih bahagia ketika ia mulai mengenal pendidikan di sebuah perkumpulan yang ditemuinya. Hal ini mencerminkan bahwa pengetahuan dan pendidikan mampu membawa mereka untuk terus berupaya dalam mengubah paradigma masyarakat.

Disamping itu, manifestasi pendidikan dan norma agama juga berpengaruh positif dalam stigma masyarakat, beberapa diantaranya ialah meningkatnya perhatian terhadap perlindungan perempuan dari potensi eksploitasi seksual yang tersistem dalam budaya masyarakat, meningkatnya kesadaran dalam pengarusutamaan kesetaraan gender, dan membuka ruang bagi praktik baru yang lebih memposisikan perempuan sebagai subyek yang sama sama memiliki otonomi kebijakan dan dihormati secara sosial – lingkungan.

Kekuatan visual yang disajikan benar benar menggambarkan peristiwa 1955-1965 dengan latar Bumiayu, Jawa Tengah. Di padu dengan warna warna yang eksotis dan kostum tradisional Jawa membuat para penonton terhipnotis seakan akan ikut merasakan peristiwa masa lalu. Akting oleh para pemain yang begitu mendalam juga menarik nuansa reflektif terhadap film tersebut. Selain itu, penggunaan bahasa dengan dialek regional seperti bahasa Jawa ngapak khas Bumiayu juga memperkuat kesan tradisi budaya untuk berbicara.

Dari kelebihan yang telah tersampaikan, tentu film ini juga menyimpan berbagai kekurangan. Salah satunya intrik romance yang dibalut terkesan mengaburkan penggambaran kompleksitas struktural profesi gowok. Walaupun demikian film ini tetap menjadi medium yang relevan terhadap persoalan-persoalan gender, budaya dan politik.

Secara keseluruhan, film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo Gowok: Kamasutra Jawa berhasil merepresentasikan betapa ironisnya relasi seksualitas dalam sejarah masyarakat Jawa. Tak sampai disitu, film ini membuka ruang penting untuk merefleksikan ulang dinamika sosial masyarakat terutama sistem feodalisme dan patrarki yang telah lama menindas martabat seorang perempuan.

Novia Ulfa Isnaini
Novia Ulfa Isnaini
Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora UIN KH Ahmad Shiddiq Jember
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.