Sejarah G30S/PKI merupakan salah satu sejarah yang mengandung banyak misteri dan berbagai macam polemik di dalamnya mulai dari pertanyaan siapa dalang sebenarnya dibalik peristiwa tersebut yang hingga saat ini masih banyak kontroversi.
Tragedi G30S/PKI menyisahkan rasa kelam kepada korban yang mengalaminya, terdapat pembunuhan sejumlah jenderal yang kemudian dikubur dalam sumur sempit, yang dikenal dengan sebutan Lubang Buaya. Seperti yang kita ketahui bahwa tujuan utama dari G30S PKI adalah menggulingkan pemerintahan era Soekarno dan mengganti negara Indonesia menjadi negara komunis.
Sejarah G30S/PKI tersebut menjadi momentum yang pahit bagi bangsa Indonesia, sangat disayangkan apabila banyak dari generasi muda yang tidak paham atas terjadinya tragedi tersebut. Jika ingin tahu kronologi yang sebenarnya, maka harus menggali setiap informasi yang ada melalui dokumen-dokumen G30S/PKI salah satunya adalah melalui film yang berjudul “Pengkhianatan G30S/PKI” sebagai dokumenter untuk mengenang peristiwa kudeta versi pemerintahan Soeharto. Pembuatan film G30/SPKI pada saat rezim Orde Baru membentuk opini serta perspektif pada publik mengenai fakta dibalik tragedi yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 untuk menjaga eksistensi NKRI dan Pancasila sebagai dasar negara.
Gatot Nurmantyo, Panglima TNI Jenderal melalui salah satu program mengatakan bahwa adanya pemutaran film G30S/PKI untuk mengajak masyarakat Indonesia agar tidak melupakan sejarah kelam dan mencegah agar tidak terjadi kembali peristiwa yang memakan banyak korban tersebut.“Momentum tragedy 30 September 1965 yang harus selalu mengingatkan bahwa Bangsa Indonesia memiliki sejarah kelam dimana sebuah organisasi melakukan kudeta yang kejam keji, dan biadab, hal ini tidak boleh terulang jadi sepanjang sejarah harus diketahui dari generasi ke generasi”.
Pro dan Kontra Film G30S/PKI
Namun pada kenyataannya dalam pemutaran film G30S/PKI menuai banyak pro dan kontra dari publik yang disertai dengan berbagai argumentasinya. Menurut sebagian pihak yang kontra menganggap bahwa film tersebut tidak akurat dan banyak fakta yang tidak sesuai serta pembahasan mengenai ancaman kebangkitan PKI.
Selain itu terdapat aksi kekerasan yang terlalu di dramatisasi oleh pembuat filmnya sehingga masyarakat yang kontra menganggap bahwa aksi kekerasan tersebut tidak seharusnya dipertontonkan kepada anak-anak karena dapat membahayakan psikologi anak. Adegan kekerasan tersebut mulai dari proses penyiksaan yang dialami oleh para korban dengan cara ditangkap hidup-hidup lalu disiksa hingga mati menimbulkan trauma dari suatu peristiwa negatif di masa silam. Skenario film yang ditulis oleh Arifin C. Noer kala Orde Baru itu dituding sebagai alat propaganda politik. Dilansir dari Jurnal berjudul “
Memori Trauma Dalam Film G30S/PKI:Sebuah Interpretasi Teologis” oleh John C.Simong bahwasannya film tersebut tidak mengandung kebenaran otentik, sehingga banyak kebenaran otentik yang disembunyikan dalam pembuatan film tersebut. Film G30S/PKI dalam nalar edukasi harunya mememuhi beberapa persyaratan diantaranya yaitu bebas dari propaganda politik dan ideologi.
Kedua yaitu berlandaskan kekuatan literasi dengan mengacu pada referensi dan literasi yang sahih secara akademis. Ketiga yaitu mengeliminasi unsur kekerasan (Violence) dalam penyajian ceritanya. Namun pada kenyataannya film “Pengkhianatgan G30S/PKI” dalam perspektif pendidikan tidak layak untuk dipertontonkan karena tidak memenuhi persyaratan film dalam nalar edukasi.
Dalam beberapa adegan filmnya terdapat propaganda politik dimana PKI dijadikan sebuah objek dan Soeharto adalah subjek yang melihat langsung proses pemakamaman para Jenderal yang telah gugur akibat peristiwa G30S/PKI. Sehingga dalam adegan tersebut menggiring persepsi kepada publik akan merasa bangga kepada Soeharto sebagai pahlawan yang menumpas kejahatan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Selain itu ada adegan yang menceritakan penyerbuan di tempat Traaining Center Pelajar Islam Indonesia yang dilakukan oleh PKI, dalam penyajian ceritanya terdapat propaganda politik yaitu penyerangan dilakukan pada waktu shubuh ketika umat muslim melaksanakan ibadah shalat bersama di masjid serta menginjak-injak Al-quran.
Sebagai penonton pastinya merasa sangat marah dan membenci PKI tanpa melihat fakta-fakta yang terjadi sebenarnya. Hal tersebut dibuat karena masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam sehingga mudah untuk membuat mereka terprovokasi. Maka bisa saja film tersebut menimbulkan rasa dendam dan konflik yang akan menghiasi Bangsa Indonesia sekarang dan kedepannya yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Membuat para keturunan PKI yang tidak pernah terlibat apapun masih termarjinalisasi akibat stigma yang berkembang di masyarakat untuk mencegah kembali terjadinya tragedy 30 September yang penuh dengan kegelapan. Namun sebenarnya adanya film tersebut untuk mengenang sejarah yang pernah terjadi agar generasi muda tidak melupakan sejarah pahit yang pernah dialami oleh Bangsa Indonesia.
Terlepas dari berbagai macam pro dan kontra mengenai film “Pengkhianatan G30S/PKI” maka yang jauh lebih penting adalah dengan menerima peristiwa 30 September tersebut dengan cara pandang baru, sebagai sebuah kesempatan dalam menemukan hal-hal yang berbeda dalam sudut pandang dialog nasional dan pertobatan nasional.
Di mana era sekarang membuat masyarakat Indonesia lebih berfikir secara rasional, sehingga film tersebut tidak seharusnya ditelan mentah-mentah melainkan di nalar untuk memunculkan imajinasi baru tentang sebuah panggilan hidup bersama yang lebih baik dan adil. Hal tersebut dapat menyembuhkan goresan luka kepada para korban serta menyembuhkan trauma kolektif yang ada pada Bangsa Indonesia agar memiliki rasa nasionalisme yang tinggi untuk mencegah terjadinya tragedy tersebut. Karena dengan belajar dan memahami sejarah dapat menjadikan pedoman hidup bagi Bangsa Indonesia untuk bisa membela serta mempertahankan Bangsa Indonesia terhadap segala ancaman yang terjadi.