Jumat, Maret 29, 2024

Fenomena Pemakzulan dan Konflik Kekuasaan Bupati Jember

Amirul Wahid
Amirul Wahid
Freestlye Writer dan Ketua Umum Intellectual Movement Community (IMC) IAIN Jember

Lembaga legislatif Kabupaten Jember menuai sejarah baru dalam jagat perpolitikanya. Sejak beberapa dekade lalu, sinergitas antara DPRD dan Bupati Jember selalu berjalan damai. Meski bukan tanpa kendala, namun komunikasi antara kedua aspek pemerintahan kota madya tersebut selalu terbina dengan baik.

Akan tetapi kini, harmonisasi antara keduanya sudah tidak terlihat. DPRD Jember Rabu lalu (22/7), naik pitam dengan mengadakan rapat paripurna Hak Menyatakan Pendapat (HMP) lalu 45 dari 50 fraksi yang ada menyetujui terhadap pemakzulan Bupati Faida.

Hak Menyatakan Pendapat DPRD Jember adalah respon lanjutan terhadap hak angket dan interpelasi yang sebelumnya tidak digubris oleh bupati. Pelaksanaan hak ini dimplementasikan guna menyikapi secara serius pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh saudari bupati.

Tercatat terdapat 10 kasus besar yang telah dilakukan oleh bupati sehingga DPRD setempat harus tegas dalam memberikan efek jera. Beberapa kasus tersebut di antaranya, pelanggaran terhadap sumpah janji dan jabatan, mutasi yang langgar sistem merit dan aturan kepegawaian, dan mutasi ASN dengan menerbitkan 15 SK bupati.

Pemakzulan atau impeachment bukanlah merupakan pencopotan jabatan yang dilakukan oleh lembaga legislatif daerah kepada bupatinya. Impeachment berdasarkan KBBI, berarti proses pendakwaan terhadap dugaan perbuatan pelanggaran hukum yang harus dipertanggungjawabkan oleh pemimpin yang didakwa.

Walaupun bukan merupakan pencopotan jabatan namun dalam hukum pidana, pemakzulan juga berupa proses awal yang mendorong seorang pemimpin agar bisa dicopot. Lembaga legislatif dapat mengajukan dakwaan kepada Mahkamah Agung untuk kemudian ditindak lanjuti.

Sebagai warga Jember, saya melihat terdapat beberapa kepentingan dalam fenomena pamakzulan bupati yang hingga viral akhir ini. Pasalnya, Bupati Faida bukannya tanpa prestasi. Sebagai seorang bupati, Faida dikenal dengan figur humanis dan seorang pemerhati Hak Asasi Manusia. Beberapa waktu lalu, Jember mengadakan pesta humanisme yang diselenggarakan akbar selama beberapa hari. Faida juga merupakan satu-satunya bupati asal Indonesia yang diundang dalam forum PBB untuk membicarakan “Sustainable Development’s Goal”.

Berdasarkan prestasi yang cukup gemilang tersebut, lantas mengapa kini Faida harus ditindak tegas, bahkan secara terang-terang tidak diinginkan kehadiranya oleh Itqon Syauqi, Ketua DPRD Jember? Meski kegagalan Faida dalam pemerintahanya juga tidak dapat ditolerir namun sepertinya terhembus angin politik yang terjadi. Konflik bupati yang tercatat menunjukkan bahwa bupati hanya berjalan sendiri tanpa adanya dukungan legislatif. Hubungan antara badan eksekutif dan legislatif di Jember tampaknya terlihat kurang harmonis.

Fakta yang juga menguatkan ialah tidak hadirnya sang bupati dalam dua kali undangan rapat oleh DPRD secara berturut-turut. Ia selalu menolak untuk hadir sebab beberapa alasan yang terlihat tidak terlalu mencolok sehingga ia bisa absen dari rapat. Misal ketika undangan rapat oleh DPRD terakhir yang berujung terhadap impeachment tersebut. Alasan bupati melalui Jubir Pemkab Gatot Triyono, ialah hanya dikarenakan masa pandemi yang tidak memungkinkan dirinya untuk hadir.

Alasan tersebut lebih menjurus terhadap alibi belaka ketimbang suatu keadaan yang benar-benar urgen. Konteks yang dapat dibaca, dalam pelaksanaan protokol kesehatan pada taraf birokrat, pihak terkait (DPRD) sudah pasti menyiapkan perangkat-perangkat kesehatan khusus yang sudah terstandarisasi. Mereka tidak mungkin asal rapat tanpa perhatian kesehatan yang steril terlebih saat wabah belum usai seperti sekarang. Lantas, alasan menghindari rapat karena pandemi tidak bisa dijadikan jalan keluar.

Gatot dalam harian koran Jawa Pos (24/07), mengklarifikasi bahwa bupati siap menghadiri rapat namun via daring. Hal ini dilakukan guna mengantisipasi lonjakan massa baik dari pihak pro maupun kontra yang bisa saja berpotensi membludak sewaktu-waktu. Ia menilai, partsisipasi melalui daring dapat menjadi alasan yang kuat. Namun, asumsi tersebut sebenarnya juga tidak dapat dibenarkan. Logisnya seperti ini, seorang bupati pastinya mendapat perlakuan serta penjagaan khusus dari aparat. Baik saat terjadi pembludakan massa atau tidak, aparat selalu memberi pengawasan yang ketat dan steril untuk bupati supaya selalu merasa aman.

Demikian, dari analisa fakta singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya memang terdapat hal yang rancu dalam suasana birokrasi regional di Kabupaten Jember ini. Di masa mendekati pemilihan kepala daerah (pilkada) yang baru, hiruk pikuk isu politis memang sarat terjadi. Bisa jadi, terdapat konflik kekuasaan di kalangan atas sehingga meminta perhatian publik. Asumsi ini juga diperkuat dengan keikutsertaan Faida secara independen dalam pilkada 2021 mendatang.

Beberapa pihak mungkin menampik perspektif ini dengan berdalih bahwa proses pemakzulan memang secara murni dilaksanakan sebab kesalahan-kesalahan Faida. Namun, pemakazulan bupati ini sangat erat kaitanya dengan kepentingan politik jelang pilkada. Tidak bisa dipungkiri, pemakzulan Faida berarti juga kontruksi citra negatif terhadap kontestasinya saat pilkada beberapa waktu mendatang. Buktinya, hanya Faida yang menjadi bulan-bulanan massa dan media sementara wakilnya KH. Abdul Muqiet Arif tidak mendapat kabar buruk sama sekali.

Status quo di atas jelas harus masuk dalam perhitungan. Seorang bupati tidak bisa berjalan sendiri tanpa jajak pendapat dengan wakilnya. Menghilangnya kabar wakil bupati tersebut bisa jadi sebab ketidakikutsertaanya dalam pilkada mendatang. Oleh karena itu, citra negatif untuk Faida ini sudah pasti menjadi angin segar bagi para pesaing politiknya. Apalagi dalam beberapa survey, Faida masih mendapatkan suara terbanyak dan ia juga telah ditetapkan oleh KPU sebagai paslon yang sah dalam pilkada 2021 mendatang.

Fenomena seperti ini sudah maklum terjadi dalam kontestasi politik di Indonesia. Hal ini bukan yang pertama kalinya terjadi. Jelasnya, dinamika komunikasi serta manajemen konflik sebelum pilkada memang semakin gencar dilakukan. Hal ini tentunya untuk menaikkan atau menurunkan elektabilitas paslon tertentu demi kepentingan politik golongan yang lain. Oleh karena itu, seorang yang berkecimpung dalam dunia perpolitikan harus berani menanggung resiko yang akan terjadi terhadap citra dirinya bahkan keluarga serta koleganya.

Hemat penulis, di tengah hingar bingar isu politik seperti saat ini, masyarakat seyogyanya tidak serta merta langsung berasumsi terhadap seorang tokoh. Masyarakat yang cerdas atau civil society sebaiknya mengamati pergolakan yang terjadi sampai jelas akar permasalahan yang ada. Jangan mudah tersulut api politik karena tidak ada seorangpun yang sangat bisa kita percaya dalam politik.

Amirul Wahid
Amirul Wahid
Freestlye Writer dan Ketua Umum Intellectual Movement Community (IMC) IAIN Jember
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.