Pemilik nama lengkap Agnes Monica Muljoto belum lama ini menuai kontroversi. Betapa tidak, pernyataannya yang menyebut bahwa dirinya bukan berdarah Indonesia ketika diwawancarai Presenter Kevan Kenney dalam video YouTube Build Series NYC by Yahoo!
Saat ditanya mengenai keberagaman di Indonesia, Agnez menjawab Indonesia memiliki 18 ribu pulau yang masing-masing memiliki kultur yang berbeda. Banyak kalangan, terutama netizen menilai pemilik nama panggung Agnez Mo ibarat “kacang lupa kulit”.
Meski demikian, banyak yang memujinya karena ia berbicara soal keberagaman di Indonesia. Ia menilai, di tengah keragaman orang Indonesia umumnya masih menerima dia yang notabene berbeda turunan, trasidi hingga keyakinan (agama).
Bukan Pengaruh FOMO
Tulisan ini terinspirasi atas tulisan Fahmi Irhamsyah yang berjudul “Agnes Mo dan Fenomena FOMO” di Geotimes, Rabu (11/12/2019) lalu. Hemat saya, dalam tulisan ini, ia memosisikan Agnes Mo sebagai korban dari fenomena Fomo, seperti ini: “Namun Agnez Mo melupakan satu hal yang substansial, yaitu dari sisi sosial. Bahwa keberadannya sebagai WNI tidak berdasarkan dari genetika dan keturunannya, namun berdasarkan tempat kelahirannya. Mengapa Agnez Mo bisa seakan tidak memahami fakta ini? Jawabannya adalah karena fenomena FOMO atau Fear Of Missing Out”.
Bagi saya, saudara Fahmi salah kaprah. Pertama, saudar Fahmi tidak memahami konsep FOMO atau Fear Of Missing Out secara holistik. Ia mengira secara dangkal bahwa dari segi sosial, Agnes seakan takut kehilangan atau terkucilkan dari kehidupan sosialnya, terutama kehidupan industri hiburan.
Padahal, KPrzybylski, Murayama, DeHaan, dan Gladwell (2013) menyebut FOMO sebagai adanya rasa perasaan cemas, gelisah, dan takut akan kehilangan momen berharga yang dimiliki teman atau kelompok teman sebaya, sementara ia tidak dapat terlibat di dalamnya. Lebih lajut mereka menyebut FOMO merupakan salah satu bentuk dari kecemasan yang ditandai dengan adanya keinginan untuk selalu mengetahui apa yang orang lain lakukan terutama melalui media sosial dengan tiga indikator FOMO yaitu ketakutan, kekhawatiran, dan kecemasan.
Dari beberapa literatur disiplin ilmu psikologi menurut Baker, dkk (2016) dalam Jurnal Translational Issues in Psychological Science menjelaskan bahwa mahasiswa dari universitas-universitas besar dari beragam etnik menunjukkan hasil yang positif dari FOMO terkait dengan waktu yang dihabiskan di media sosial. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Al-Menayes (2016) menjelaskan individu yang mengalami FOMO akan terus tertarik untuk menggunakan internet sehingga dapat menyebabkan individu tersebut, cenderung mengalami kecanduan media sosial.
Jika mengacu pada beberapa pengertian dari hasil penelitian di atas, maka fenomena FOMO lebih tepat dialamatkan kepada kelompok orang yang suka bermedia sosial kemudian takut kehilangan simpati dan momen berharga yang dimiliki kelompok sebaya melalui media sosial.
Padahal, jelas-jelas Agnes Mo tidak demikian. Saya tidak menyebut bahwa Agnes Mo tidak memiliki media sosial, tetapi fenomena Agnes tidak bisa digiring secara membabi buta ke arah fenomena FOMO, karena fenomena ini jelas-jelas tidak menunjukan kehilangan di dalam media sosial. Karena itu, bagi saya justru saudara Fahmi yang amat ketakutan terhadap depaknya Agnes Mo di dunia hiburan.
Pemikiran yang amat premature jika dikorelasikan dengan eksistensi Agnes Mo Hari ini. Narasi yang menggambarkan ketakutan Fahmi seperti ini: “…jika anda tidak kreatif maka dengan sendirinya anda harus siap terdepak dari industri ini. simaklah kehidupan Norman Kamaru, Veri (AFI) dan sederet artis lainnya yang pernah meramaikan jagat hiburan tanah air…” Fahmi seakan lupa jika Agnes memiliki prestasi yang didukung dengan kreatifitas tanpa batas.
Coba lihat deretan prestasi Agnes Mo: Presenter anak-anak terfavorit (1999); Aktris Terfavorit pada Panasonic Award (2001 dan 2002); Tiga penghargaan AMI Awards sebagai Artis Pop Solo Terbaik (2004); Karya Produksi Dance/Techno Terbaik, Duo/Group Terbaik (pada duetnya dengan Ahmad Dhani); Most Favorite Female pada MTV Indonesia Awards (2004); Pendatang Baru Terbaik pada Anugerah Planet Muzik di Singapura (2004); Aktris Terfavorit serta SCTV Awards sebagai Aktris Ngetop (2004); Piala AMI Awards sebagai Artis Pop Solo Wanita Terbaik, Produksi R&B Terbaik, dan Desain Sampul Album Terbaik.
Bahkan di tingkat Asia dan dunia, kita juga bisa liat prestasi Agnes menjadi The Best Asian Artist dan the Best Performance pada Asia Song Festival 2009 di Seoul, Korea Selatan, Best Singer dalam ajang Shorty Awards 2012, The Shorty Vox Populi Award dari ajang hingga Shorty Award 2012 yang digelar pada hari Senin (26/3) di Times Center, New York City. Lantas, apakah ini bukan hasil dari kreativitas? Tapi tidak apa-apa, Fahmi memang sedang perhatian dengan Agnes Mo. Artinya, Fahmi tak ingin Agnes terdepak dan kehilangan eksistensi di industri musik dunia atau orang-orang atau fans Agnes di Medsos.
Industri Hiburan dan Nasionalisme
Eksistensi Agnes Mo ketika diwawancarai tak terlepas dari dirinya tengah “naik daun” di industri hiburan dunia. Siapa sangka bekas Penyanyi cilik Indonesia itu kini menjelma di deretan top penyanyi dunia. Kini pelantun “Matahariku” itu sudah dikontrak dan masuk dalam ke label Amerika Serikat, 300 entertainment. Indonesia patut berbangga, karena dalam beberapa kesempatan aktris terfavorit pada Panasonic Award 2001-2002 itu selalu mengampanyekan budaya Indonesia dalam beberapa “show panggungnya”.
Bahkan beberapa video klip lagunya, ia berusaha memasukan unsur budaya dan keragaman Indonesia. Hal itu, hemat saya, agar dunia luar menilai, dirinya amat mencitai Indonesia. Dalam beberapa konser atau saat mengisi acara-acara nasional pun Agnes pun selalu menyanyikan lagu-lagu kebangsaan Indonesia.
Dirinya sadar bahwa Indonesia adalah tempat lahirnya. Tak hanya itu, Indonesia pun telah dan akan menjadi tempat mengais kehidupannya. Meski hari ini ia tengah perlahan meroket di industri musik dunia. Nasionalismenya amat tinggi, meski hari ini kita bisa mengatakan bahwa dirinya adalah warga global, tetapi dia adalah warga global yang tetap berpijak pada kerarifan dan kekayaan Indonesia. Ia eksis karena kualitas diri, prestasi dan kecintaannya terhadap Indonesia. Kualitas Agnes bukan kualitas mencari popularitas dan sensasi. Itu terbukti dirinya jarang sekali “digosipkan negatif” soal kehidupan pribadinya.
Ditengah olokan, kritik, kecaman bahkan cemooh dari orang-orang, dirinya justru membalasnya dengan menunjukkan prestasi. Ya, prestasi di industri hiburan. Karena itu, hemat saya, Keberhasilan dan kegagalannya di industri hiburan dunia, akan ditentukan oleh sikap dan prestasinya yang go internasional, bukan ditentukan oleh “upaya sensasional” serta ketakutannya soal fenomena FOMO. Salam.