Jumat, Mei 3, 2024

Fenomena Bunuh Diri: Risk Society Era Modernitas Kedua

Hidayati Hidayati
Hidayati Hidayati
Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Bangka Belitung

Beberapa bulan terakhir, kasus bunuh diri menjadi headline yang sering muncul di berita. Misalnya saja dalam dua bulan terakhir, publik dikejutkan oleh tiga orang mahasiswa—dari perguruan tinggi berbeda—di Nusa Tenggara Timur yang bunuh diri pada bulan Oktober lalu.

ARD (24) ditemukan tewas gantung diri di kamar kosnya di Kupang; AL (26) nekat mengakhiri hidupnya dengan cara melompat dari jembatan Liliba, Kupang; sementara R (24), mahasiswi di Ruteng, ditemukan tewas gantung diri di kamar mandi.

Menyusul pada bulan November, siswa SMP, FF (12), di Cirebon nekat bunuh diri pada 5 November lalu. Menyusul, seorang bocah SD usia 10 tahun di Pekalongan nekat bunuh diri pada 24 November lalu karena dilarang main hp. Belum lagi kasus bunuh diri seorang PNS Bidan di Kabupaten Takalar, Sulsel pada 27 November. Baru-baru ini, Seorang ASN Pemkot Cilegon, MIW (37) ditemukan tewas gantung diri di teras belakang rumahnya pada 5 Desember. Kemudian menyusul seorang mahasiswa semester 7 yang berasal dari Kep. Riau ditemukan tewas gantung diri di kamar kos temannya di Sleman pada 6 Desember.

Fakta di atas menunjukkan bahwa saat ini tindakan bunuh diri sangat rentan dilakukan oleh kelompok anak dan remaja peralihan menuju dewasa. Walaupun tidak ada data spesifik mengenai kelompok usia pelaku bunuh diri, namun data dari Pusiknas (Pusat Informasi Kriminal Nasional) dan KPAI mencatat angka bunuh diri yang cukup mencengangkan. Hingga 18 Oktober 2023, pusiknas mencatat telah terjadi 971 kasus bunuh diri.

Sementara KPAI mencatat sepanjang tahun 2023, setidaknya ada 12 anak yang melakukan bunuh diri. Beragam motif menjadi alasan bagi tindakan bunuh diri, misalnya stres akibat tuntutan tugas kuliah/skripsi/ beban kerja yang tinggi, depresi karena diputuskan pacar, ataupun kecewa hanya karena hp disita dan dilarang bermain hp oleh orangtua. Terlepas dari berbagai alasan dan motif yang menyebabkan para pelaku bunuh diri, tentu saja fenomena ini bukan lagi menjadi masalah yang bersifat pribadi, melainkan telah menjadi suatu masalah sosial yang kompleks dalam masyarakat modern.

Ulrich Beck, seorang sosiolog Jerman, menyebut masa ini sebagai era modernitas kedua. Istilah modernitas kedua ini digambarkan oleh Beck (1992) sebagai bentuk modernitas baru yang berkaitan dengan masyarakat berisiko (Risk Society).

Bila di awal era modernitas—modernitas klasik, masalah utamanya berkaitan dengan bagaimana cara mendistribusikan kekayaan secara merata, namun pada era modernitas baru—modernitas kedua, masalah utamanya adalah risiko akibat perkembangan teknologi di era modernitas klasik beserta bagaimana cara mencegah dan meminimalkan risiko tersebut.

Konsep Risk Society (masyarakat berisiko) dari Ulrich Beck ini menyoroti perubahan sosial dalam masyarakat modernitas kedua yang didominasi oleh risiko. Risiko erat kaitannya dengan sistem dan proses perubahan yang terjadi di dalam sebuah masyarakat. Beck dalam bukunya Risk Society: Towards A New Modernity (1992), menjelaskan 3 macam risiko (risk) dalam masyarakat, yaitu (1) risiko fisik-ekologis dalam bentuk kerusakan alam dan lingkungan; (2) risiko sosial dalam bentuk munculnya berbagai penyakit sosial dan immoralitas; serta (3) risiko mental dalam bentuk abnormalitas, perilaku menyimpang dan kerusakan psikologis.

Tindakan bunuh diri termasuk dalam risiko mental sebagai akibat dari modernitas baru. Seperti kita ketahui, modernitas ditandai dengan kemajuan teknologi, globalisasi, dan kompleksitas interaksi sosial. Masyarakat modern saat ini dikelilingi oleh berbagai risiko, termasuk risiko terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan psikologis individu. Kelompok usia anak dan remaja menuju dewasa saat ini adalah mereka yang paling rentan melakukan bunuh diri sebab harus menghadapi berbagai tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Persaingan akademis yang ketat, paparan terhadap citra sempurna di media sosial, dan ekspektasi yang berat dari lingkungan kerja, akademis maupun sosial-ekonomi merupakan sebagian dari tekanan yang membebani kelompok tersebut. Salah satu poin penting dari teori Risk Society adalah bahwa risiko-risiko ini tidak hanya terletak pada individu, tetapi juga terbentuk oleh struktur sosial dan dinamika masyarakat. Kita melihat bagaimana norma-norma yang ditetapkan oleh masyarakat, ekspektasi yang dihasilkan oleh lingkungan, dan tuntutan yang diterapkan oleh sistem, semuanya dapat menjadi faktor-faktor yang memperbesar risiko bunuh diri.

Oleh karena itu, upaya untuk mengatasi maraknya tindakan bunuh diri saat ini harus melibatkan intervensi yang lebih luas, bukan hanya pada tingkat individu, tetapi juga pada tingkat sosial dan struktural. Langkah-langkah konkret yang dapat diambil di antaranya melalui pendidikan yang holistik, advokasi, dukungan kebijakan publik, serta dukungan sosial dan emosional.

Pendidikan holistik berarti pendidikan yang tidak hanya terfokus pada aspek akademis saja, tapi juga memberikan pemahaman tentang kesehatan mental, resiliensi, dan keterampilan mengelola tekanan emosional bagi anak dan remaja. Selain itu, perlu dilakukan advokasi guna mendorong kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan mental, serta menghapus stigma terkait gangguan mental, baik di lingkungan sekolah, keluarga, maupun masyarakat.

Pemerintah juga turut memiliki andil dalam menyusun kebijakan publik yang mendukung aksesibilitas terhadap layanan kesehatan mental bagi remaja serta memperkuat sumber daya yang mendukung kesehatan mental di masyarakat. Tidak kalah penting, dukungan sosial dan emosional dalam bentuk jejaring sosial dan lingkungan yang mendukung, di mana anak dan remaja maupun dewasa merasa aman untuk berbicara dan mendapatkan bantuan saat mereka menghadapi tekanan emosional.

Maraknya kasus bunuh diri saat ini menjadi panggilan untuk memperhatikan kompleksitas tantangan sosial yang dihadapi oleh masyarakat modern. Melalui perspektif teori Risk Society Ulrich Beck, kita diajak untuk melihat bahwa perubahan sosial dan dinamika masyarakat juga berperan penting dalam menciptakan lingkungan yang bisa mendukung kesehatan mental. Tentu saja kerja sama dari berbagai pihak sangat diperlukan untuk membantu individu yang berisiko sehingga mampu menekan laju pertumbuhan angka bunuh diri di dalam masyarakat.

Hidayati Hidayati
Hidayati Hidayati
Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Bangka Belitung
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.