Senin, April 29, 2024

Faktor Lokal Membentuk Pelucutan Senjata dan Reintegrasi Libya?

Timotius Gita
Timotius Gita
Mahasiswa studi Hubungan Internasional

Apa yang terlintas dalam benak kita ketika melihat permasalahan keamanan di Timur Tengah dan Afrika? Memang kawasan ini  penuh dengan konflik  yang kompleks,  Libya sendiri menjadi topik yang cukup menarik, dimana tanpa forum yang dimediasi secara internasional, keberhasilan upaya disarmament, demobilization and reintegration (DDR) di Libya akan tetap terisolasi, dan pembicaraan mengenai reformasi sektor keamanan antara otoritas negara Libya dan donor internasional akan terus berlanjut dengan tujuan yang berbeda-beda.

Kelompok-kelompok bersenjata di Libya dianggap sebagai hambatan utama dalam penyelesaian konflik, namun akan menjadi sebuah kesalahan jika kita memisahkan kelompok-kelompok tersebut dari konteks lokal mereka.

Perjuangan Libya dalam satu dekade setelah pemberontakan yang berujung pada penggulingan Muammar Gaddafi sudah banyak diketahui. Di tingkat nasional, terjadi dua konflik besar. Pada tahun 2014, yang menyebabkan perpecahan pemerintahan dan munculnya otoritas yang bersaing di bagian timur dan barat negara tersebut, dan pada tahun 2019-2020 ketika Libyan Arab Armed Forces (LAAF) pimpinan Marsekal Khalifa Haftar berupaya merebut Tripoli.

Namun kekerasan juga terjadi secara lokal, terutama dalam pertempuran berdarah untuk menguasai Benghazi, dan juga di wilayah lain di negara itu, dari Kufra di tenggara hingga Ubari dan Sebha di barat daya. Perang wilayah antar pesaing di kota-kota besar terus berlanjut, dengan kejadian di Tripoli mendominasi liputan berita internasional.

Mendefinisikan aktor dan kelompok bersenjata ini merupakan sebuah tantangan. Sebagian besar kelompok bersenjata secara formal berafiliasi dengan negara Libya namun pada kenyataannya tidak tunduk pada otoritas rantai komando formal negara tersebut, sehingga banyak yang beroperasi dengan otonomi yang signifikan.

Secara lebih luas, unsur-unsur formal negara Libya dikendalikan oleh sejumlah aktor yang saling bersaing dan jaringan sosial mereka yang luas. Hal ini berarti bahwa negara Libya tidak dapat dianggap sebagai aktor kesatuan, dan ini menunjukkan mengapa kebijakan lembaga-lembaga formal negara cenderung mencerminkan kepentingan parokial dari jaringan yang mengontrol lembaga-lembaga tersebut, dibandingkan kepentingan nasional negara yang lebih luas.

Hubungan antara pemegang jabatan eksekutif dan kelompok-kelompok ini sangat bergantung pada hubungan interpersonal dibandingkan sistem dan proses yang dilembagakan. Kaburnya garis batas ini membuat perbedaan antara aktor-aktor ‘negara’ dan ‘non-negara’ menjadi problematis.

Sektor keamanan Libya kemudian digambarkan sebagai sektor ‘hibrida’, karena aktor-aktor bersenjata di Libya mempunyai satu kaki di dalam dan satu lagi di luar struktur formal negara. Namun, hal ini juga membawa kompromi bahwa organisasi-organisasi ini beroperasi di wilayah negara dan non-negara, terjadilah pemisahan yang sewenang-wenang antara negara formal dan masyarakat lainnya. Hal ini menciptakan perpecahan biner yang salah di beberapa wilayah di Timur Tengah dan Afrika Utara, dimana banyak aktor yang menikmati kekuasaan negara. Libya adalah salah satu konteksnya, seperti yang diilustrasikan terhadap kelompok bersenjata di Misrata, Zawiya dan Zintan.

Keberhasilan DDR aktor bersenjata bergantung pada upaya security sector stabilization (SSS) dan Security Sector Reform (SSR). Penilaian kebutuhan yang tepat terhadap sektor keamanan Libya harus diikuti dengan konsensus politik tentang bagaimana memenuhi kebutuhan ini melalui pengembangan kekuatan, sebelum jalur demobilisasi dan perlucutan senjata dapat ditentukan.

Proses DDR berkontribusi pada upaya stabilisasi pembangunan perdamaian, dan menciptakan lingkungan di mana proses perdamaian, rekonsiliasi politik dan sosial, akses terhadap mata pencaharian dan pekerjaan yang layak, serta pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, proses DDR harus dilihat sebagai bagian integral dari upaya untuk mengkonsolidasikan perdamaian dan meningkatkan stabilitas.

Dengan tidak adanya SSR dan SSS yang berarti, DDR mungkin dianggap prematur di Libya, terdapat sejumlah bukti yang memperingatkan pandangan tersebut.

Pertama, situasi di Libya tidaklah statis. Sektor keamanan di negara tersebut terus berkembang pesat, dengan banyaknya anggota baru yang mendaftar untuk bergabung dengan kelompok bersenjata yang berafiliasi dengan negara maupun tidak. Dinamika seperti ini menunjukkan dengan jelas bahwa para pembuat kebijakan tidak dapat menunggu situasi pasca-konflik untuk mulai merencanakan DDR.

Kedua, krisis yang sedang berlangsung mencerminkan proses pembentukan negara yang berkelanjutan, sehingga intervensi kebijakan di bidang keamanan harus menjadi bagian dari proses tersebut untuk mencapai tujuan utamanya. Dalam hal ini, terdapat tanda-tanda kemajuan.

Kementerian Tenaga Kerja telah ditugaskan untuk mengembangkan program DDR, sementara komunitas internasional seperti PBB mengevaluasi konsep pra-DDR sebagai langkah stabilisasi transisi tingkat lokal yang dirancang bagi mereka yang memenuhi syarat untuk program DDR nasional.

Namun, terdapat beragam penafsiran mengenai apa yang dimaksud dengan pra-DDR, dan diskusi sering kali meluas hingga mencakup unsur-unsur yang lebih tradisional dikaitkan dengan DDR itu sendiri, seperti pengelolaan transisi senjata dan amunisi serta pengurangan kekerasan masyarakat.

Ketiga, tren dalam DDR bergerak ke arah pendekatan program yang lebih luas dan menjauhi intervensi terbatas yang memerlukan proses secara linear dan bertahap. Pembelajaran yang muncul dari negara-negara MENA menunjukkan bahwa DDR yang lebih beragam dan kuat layak untuk dipertimbangkan.

Berbeda dengan pemrograman DDR tradisional, DDR generasi berikutnya berisi komponen-komponen yang sangat relevan dengan konteks Libya. Seringkali hal ini dimulai sebelum perjanjian perdamaian ditengahi, dengan cakupannya lebih luas, mulai dari intervensi terbatas hingga kegiatan yang berhubungan dengan tujuan pembangunan nasional yang berkaitan dengan SSR, keadilan transisi dan upaya pembangunan negara. Hal ini dipahami sebagai proses politik dinamis yang ditentukan oleh kondisi lokal.

Timotius Gita
Timotius Gita
Mahasiswa studi Hubungan Internasional
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.