Penusukan oleh sepasang suami-istri terhadap Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto, Kamis (10/10) merupakan salah satu bentuk evolusi serangan terorisme.
Kalau kita cermati, pola dan aksi serangan terorisme mutakhir berbeda dengan serangan teror sebelumnya. Bila serangan terorisme dahulu lebih banyak didominasi oleh kalangan laki-laki dan cenderung berkelompok, maka saat ini, perempuan bahkan anak-anak juga turut dilibatkan dan serangannya pun cenderung bersifat individu.
Aksi ini merupakan cara baru yang dinilai efektif, karena teror yang dilakukan dengan cara senyap, diam-diam dan mendadak, membuat upaya penanganan menjadi lebih rumit. Apalagi,suatu operasi teror yang terbatas, targeted,bukan massal atau acak sebagaimana dialami Wiranto adalah bentuk dari taktik yang oleh kelompok ekstremis disebut ightiyalat.
Jenis operasi ini sudah digelorakan oleh kalangan ekstremis Indonesia sejak satu dekade lalu, terutama mulai dilirik sejak munculnya beberapa kelompok kecil ekstremis setelah lumpuhnya organisasi teror besar, Jemaah Islamiyah (JI).
Menyasar Musuh Dekat
Dalam sejarah teror sebelumnya di Indonesia, kelompok ekstremis cenderung lebih menyasar “musuh jauh”, dalam hal ini Amerika Serikat dan sekutunya serta simbol-simbol Barat. Rangkaian serangan teror yang merepresentasikan hal itu antara lain serangan Bom Bali I (2002), Bom Bali II (2005), Bom JW Marriot (2003), Bom Kedubes Australia (2004), dan Bom Kuningan (2009).
Namun demikian, konsep ini berubah terutama sejak sepuluh tahun terakhir, dari menarget “musuh jauh” menjadi “musuh dekat”, yakni simbol-simbol negara seperti aparat keamanan dan pejabat pemerintah.
Peristiwa teror dalam dua tahun terakhir misalnya, dalam kerusuhan di Rutan Cabang Salemba di Kompleks Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, yang berlanjut hingga terjadinya aksi bom bunuh diri di sejumlah daerah, yakni di tiga gereja dan Mapolresta Surabaya, unit Rusunawa Sidoarjo, serta di Mapolda Riau.
Bahkan di awal tahun 2019 ini, bom meledak di rumah Husain alias Abu Hamzah di Kabupaten Sibolga. Aksi teror bom juga terjadi di Pos polisi Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah jelang berakhirnya bulan Ramadhan.
Sejumlah aksi di atas, dilakukan oleh individu atau kelompok kecil yang melibatkan keluarga, dan sebagian besar menyasar aparat dan simbol negara. Taktik mandiri ini paling memungkinkan dilakukan oleh pelaku jihad individual (atau kelompok kecil) yang kapasitasnya masih rendah untuk melakukan serangan teror besar.
Doktrin toghut(setan) terhadap aparat dan pejabat negara menjadikan mereka sasaran yang sah untuk diserang karena dianggap menghambat tujuan untuk mendirikan khilafah.
Menariknya, evolusi terorisme juga terjadi dari pelakunya. Bila sebelumnya aksi teror dilakukan oleh kelompok laki-laki, namun saat ini perempuan pun juga dilibatkan, sebagaimana penyerangan yang terjadi di tiga gereja di Surabaya, Sibolga dan terakhir penyerangan terhadap Wiranto.
Keterlibatan perempuan ditengarai karena beberapa faktor. Pertama, pergerakan perempuan biasanya lebih leluasa dibanding laki-laki dan cenderung tidak terlalu dicurigai oleh aparat keamanan, sehingga nilai keterlibatan perempuan jauh lebih tinggi. Kedua, perempuan memiliki daya tarik tersendiri bagi media massa, terutama di era media sosial.
Laporan mengenai keterlibatan perempuan dalam aksi-aksi dramatis tersebut bisa memperkuat makna perlawanan kaum teroris sekaligus meningkatkan simpati kepada mereka. Ketiga, keterlibatan perempuan sesungguhnya untuk menggugah semangat laki-laki untuk menjadi jihadis.
Pesan yang ingin disampaikan adalah kalau perempuan saja bisa melakukan amaliah, maka laki-laki seharusnya lebih bisa. Pesan ini memaksa laki-laki agar lebih berani, meski melanggengkan streotipe yang berlaku.
Bagi pelaku teror, aksi serangan teror secara individu dengan melibatkan perempuan dan keluarga dinilai efektif karena tidak mudah diidentifikasi oleh pihak berwenang. Sebaliknya, bagi aparat penegak hukum, kondisi teror yang dilakukan oleh individu atau sekelompok kecil keluarga membuat penanganan terorisme di Indonesia makin rumit. Teror yang dilakukan sekelompok kecil orang justru makin sulit untuk dideteksi gerak-geriknya karena pola pergerakan mereka yang personal.
Dangkalnya Ingatan Publik
Hal yang patut disayangkan dari peristiwa yang menimpa Wiranto adalah sebagian publik masih ada yang menganggap dan mencibir bahwa serangan tersebut merupakan konspirasi dan drama. Tidak hanya itu, ungkapan tak simpatik terhadap korban (Wiranto) juga bermunculan di media sosial.
Bahkan, sebagian menuduh tidak mungkin pejabat penting negara bisa ditembus oleh pelaku individu seorang warga. Hal ini sesungguhnya menunjukkan dangkalnya pengetahuan publik terhadap sejumlah rentetan teror di Indonesia.
Sebagaimana diketahui, pejabat negara sebagai target serangan bukanlah hal yang baru dalam sejarah teror di Indonesia. Tahun 1957 misalnya, serangan teror berupa pelemparan granat menyasar Presiden Soekarno ketika ia menghadiri perayaan hari jadi ke-15 sekolah Rakyat Tjikini, tempat putra putrinya bersekolah.
Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) terlibat dalam penyerangan itu. Rencana serangan juga pernah terjadi terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2009, namun gagal setelah terbongkar dalam penggerebekan sel teroris di Jatiasih, Bekasi.
Ledakan bom yang terjadi di Plaza Atrium tahun 2001 juga terungkap adanya rencana operasi pembunuhan terhadap Presiden Megawati Soekarnoputri, yang ketika itu tengah memimpin rapat DPP PDI-P tak jauh dari tempat ledakan.
Menurut Omar al-Faruq, pejabat senior Al-Qaeda yang dipenjara di AS, rencana serangan terhadap Megawati adalah yang kedua kalinya setelah rencana pertama tahun 1999 gagal karena logistik yang belum memadai. Yang paling tampak adalah serangan terhadap Wakil Ketua MPR, Matori Abdul Djalil yang terkena bacok pada tahun 2000 oleh jaringan kelompok radikal.
Beberapa fakta tersebut menunjukkan bukan hanya kali ini saja kelompok ekstremis menyerang pejabat negara. Namun demikian, di era media sosial ini, mencermati respon publik terhadap suatu serangan teror sesungguhnya cukup mudah.
Apabila suatu serangan teror memakan korban masyarakat biasa, maka publik secara otomatis akan langsung menuai kecamannya kepada teroris. Walakin, bila serangan teror itu memakan korban aparat atau pejabat pemerintah, maka masih ada sebagian publik yang mempertanyakannya, sebagaimana terjadi dalam kasus terakhir.
Tampaknya kelompok ekstremis belajar dari fenomena kecaman tersebut dan mencoba untuk merebut legitimasi publik di tengah melemahnya dukungan moral publik terhadap pemerintah. Di sinilah pentingnya bagi aparat dan pejabat negara untuk merawat kepercayaan dan legitimasi publik, karena memenangi hati dan pikiran publik luas adalah kunci dari keberhasilan upaya kontra-terorisme.