Jumat, Oktober 11, 2024

Evaluasi Menuju Pemilu 2019

Gerry Katon Mahendra
Gerry Katon Mahendra
Dosen Administrasi Publik Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta

Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2018 baru saja dilaksanakan. Tepat pada 27 Juni 2018 lalu sebanyak  171 daerah, yang terbagi menjadi 17 Provinsi (pemilihan gubernur) 39 kota (walikota) dan 115 kabupaten (bupati) secara serentak akan memilih kepala daerah masing-masing yang dipercaya guna memimpin daerahnya selama 5 tahun mendatang.

Pilkada serentak tersebut menjadi pilkada serentak yang dilaksanakan untuk ketiga kalinya dalam kurun 10 tahun terakhir setelah pada tahun 2015 dan 20017 lalu Indonesia juga menggelar pilkada serentak.

Meskipun secara umum pilkada serentak tahun 2015, 2017, dan 2018 berjalan dengan baik dan tidak meninggalkan konflik berkepanjangan, namun tetap saja terdapat beberapa catatan evaluasi yang diharapkan dapat menjadi acuan perbaikan dalam pelaksanaan pemilu, khususnya pemilu 2019 mendatang.

Berdasarkan sumber dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) terdapat beberapa catatan evaluasi yang harus diperhatikan bersama selama gelaran pemilu serentak tahun 2015 dan 2017.

Terkait integritas manajemen pilkada utamanya yang berkaitan dengan anggaran. Pertama, polemik pencalonan dalam ajang pemilu sebagai akibat dualisme kepengurusan beberapa partai politik.

Hal ini masih ditambah dengan berbagai laporan gugatan dan sengketa pencalonan yang berakibat pada penundaan pemiliu dii lima daerah; Pembiayaan beberapa jenis kampanye justru dianggap sebagai salah satu penyebab menurunnya tingkat partisipasi masyarakat di pilkada serentak 2015.

Seperti diketahui berdasarkan UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah dalam Pasal 65 ayat 2 disebutkan bahwa dari tujuh model kampanye, sosialisasi ke masyarakat, kampanye dalam bentuk debat publik, penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga, dan iklan media massa dibiayai negara.

Pembatasan ini membuat pasangan calon hanya memiliki ruang gerak yang terbatas dan berujung pada ketidakmampuan menarik massa secara masif; Dalam UU No. 8 Tahun 2015 penyandang disabilitas mental tidak diberikan hak pilih. Hal tersebut tentu saja bertentangan dengan azas keadilan dan azas representasi masyarakat secara menyeluruh.

Terkait dengan evaluasi pelaksanaan pemilu kepala daerah serentak tahun 2018, terdapat bebeberapa evaluasi yang harus menjadi perhatian dan perbaikan menuju pemilu legislatif dan presiden tahun 2019. Pertama, masih terdapat aturan normatif yang melahirkan multitafsir baik oleh peserta pemilu maupun penyelenggara pemilu.

Kedua, terkait dengan daftar pemilih tetap (DPT). Contoh kasus di Makassar, dimana terdapat 35.000 pemilih ganda. Masalah ini muncul karena pemilih yang belum melakukan perekaman KTP elektronik (e-KTP) dalam DPT tidak dikategorikan sebagai pemilih yang sudah memenuhi syarat yang belum memiliki e-KTP atau pemilih yang belum masuk ke DPT.

Ketiga, masih banyaknya laporan dugaan politik uang yang antara lain terjadi di Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sumatera Utara, Lampung, Bangka Belitung, Kalimantan Tengah, Banten, Jawa Barat dan Jawa Timur.

Keempat, terkait dengan isu SARA, meskipun tidak sangat massive sebagaimana terjadi pada pemilu sebelumnya, namun isu SARA masih saja terjadi pada gelaran pilkada serentak 2018. Pengawasan terhadap isu SARA di media sosial dinilai masih sangat lemah. Otoritas pengawas pemilu dinilai masih belum optimal mencegah dan menindaklanjuti pihak yang melemparkan isu SARA, terutama melalui media sosial.

Hal lain yang sempat disorot dalam upaya persiapan menyambut pemilu 2019 adalah terkait dengan kekompakan pemerintah untuk satu suara dengan KPU. Utamanya, terkait dengan hak politik mantan napi koruptor, sebelumnya pemerintah sempat mengeluarkan pernyataan yang menyebutkan bahwa mantan koruptor masih memiliki hak untuk mencalonkan diri menjadi anggota legislatif. Hal tersebut yang kemudian menimbulkan pro dan kontra ditengah masyarakat.

Namun pada akhirnya melalui peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten atau kota masalah tersebut dapat diputuskan dengan jelas. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 7 Ayat 1 huruf h yang berbunyi “bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi”.

Hal tersebut dengan jelas melarang mantan terpidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Satu contoh diatas sudah selayaknya dijadikan pembelajaran sebagai upaya memperkokoh keselarasan persepsi dan komitmen penyelenggaraan pemilu.

Berbagai evaluasi yang berhasil disimpulkan melalui pilkada serentak jilid I, II, dan III tersebut diharapkan pemerintah dan KPU selaku otoritas utama penyelenggara pemilu mampu mengambil intisari dan bersinergi melakukan upaya perbaikan penyelenggaraan pemilu 2019 sedini mungkin.

Dengan masa kampanye yang akan dimulai pada tanggal 13 Oktober 2018 sampai dengan 13 April 2019, maka percepatan rencana tindak lanjut evaluasi pelaksanaan pemilu harus segera diwujudkan. Keselarasan persepsi dan komitmen menjadi sangat penting guna mewujudkan penyelengaraan pemilu yang berlandasakan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sehingga mampu menghasilkan anggota legislatif dan pemimpin bangsa yang bersih, profesional, dan berkomitmen tinggi.

Gerry Katon Mahendra
Gerry Katon Mahendra
Dosen Administrasi Publik Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.