Jumat, Maret 29, 2024

Etika Siar Berita

Hadiri Abdurrazaq
Hadiri Abdurrazaq
Editor dan penulis lepas | Menjelajah dunia kata | Merangkai kalimat | Menemukan dan menyuguhkan mutiara makna

Berita terkait peristiwa-peristiwa sosial, hukum, politik, ekonomi, keagamaan, seni budaya, gaya hidup, dan lain sebagainya melumuri jagat media, mewarnai peradaban dengan berbagai sudut pandang. Motif, misi, metode, dan media siar pun beragam.

Ada berita disuguhkan sebagai sajian murni seturut fakta apa adanya, dan tak sedikit yang disuguhkan dengan opini tertentu untuk tujuan tertentu. Bahkan ada berita yang dibuat-buat, sering kali disiarkan dengan agitasi dalam rangka kampanye atau propaganda tertentu.

Meski demikian, tak dimungkiri berita merupakan bahan utama pengetahuan, dan berperan amat penting bagi kemajuan umat manusia. Karena itu, metode dan media siar terus mengalami perkembangan.

Kebebasan media plus kemajuan teknologi informasi menciptakan era dunia tanpa batas (borderless world era). Kita bisa menyiarkan berita “apa saja” setiap saat kita mau, kadang tanpa peduli apakah berita itu benar sesuai dengan fakta apa adanya atau hanyalah kebohongan belaka; apakah berita itu memberi nilai manfaat atau justru menimbulkan mudarat; apakah berita itu layak diketahui publik atau tidak; dan sebagainya?

Setiap berita memberikan dampak bisa positif dan bisa negatif. Berita tentang kesuksesan dan kemajuan seseorang, suatu lembaga, komunitas, atau suatu bangsa bisa menjadi inspirasi dan motivasi untuk dijejaki di satu sisi, meskipun tak menutup kemungkinan di sisi lain karenanya tumbuh kecemburuan, keirian, dan kesirikan.

Berita mengenai kekerasan fisik berupa penyiksaan, sadisme, dan aneka horor lainnya potensial menjadi teror, namun bisa juga menumbuhkan kewaspadaan. Berita mengenai kelemahan, aib, dan kebobrokan seseorang bisa menimbulkan antipati. Meski demikian, bisa pula jadi cermin.

Menyikapi Berita

Apakah semua berita yang diketahui boleh disiarkan? Rasulullah Saw bersabda, “Cukuplah seseorang berbuat bohong dengan membicarakan segala apa yang ia dengar” (HR Muslim)—dalam riwayat lain, “Cukuplah seseorang berbuat dosa dengan membicarakan segala apa yang ia dengar..

Sabda Rasul Saw tersebut mengisyaratkan tidak semua berita boleh disiarkan. Merujuk Imam al-Syatibi (w. 790 H) dalam kitab al-Muwâfaqât, penulis Tafsir al-Mishbâh, Quraish Shihab memaparkan bahwa tidak semua apa yang diketahui boleh disiarkan, meskipun hal itu merupakan bagian dari ilmu syariat dan bagian dari informasi tentang pengetahuan hukum.

Ada berita yang harus disiarkan—kebanyakan dari ilmu syariat demikian—dan ada bagian yang tidak seharusnya disiarkan, atau bisa disiarkan setelah melalui berbagai pertimbangan mengenai keadaan, waktu, sasaran dan/atau objek dari berita dimaksud. Quraish Shihab mengemukakan rumus menyangkut siar berita seperti berikut:

Paparkanlah apa yang akan diberitakan kepada tuntunan agama. Kalau dalam pertimbangan agama sudah dapat dibenarkan, maka perhatikanlah akan dampaknya mengenai waktu dan masyarakat. Jika pemberitaannya dilihat tidak akan menimbulkan dampak negatif, maka paparkan lagi ke dalam benak, untuk meminta pertimbangan nalar.

Jika nalar memperkenankan, maka boleh untuk disiarkan kepada khalayak; atau cukup disampaikan kepada orang-orang tertentu saja apabila berita dimaksud tidak sewajarnya menjadi konsumsi umum.

Sedangkan jika berita dimaksud tidak sesuai setelah melalui tahapan-tahapan seperti tersebut, maka mendiamkannya adalah pilihan terbaik. Dengan cara ini, kemaslahatan agama dan akal bisa dijaga.

Rumusan tersebut dikemukakan menyangkut tafsir Surah al-Nisâ’ (4) ayat 83, dan sangat kontekstual dengan situasi dan kondisi kekinian.

Dan apabila datang kepada mereka suatu persoalan tentang keamanan atau ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Seandainya mereka mengembalikan hal itu kepada Rasul dan ulil-amr di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amr). Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu).

Menurut banyak mufasir, ayat tersebut turun berkaitan dengan penyebaran berita-berita negatif dan bahkan bohong mengenai satuan-satuan pengintai yang dikirim Rasulullah Saw untuk menyelisiki pergerakan musuh di masa-masa perang. Berita-berita negatif dan bohong kerap menyebar kala itu sehingga menimbulkan keresahan di kalangan kaum muslimin.

Adapun berita bohong dan isu yang tidak diketahui sumbernya jelas terlarang untuk disiarkan. Dinyatakan dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim—melalui al-Mughirah bin Syu‘bah ra—bahwa Rasulullah Saw melarang penyebaran isu, yakni banyak membicarakan sesuatu yang diomongkan oleh orang-orang tanpa melalui pencermatan, perenungan, dan klarifikasi.

Hadits lain riwayat Muslim dan Tirmidzi—juga melalui al-Mughirah bin Syu‘bah ra—menegaskan, “Siapa berbicara dengan sesuatu yang ia lihat sebagai suatu kebohongan, maka ia adalah salah satu kawanan pembohong.”

Perspektif lain mengenai latar belakang turunnya ayat tersebut dikemukakan Abu al-Fida’ Ismail bin Umar Ibn Katsir al-Qurasyi al-Dimasyqi—dalam Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm—merujuk hadits panjang riwayat Bukhari dan Muslim melalui Umar bin Khaththab ra, (yang intinya) bahwa tersiar kabar kalau Rasulullah Saw telah menceraikan istri-istrinya. Mendengar berita ini, Umar tak sabar dan ingin segera mangetahui perihal kebenarannya. Maka ia mendatangi beliau untuk meminta klarifikasi.

Dalam hadits riwayat versi Muslim diceritakan: Umar bertanya kepada Rasul Saw, “Apakah engkau menceraikan mereka?” Beliau menjawab, “Tidak.” Kata Umar, “Maka aku berdiri di depan pintu masjid, dan berseru dengan suaraku yang tinggi, ‘Rasulullah Saw tidak menceraikan istri-istrinya…’” Lalu turun ayat tersebut.

Keterangan ayat ini mengisyaratkan akan pentingnya etika siar berita, dan menyangkut hal-hal sensitif hendaknya dikembalikan (diklarifikasi) kepada orang dan/atau lembaga yang berwenang (ulil-amr) sehingga tidak timbul keresahan karenanya.

Dalam konteks kekinian saat mana berita memiliki peran vital dan menjadi menu harian publik dengan teknologi informasi di tangan, sangat penting bagi setiap orang untuk benar-benar memerhatikan etika siar berita. Jika tidak, dunia ini akan makin disesaki fitnah-fitnah dan menelurkan kebencian demi kebencian, yang alih-alih membawa kedamaian, justru menimbulkan kesemrawutan dan kekacauan. Wallâh al-Musta‘ân

Hadiri Abdurrazaq
Hadiri Abdurrazaq
Editor dan penulis lepas | Menjelajah dunia kata | Merangkai kalimat | Menemukan dan menyuguhkan mutiara makna
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.