Minggu, Oktober 6, 2024

Etika Dokter Negeri Tetangga

M Tasrif Mansur
M Tasrif Mansur
Dokter PNS

Sebagai seorang dokter, saya tertarik untuk ikut membahas kehebohan cuitan Kiky Saputri mengenai dokter Indonesia yang dinilai keliru mendiagnosis penyakit dan penilaian kualitas dokter Singapura yang lebih baik dibanding dokter Indonesia.

Cuitan itu mendapat dukungan begitu banyak dari netizen Indonesia, tidak hanya dari mereka yang merasa memiliki pengalaman yang sama, namun juga yang kurang suka dengan attitude dokter Indonesia yang dia temui, yang mungkin terkesan sok penting. Ya, diskusinya memang jadinya kemana-mana. Namanya juga medsos. Yang ingin mengetahui konteksnya apa, silahkan cari sendiri di Twitter rata googling di internet, ya.

Ini bukan kisah yang pertama. Sudah banyak pasien-pasien yang pernah berobat ke luar negeri bercerita kepada keluarga, teman-teman, bahkan ke pasien lain mengenai bedanya pengalaman berobat di Singapura atau di Malaysia. Terutama para pasien yang duitnya sudah habis dipakai berobat di luar negeri, lantas kembali berobat di Indonesia dengan menggunakan BPJS. Tentu saja rasanya berbeda.

Mungkin saya tidak ingin berapologi lagi mengenai masalah disparitas fasilitas kesehatan di negeri tetangga dan di Indonesia, atau juga perbedaan pembiayaan pelayanan kesehatannya, atau bahkan gaji dokternya. Kalo kata Farel : “Wongkongene kok dibanding-bandingke, saing-saingke, yo mesti kalah.” Pula penjelasan ini tampaknya tidak mengubah pandangan mereka yang memang sudah terlanjur bermental inferior mengenai negeri sendiri.

Saya lebih ingin fokus pada bagaimana etika kesejawatan dokter-dokter yang mereka temui di luar negeri sana; dokter yang dengan ringan mengatakan, “diagnosis dokter kamu di Indonesia salah!”, obatnya salah!”, dan atau “dosis yang diberikan keliru”.

Dalam ilmu etika kedokteran, ada yang dinamakan asas otonomi pasien, dimana pasien bebas untuk menentukan pelayanan yang dikehendakinya, termasuk kebebasan untuk memperoleh informasi medis dari penyakit yang dideritanya. Mulai dari internet hingga mendatangi dokter berbeda.

Terkadang ada perbedaan pendapat. Sayangnya, bila perbedaan pendapat itu itu disampaikan dengan bahasa atau bahkan gestur yang kurang tepat, akan menyebabkan ketidakpercayaan pasien pada salah satu dokter. Akhirnya dari mulut ke mulut, hal ini bisa berkembang menjadi ketidakpercayaan masyarakat. Hal ini tentu sangat merugikan dokter tersebut.

Sebagai sesama dokter ada golden rule yang kami pegang terkait kesejawatan, yaitu memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia ingin diperlakukan. Seorang dokter harus menahan diri dari ucapan atau perkataan yang membuat teman sejawat lainnya terlihat rendah atau buruk, terlebih di depan pasien. Bila ada dokter yang menjelekkan teman sejawatnya di depan orang lain, maka sesungguhnya ia bukan dokter yang baik.

Jadi sesungguhnya sumber masalah dari testimoni Kiky Saputri itu adalah buruknya etika kesejawatan dokter yang ia datangi di Singapura tersebut, meskipun tidak berpengaruh terhadap kualitas pelayanannya. Fenomena seperti ini tidak hanya ditemui di negeri tetangga, melainkan juga di dalam negeri. Banyak dokter di Indonesia yang juga melakukan ini. Mereka yang di rumah sakit menertawakan diagnosis dokter puskesmas. Mereka yang bekerja di kota menyalahkan terapi yang diberikan dokter di daerah. Dan pada banyak situasi lainnya.

Kadang secara tidak sadar bercelutuk, kadang juga dengan sadar karena merasa lebih hebat. Dokter-dokter seperti ini biasanya tidak memiliki hubungan yang baik dengan sejawat lainnya dan kurang mampu bekerja sama dalam suatu organisasi atau tempat kerjanya. Mereka tidak sadar pentingnya menjaga hubungan antar sejawat. Apalagi jika sejawatnya berasal dari luar negeri yang dia anggap tidak akan dia temui seumur hidupnya.

Apakah ini berarti dokter selalu menutup-nutupi kesalahan sejawatnya? Bukan seperti itu. Kami selalu percaya bahwa tiap sejawat yang membuat diagnosis atau memberikan terapi memiliki pertimbangan sendiri terhadap situasi dan kondisi pasien yang dia hadapi saat itu. Saat pertama kali datang ke dokter yang pertama bisa jadi masih dalam tahap awal sehingga gejala klinisnya kurang begitu khas, tapi ketika datang ke dokter berikutnya gejala-gejala lainnya keluar semua, akhirnya diagnosis berbeda.

Bisa jadi juga saat datang ke dokter yang pertama kondisinya sangat buruk sehingga membutuhkan obat-obat dengan dosis tinggi, namun begitu datang ke dokter kedua kondisinya sudah membaik sehingga tidak perlu lagi obat-obat yang banyak dan berdosis tinggi. Informasi yang disampaikan ke dokter yang satu dengan dokter yang lainnya bisa jadi tidak sama atau kurang lengkap, sehingga akan berbeda dalam mengambil suatu kesimpulan. Dan beribu kemungkinan lainnya. Karena ilmu kedokteran memang sedinamis itu.

Kembali pada masalah awal. Jadi bukan salah Kiky Saputri bila menyebutkan diagnosis dokter di Indonesia keliru, karena itu-lah informasi yang ia dapatkan dari dokternya di Singapura. Dan para dokter Indonesia tidak perlu terlalu banyak menghabiskan energi untuk membela diri, karena sekali lagi substansi masalah kasus ini adalah congor dokter Kiky di Singapura yang lepas dari etika.

Masyarakat tak perlu khawatir mengenai kualitas dokter Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia yang begitu besar (yang berarti jumlah pasien juga pasti banyak) menjadi jaminan bahwa jam terbang dokter-dokter kita jauh lebih tinggi dibanding dokter di Singapura dan Malaysia.

Namun kembali lagi, semua pilihan ada pada masyarakat. Sebagai pasien, masyarakat tentu ingin mendapatkan yang terbaik untuk kesembuhannya. Sugesti adalah salah satu penentu penting kesembuhan pasien. Maka pilah-pilah lah informasi yang dapat mempengaruhi sugesti Anda.

M Tasrif Mansur
M Tasrif Mansur
Dokter PNS
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.