Sejak dinyatakan erupsi pada Selasa, (1/12/2020), aktivitas Gunung Semeru belum menunjukkan tanda akan berhenti dari batuknya. Laporan terbaru dari Kompas.com, (7/12/2020), saat ini, terdapat 25 warga yang terkena Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) akibat menghirup abu vulkanik yang dimuntahkan Gunung Semeru. Perasaan was-was akan datangnya banjir lahar juga menjadi kekhawatiran tersendiri bagi warga sekitar Kecamatan Pronojiwo dan Candipuro, yang telah hidup ditengah bayang-bayang letusan Semeru. Maklum, kedua wilayah itu yang paling merasakan dampak bila “tiba-tiba Semeru muntah”.
Salah satu dampak “yang paling tidak bisa dilupakan” oleh mereka ialah ketika erupsi pada tahun 1994. Arsip koran Surabaya Post, Kamis, (3/2/1994) yang saya temukan, menulis, letusan Gunung Semeru telah menelan 7 korban, yakni 5 tewas sedang 2 lainnya dinyatakan hilang. Menurut Kirman, M.E., pimpinan proyek penanggulangan bencana Gunung Semeru waktu itu, Pada Kamis pukul 03.40 WIB terjadi guguran lava dan longsoran awan panas dari puncak Kawah Jonggringsalaka, bertemperatur lebih dari 2.000 celsius, menerjang desa Sumbersari, Kec. Pronojiwo, Semeru Selatan. Bahkan, ujung luncuran itu sampai mengarah ke selatan kampung Curah Kobokan.
Belum sampai disitu, Jum’at, (4/2/1994), gelontoran lahar panas yang melintasi Besuksat hingga Kali Rejali telah membuat ribuan warga di Dusun Karangkoso, Gunung Banyak, Gunung Sari, Gunung Gundul Kec. Candipuro dan Desa Sumbersari Kec. Pronojiwo terkurung lahar panas. Jebakan lahar panas itu telah melumpuhkan kegiatan masyarakat karena tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasanya.
Menurut tim Surabaya Post, Peristiwa ini termasuk langka, sebab bencana Semeru yang selalu menimbulkan korban jiwa selama ini diakibatkan karena banjir lahar dingin yang diguyur hujan. Sementara peristiwa ini diakibatkan lahar panas yang menerjang perkampungan warga dengan jarak 25 kilometer dari puncak.
Balita dalam Bungkus Semen
Dari ribuan korban, mungkin keluarga Nyoman punya kesan yang sangat mendalam. Ketika gelegar lava yang bercampur batu mengepung rumahnya. Apa yang dilakukan empat orang di rumah itu? tulis tim Surabaya Post (4/2/1994). “Saya hanya berpelukan, kalau satu mati yang lain juga mengalami hal yang sama,” kata Nyoman.
Sementara Ny. Yayuk dan dua putranya, Yayuk Suhartini (10) dan Besti Putu Murti (6 Bulan) mengaku pasrah. Ketika mau keluar mereka tidak berani. Tangis cemas menyelimuti mulai pukul 02.00 dini hari sampai pukul 05.00. Untungnya lavanya sempat reda. Waktu itu, Ny. Yayuk seolah mempunyai perintah dari nuraninya supaya berjalan ke barat, “ternyata dari situ saya selamat,” kenangnya.
Ny. Yayuk bercerita bahwa putranya yang masih balita itu dibungkus kertas sak semen “Saya mengira dia sudah meninggal dalam bungkusan, ternyata ia selamat ia ngunyu-nguyu (tertawa),” tambahnya.
Bekas Lahar Jadi Lahan
Untuk mencegah adanya jumlah korban di masa mendatang, Pemerintah Daerah Lumajang merencanakan mengubah lokasi bekas daerah yang dialiri lahar panas, seperti Dusun Sumbersari, Rowo Baung, dan Sumber Urang menjadi lahan pertanian. Tekad itu disampaikan langsung oleh Bupati Lumajang saat itu, Tarmin Hariadi, saat berkunjung ke lokasi bencana. Pertimbangannya, ketiga dusun itu dinilai rawan dan tidak mustahil jika tetap dijadikan hunian akan mendatangkan korban jiwa lagi di masa depan, karena lokasinya yang paling dekat dengan Gunung Semeru.
Pertimbangan lain, daerah itu dulunya merupakan tanah hak milik Perhutani yang tergolong subur. Setelah terjadinya bencana erupsi, belum diberikan rincian bagaimana teknis pelepasan tanah warga yang dialiri lahar. Dari 1.475 ha areal pertanian di Sumbersari, 1.300 ha di antaranya bersertifikat. Itu belum termasuk di Urang, dan Rowo Baung. Camat Pronojiwo saat itu, Drs. Abd. Kahar dan Kabag Kesra Drs. Hasan Aris menjelaskan, lokasi bencana itu akan tetap digarap warga, namun tempat tinggal mereka pindah ke lokasi aman. Rencananya, lahan itu digunakan untuk tanaman kentang, disamping dijadikan pilot proyek Asparagus.
Transmigrasi ke Kalimantan
Pemerintah daerah Lumajang mengingatkan, ancaman Gunung Semeru yang dikenal aktif, akan selalu datang sewaktu-waktu. Itu karena, daerah rawan pada radius 173,7 km, yang ditetapkan Dinas Vulkanologi, akan menjadi sasaran ancaman fisik terdepan, kendati bisa saja jadi ancaman tak terduga letusan Gunung Semeru.
Karenanya, beberapa daerah yang berada di dekat “mulut Semeru”, pada (15/2/1994), dinyatakan ditutup oleh Pemerintah Kabupaten Lumajang. Sejumlah petugas pada saat itu terus menjaga pintu masuk desa yang telah luluk lantak akibat lahar panas. Pengosongan itu dilakukan karena pada hari Minggu (13/2/1994), Semeru kembali “meminta” dua korban. Yakni, Prusser Lumban Torus, yang disinyalir wartawan majalah Sarinah Jakarta dan Pak Siti warga Pronojiwo Lumajang. Jika dijumlahkan, ada 9 korban tewas akibat letusan Gunung Semeru pada 1994.
Nah, Karena Pemerintah Daerah Lumajang menyatakan beberapa daerah harus ditutup. akhirnya warga seperti Dusun Sumber Urip bersedia ditransmigrasikan. Dengan catatan, dari 55 KK (275 Jiwa), yang diberangkatkan dulu 12 KK (52 Jiwa), yang lain menunggu laku nya ternak mereka dan membereskan harta benda. Warga yang akan ditransmigrasi, pada Senin sore akan diangkut dengan kendaraan truk menuju gedung transito Lumajang. Dari sini, mereka akan ditransmigrasikan menuju daerah Galam, Ratah Kab. Banjar Kalimantan Selatan.*