Jumat, Maret 29, 2024

Erdogan dan Visi Kepemimpinan Islam Global

joewilliam
joewilliam
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan, penggemar studi politik keamanan dan regionalisme ASEAN.

Teror penembakan masjid di Christchurch pekan lalu menimbulkan tindakan proaktif dari Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan. Ia memberi ultimamum terhadap Selandia Baru bahwa tindakan tersebut adalah tantangan yang menciderai Turki secara personal.

Baginya, tindakan teror Selandia Baru adalah suatu hal personal yang menciderai persatuan Muslim secara kolektif. Fenomena ini seolah mengkonfirmasi tujuannya yang ingin membawa Turki menjadi pemimpin poros Islam secara global. Tetapi, dalam prosesnya ia justru semakin banyak berkonflik dengan dunia internasional.

Dengan Pihak Barat, Turki terlibat ketegangan dengan Jerman terkait dugaan dukungan terhadap percobaan kudeta tahun 2016 hingga perang dagang dengan Amerika Serikat pada pertengahan tahun 2018.

Kemudian, saat Qatar diembargo secara ekonomi oleh koalisi Negara Teluk pimpinan Arab Saudi tahun 2017, Turki justru meningkatkan intensitas bantuan finansial dan militer kepada Qatar. Akibatnya, Turki masuk kedalam jurang krisis diplomatik dengan mayoritas negara kawasan seperti Mesir, Arab Saudi, dan UAE.

Dapat diartikan adanya fenomena bahwa Turki tidak segan untuk bertentangan baik dengan pihak Barat maupun Timur Tengah. Sangat berbeda dengan pendahulunya yang justru bermain aman dan pro-barat.

Polemik kebijakan Turki yang dijuluki ‘Fenomena Erdogan’ ini membawa sejumlah spekulasi baru. Adanya pendapat bahwa pada awal jabatannya, Erdogan mempuyai legitimasi pemerintahan dan dukungan yang lemah. Sehingga, ia menggunakan prinsip populisme dan menggaet kaum konservatif. Dengan cara, meninggalkan ideologi sekularisme Kemalisme dan bermanuver dalam meraih kepemimpinan Islam. Mari kita lihat terlebih dahulu latar belakang Turki sebelumnya.

Fenomena Erdogan

Dalam sejarahnya, Turki Utsmani mengalami pelemahan hingga diberikan label “The Sick Man of Europe” pada akhir abad 19. Ditambah lagi, terdapat partisi pembagian Turki Utsmani oleh Bangsa Barat pasca PD I yang menjadi aib terbesar Bangsa Turki modern.

Melihat peluang dendam historis mayoritas rakyatnya, Erdogan yang sejak awal merupakan aktivis perjuangan Islamisasi Turki berusaha untuk membangkitkan kembali kejayaan Turki Utsmani dalam konteks modern.

Ia membuat visi Turki 2071, dalam mengenang 1000 tahun Pertempuran Manzikert yang notabenenya sebagai titik puncak kejayaan Seljuk (Turki Modern) atas seantero kekaisaran Bizantium. Visi 2071 Berisikan capaian kejayaan ekonomi, industri, dan sisi kekuatan pengaruh religiusitas Islam sebagai aspek terpentingnya.

Motivasi terbentuk visi Turki 2071 tak lain akibat timbulnya peristiwa kerusuhan Taman Gezi tahun 2013. Protes ini ditandai pembentukan gelombang oposisi gabungan, baik elemen moderat hingga mayoritas pemuda yang antipati dan hampir menumbangkan rezim Erdogan.

Perlu diketahui bahwa dalam klasifikasinya, identitas kaum di Turki terbagi menjadi 3 golongan besar. Yang pertama adalah kaum konservatif religius dengan jumlah prakiraan 60% populasi.

Kedua adalah kaum sekular Kemalisme atau sosial liberal dengan jumlah sekitar 25-30% dengan basis partai RPP (Partai Republikan Rakyat). Terakhir, adalah etnis Kurdi yang mempunyai basis partai sendiri (Partai Demokrasi Rakyat/HDP) dan telah sejak lama mengibarkan pemberontakan.

Dampaknya, Erdogan sadar perlunya unifikasi kaum konservatif religius Turki demi membangkitkan legitimasi pemerintahan. Sebelum tahun 2013, suara kaum konservatif terpecah antara loyalis AKP dan sayap ultranasionalisme lainnya seperti MHP (Gerakan Nasional) yang rawan akan serangan kaum Kemalisme. Demi menghindari peristiwa Gezi terulang kembali, ia mengobarkan semangat kebangkitan Turki yang religius dengan perlahan menyingkirkan pengaruh Kemalisme, atau dikenal dengan julukan ‘Fenomena Erdogan’.

Manuver Ideologi 

Laiklik atau sekularisme paham Kemalisme telah sejak lama ditanamkan Turki. Ditambah dengan faktor xenophobia pasca PD I terhadap seluruh negara tertangganya, membuatnya mengadopsi sifat isolasionis sistematik dan disintegrasi regional, baik ke Eropa maupun Dunia Islam Timur Tengah. Namun saat Perang Dingin, ia memilih untuk berafiliasi dengan Barat dan terlibat aktif dalam kegiatannya seperti formasi NATO, pembangunan pangkalan militer AS, hingga registrasi keanggotaan Uni Eropa.

Perubahan sangat terlihat dalam rezim Erdogan, ia tidak lagi tertarik dengan status keanggotaan Uni Eropa dan keterlibatan NATO. Sebaliknya, Turki semakin aktif dalam religiusitas domestik dan intervensi internasional, terutama setelah konsolidasi kaum konservatisme terbentuk.

Kemudian rivalnya seperti gerakan Gulen dan kekuatan militer tersingkir melalui percobaan kudeta Juli 2016. Dari sisi domestik, ia menghilangkan kurikulum sekular dan melibatkan Diyanet (direktorat kepengurusan agama) dalam kegiatan edukasi secara keseluruhan.

Dari perspektif internasional, ia semakin aktif mengecam negara yang dianggapnya memperkusi Muslim seperti tindakan China terhadap etnis Uyghur. Kemudian, melakukan aktivitas intervensi militer di wilayah Suriah demi memberangus pemberontak kelompok PKK Kurdi sekaligus mendapatkan dukungan kaum konservatif Turki.

Masa depan Turki

Dengan perkembangannya, identitas menjadi entitas pemersatu yang signifikan bagi dunia. Terutama terhadap berbagai isu diskriminasi dan konflik yang justru menguatkan identitas persaudaraan antar Muslim.

Dalam perjalanannya, mazhab identitas Muslim selalu tertumpu terhadap peran para negara Teluk terutama kebijakan Arab Saudi yang notabenenya merupakan pusat kelahiran identitas itu sendiri. Namun, lemahnya tindakan Arab Saudi dalam menunjukkan perhatian terhadap isu Muslim dunia seperti pengungsi Suriah, Etnis Uyghur, dan Palestina semakin melemahkan legitimasinya. Ditambah melemahnya ekonomi hingga cadangan devisa, dalam waktu dekat Arab Saudi dapat kehilangan pengaruhnya secara total.

Turki mempunyai potensi tinggi untuk menunjukkan signifikansinya sebagai mazhab pelindung Muslim dan menggantikan kekosongan posisi negara-negara teluk. Pemanfaatan potensi akan menguatkan poros Turki di kalangan masyarakat kawasan Islam yang selanjutnya menguntungkan kepentingannya dalam dunia internasional. Contohnya, usaha pengasingan perwakilan Kurdistan (Peshmerga dan YPG) serta terhadap negara rivalnya seperti AS dan Israel.

Namun, fenomena Erdogan ini dapat berimplikasi secara negatif kedepannya. Bentuk pemerintahan otoritarianisme dan rendahnya perlindungan HAM dapat berefek terhadap meningkatnya perlawanan dari seluruh kalangan oposisi. Terbukti dari semakin gencarnya basis pemberontakan Kurdi (PKK) melancarkan serangan, perlawanan bersenjata pun semakin berpotensi dilakukan oleh gerakan lainnya.

Dampaknya, instabilitas politik semakin mencuat yang dapat membuat Turki memasuki babak resesi ekonomi baru serta total pinjaman luar negeri diluar batas kemampuan pembayaran. Seperti terlihat dari menurunnya output industri Turki hingga 6,5% bulan Maret 2019.

Dapat disimpulkan bahwa dalam mengejar visi kepemimpinan Islam secara global, terdapat harga mahal yang harus dibayarnya yakni instabilitas politik dan ekonomi domestik. Terkecuali ia kedepannya mempunyai metode alternatif dalam menanganinya. Kondisi domestik Turki akan terus menuju masa keterpurukannya.

joewilliam
joewilliam
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan, penggemar studi politik keamanan dan regionalisme ASEAN.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.