Jumat, April 26, 2024

Enigma dalam Bukit Algoritma

Narasi 4.0 telah membawa kita semua ke sebuah era di mana digitalisasi semakin menjamah di segala aspek kehidupan. Hal ini membuat terdorongnya beragam inovasi-inovasi mengenai industrialisasi teknologi. Munculnya berbagai macam start-up companies serta didorongnya dengan inovasi membuat narasi 4.0 tentang Tech-Industry semakin nyata terlihat.

Indonesia dalam beberapa pekan ini dihebohkan dengan wacana Silicon Valley Indonesia yang dinamai Bukit Algoritma kabarnya dapat menelan biaya 18 Triliun. Wacana ini terang-terangan disampaikan oleh Budiman Sudjatmiko dengan memperlihatkan lokasi yang nantinya akan dijadikan tempat utama dari Bukit Algoritma berlokasi di Sukabumi Provinsi Jawa Barat.

Ini menimbulkan sebuah teka-teki atau enigma, dana 18 Triliun yang akan dikucurkan menurut Budiman adalah dana dari pihak ke-3 atau dalam hal ini ialah swasta, tetapi banyak pula yang menganggap bahwa mega proyek ini menggunakan uang negara. Walaupun begitu teka-teki terbesarnya ialah, apakah kita mampu membangun proyek serta membuat Tech-Industry yang mumpuni? Terdengar seperti skeptis, tetapi kita pun mesti melihat realitas yang ada. Menurut penggagas Bukit Algoritma kita sudah berada di era 4.0, apakah demikian? Rasanya masih bisa kita pertanyakan.

Kesiapan SDM

Selain infrastruktur, suprastruktur pun lebih penting. SDM yang mumpuni adalah wujud kesiapan kita dalam era 4.0 saat ini. Melihat kesiapan Indonesia saat ini dengan pendidikan yang kurang merata di segala lini, rasanya sangat jauh melihat end product dari Bukit Algoritma.

SDM yang baik selalu berkaitan dengan kesuksesan pendidikan, pendidikan yang belum merata serta masih banyak yang harus diperhatikan. Selain itu, kita semua pasti akan melihat putera-puteri bangsa sebagai penggerak dari wacana ini, dengan keterbukaan ini akan menjadi paradox yang justru menghalangi anak Indonesia sendiri. Menimbang dari bonus demografi yang akan datang pun rasanya masih pula sangat belum dikatakan sebagai langkah yang baik.

Sementara itu, penguasaan atas Tech di Indonesia memang sudah banyak tetapi lebih banyak pula yang belum menguasai semua terlebih dalam terapan berbasis Tech. Ini cukup menjadi batu besar yang menghalangi perjalanan dari wacana ini. Malah nanti akhirnya justru bukan orang-orang kita sendiri yang dapat menikmati dan menjalankan Tech Industry di negeri sendiri.

Lantas kita melihat yang terjadi di Silicon Valley yang sebenarnya, SDM mereka tidak akan kering seperti di padang pasir, mereka dikelilingi Universitas-universitas yang mampu menyediakan bibit-bibit unggul untuk dipersiapkan dalam menjalankan Tech Industry mereka. Indonesia pun seharusnya melakukan hal yang sama dengan meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan terlebih pendidikan tinggi dengan banyak riset-riset dan pengembangan Tech yang nyata demi terciptanya sebuah output atau end product yang baik pula.

Apabila kita melihat hal yang jauh dari kenyataan, mengapa kita tidak memperbaiki hal tersebut terlebih dahulu? Level pendidikan kita pun masih tidak lebih baik dibanding negara-negara di Asia Tenggara. Rasanya seperti mengejar suatu yang belum pasti dalam wacana Bukit Algoritma ini.

Ekosistem yang Belum Memadai

Terciptanya lingkungan atau sebuah kebiasaan tentunya berasal dari sebuah ekosistem yang baik. Ekosistem menunjang pula adanya sebuah end product. Dalam hal ini, Indonesia belum mempunyai sebuah ekosistem yang nyata di bidang Tech Industry. Alih-alih menciptakan sebuah ekosistem terlebih dahulu justru malah membangun wujud fisik adalah tindakan yang keliru.

Ekosistem tercipta karena adanya sinergitas antara swasta dalam hal ini ialah companies dengan pemerintah atau Government. Di Indonesia belum ada wujud nyata dari sebuah ekosistem tersebut. Pemerintah belum sepenuhnya terbuka akan Tech Industry yang secara lebih.

Melihat contoh tidak perlu jauh-jauh ke Amerika Serikat, kita bisa melihat di India bagaimana sinergitas antara pemerintah dan swasta berjalan baik. Pemerintah India telah melakukan inisiasi ini pada tahun 2015 dengan Perdana Menteri Modi, India membangun ekosistem mereka dengan perlahan-lahan. Pemerintah dan swasta bersinergi dengan cara menggandeng beberapa kementrian-kementrian yang terkait demi terwujudnya rasa atau visi-misi dari pemerintah India. Lalu, dengan SDM yang berasal dari Universitas-universitas di India yang terus mem-provide sehingga terciptanya sebuah ekosistem yang baik.

Hasilnya, India merupakan negara peringkat ke-23 berdasarkan situs Affairscloud.com yang merupakan negara paling memiliki ekosistem Tech Industry terbaik. Sementara itu, didorong kebijakan keterbukaan pemerintahan BJP Modi, investasi terhadap startup companies di India pun juga sangat menggiurkan sampai US$10 Miliar. Lalu, ini juga didukung dengan persamaan kebijakan keterbukaan investasi di negara-negara bagian di India. Hal ini membuat India salah satu negara yang ramah investasi khusunya Tech Industry di Asia bahkan dunia.

Apabila membandingkan pada Indonesia saat ini, rasanya kita belum memiliki sebuah blueprint yang tepat untuk membangun Silicon Valley kita sendiri. Banyak yang harus diperhatikan dan dibangun sedemikian rupa. Kita tidak bisa membangun sebuah bangunan apabila tidak memiliki formula dan hitung-hitungan yang tepat. Pada akhirnya kita pun memang tidak melihat sebuah proses yang ada didalamnya, tetapi apa end product-nya?.

Urgensi yang Lebih Penting

Melihat apa yang terjadi dan dibicarakan dengan ramai di media sosial mengenai urgensi yang lebih penting dibandingkan Bukit Algoritma, justru memperlihatkan bagaimana negara kita belum tepat dalam mengambil langkah. Beralasan dengan pengetahuan yang minim bukanlah sebuah jawaban. Lebih tepatnya ialah miskonsepsi dari konsep dari Tech Industry. Penggagas Bukit Algoritma selalu menarasikan mengenai 4.0 tetapi apakah mereka sadar kita belum seutuhnya sampai ke sana?.

Alih-alih membuat Silicon Valley, digitalisasi di republik ini pun masih kalang kabut, pelayanan tingkat nasional pun masih belum mencapai kata baik. 4.0 terlalu jauh bagi kita, tetapi kita harus benahi dulu digitalisasi ke arah yang lebih baik. Prioritaskan apa yang seharusnya diprioritaskan, seperti keamanan siber dan seluruh pelayanan publik.

Wacana Bukit Algoritma merupakan miskonsepsi yang dihadirkan demi ambisi yang tidak seharusnya dikejar. Terlebih riset-riset yang sudah banyak membuat keputusan dari wacana ini sangat konyol apabila diperhatikan lagi. Dengan KEK sebagai legitimasi serta dana dari pihak ke-3 atau swasta juga menjadi pertanyaan. Ditambah permasalahan-permasalahan yang belum dibenahi.

Maka dari itu, wacana Bukit Algoritma ini seperti sebuah celetukan belaka, tanpa menimbang sesuatu dengan baik, tanpa melihat/riset lebih dalam, dan tanpa melihat animo atau tanggapan masyarakat-masyarakat. Serta tanpa melihat apa yang sebenarnya kita butuhkan di era ini. 4.0 adalah sebuah term yang sangat dinamis, kita perlu ke arah sana, tetapi bukan berarti adanya miskonsepsi, bukan?.

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.