Kamis, Maret 28, 2024

Emisi Karbon dan Bumi yang Tak Punya Masa Depan

Isyraf Madjid
Isyraf Madjid
Pembaca yang berupaya menulis.

Jika menilik pada kualitas peristiwa yang ada di abad-abad awal masehi, kita bisa menarik kesimpulan bahwasanya dulu dunia berjalan dengan sangat lambat, bagaimana di abad-abad awal tak terlihat banyak perbedaan antara satu abad dan abad setelahnya. Namun kini segalanya seakan berlajan dengan lebih cepat, kita diberikan penggambaran betapa progresifnya perubahan yang dilakukan manusia, hal itu bisa kita lihat dari makin cepatnya setiap fase dari satu revolusi industri ke revolusi industri selanjutnya.

Oleh sebab itu, kita tidak bisa melihat rentetan sejarah dengan sangat teratur sesuai dengan tahun-tahun yang berlalu, namun kita sepatutnya menilai perkembangan dunia melalui balon populasinya. Di mana populasi manusia yang ada selama tahun-tahun belakangan ini jauh lebih banyak dengan beberapa abad sebelumnya, yang tentunya menimbulkan efek makin luasnya jangkauan manusia terhadap isi bumi.

Namun ironinya, kegagapan serta keserakahan manusia dalam memanfaatkan bumi sebagai hunian juga mengalami pelonjakan meski perkembangan ilmu pengetahuan telah mengalami penaikan akibat loncatan populasi tersebut. Bisa dipastikan tak ada niatan inovasi ataupun keserakahan yang menjadi kunci penyebab lingkungan hidup menjadi nomor sekian dalam skala prioritas hidup manusia.

Sehingga lambat laun, Bumi tak bisa lagi dilihat sebagai sebuah benda yang tak akan habis jika dikupas. Lebih dari itu, sikap acuh dan keengganan kita untuk memikirkan lebih terkait nasib dari bumi kita tak bisa kita tolerir. Dampak dari sikap tersebut membuat manusia kemudian secara tak sadar telah menghasilkan emisi karbon yang memberikan efek sadis bagi bumi dari tahun ke tahun. Fosil dan nuklir menjadi contohnya.

Tak bisa dinafikan, dampak dari pengerokan fosil dan nuklir tersebut menghasilkan sebuah emisi karbon, yang mana dapat kita lihat sebagai salah satu aktor utama dalam perubahan iklim di dunia. Dikutip dari Ensiklopedia Britannica, jejak karbon merupakan jumlah emisi karbon dioksida (CO2) yang berkaitan dengan segala aktivitas seseorang atau entitas lain seperti bangunan, perusahaan, negara, dan lain-lain.

Indonesia dan Emisi Karbonnya

2014 lalu, Yale University mengeluarkan data terkait peringkat Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) yang menunjukkan Indonesia berada pada peringkat 112 dari 178 negara. Belum lagi jika membahas data dari World Resource Institute (WRI) pada tahun 2018, yang mengungkapkan bahwa Indonesia menempati peringkat 8 sebagai negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia.

Dari pemaparan data tersebut, kita bisa menilai bahwa bumi kita seakan tak ada habisnya didzalimi, dengan kerap kali dikeruk sebagai sumber energi utama tanpa ada niatan untuk mencari solusi akan sumber daya lain. Contohnya, masih aktifnya kita menghasilkan bahan bakar minyak dengan minyak bumi yang ada, pun juga listrik yang kita gunakan untuk menonton tv bersama keluarga pada prime time, masih kita dapatkan setelah mengambil batu bara yang tersedia di bumi ini.

Dalam hal ini, akselerasi dalam perbaikan lingkungan bukanlah menjadi sesuatu yang mustahil, Indonesia contohnya dapat mencoba dengan memaksimalkan energi panas bumi yang berasal dari peluruhan radioaktif di pusat bumi, sesuatu yang dapat dimanfaatkan sebagai tenaga pembangkit listrik dan digunakan dalam bentuk listrik, belum lagi biomassa yang dapat digunakan sebagai bahan bakar ataupun input untuk memproduksi bahan bakar jenis lain layaknya biodiesel, bioetanol, ataupun biogas.

Syarat satu-satunya terkait biomassa jika difungsikan sebagai energi ialah pengolahan pemanfaatannya tidak boleh melebihi laju produksinya, sebab sejatinya biomassa merupakan bahan yang kita peroleh dari alam dalam waktu relatif singkat melalui berbagai proses biologis dari alam itu sendiri.

Keacuhan terhadap biomassa dapat menjadi suatu mimpi buruk bagi negara kita, terbukti negara dengan kondisi yang serupa seperti Brazil mengalami deforestasi pada hutan amazonnya, jika menarik lebih jauh garis sejarah, maka kita dapat menemukan Romawi yang ditimpa oleh deforestasi hutannya.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Climate Watch, the World Research Institute di tahun 2020, dinyatakan bahwa sektor energi menjadi pencetak gol utama dalam emisi gas yang menyebabkan efek rumah kaca secara global, dengan pengunaan pada industri sebesar 24,2%, kemudian terdapat sektor transportasi dengan persentase 16,2% yang mana meliputi transportasi jalanan (11,9%), penerbangan (1,9%), pelayaran (1,7%), kereta (0,4%), dan saluran pipa (0,3%).

Energi Terbarukan Sebagai Solusi

Jika mengulik dalam hal transportasi, sejatinya banyak hal yang bisa dimanfaatkan guna menyiasati dampak dari emisi karbon. Beberapa negara telah banyak mencontohkan, Perancis misalnya yang menerapkan pajak bahan bakar dengan meliputi semua efek negatif yang terkait dengan penggunaan kendaraan, termasuk emisi karbon, polusi udara dan kebisingan, hingga kemacetan lalu lintas.

Lain halnya dengan Norwegia yang melakukan upaya pendorongan dalam hal mobilitas energi bersih, dengan memfokuskan sebagian besar upayanya untuk mempromosikan sumber energi alternatif dalam transportasi, dengan insentif yang murah pada kendaraan listrik: nol impor, PPN, dan pajak jalan; bebas biaya toll untuk mobil plug-in; stasiun pengisian yang dibiayai publik, dan lain sebagainya. Luxemburg berbeda lagi, negara dengan jumlah penduduk sebanyak 625 ribu jiwa itu mampu mengaplikasikan konsep bebas biaya untuk transportasi umum manapun.

Meski dalam hal transportasi, masih terdapat banyak langkah kecil yang bisa dilakukan apabila memang pemerintah lambat dalam mengeluarkan kebijakan, diantaranya ialah dengan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, dengan lebih banyak berjalan, angkutan umum, rideshare, atau yang lagi marak: bersepeda.

Adapun jika harus menggunakan kendaraan pribadi ialah dengan menghindari banyak pengereman yang tidak penting serta perubahan laju kecepatan secara, terbukti beberapa penelitian mengemukakan bahwa cara mengemudi yang banyak melakukan tindakan diatas dapat meningkatkan penggunaan bahan bakar pada kendaraan daripada cara mengemudi yang terkesan lebih santai. Muaranya ialah berkurangnya batu bara yang diproduksi untuk bahan bakar.

Solusi lainnya dalam bentuk kebijakan ialah, penerapan pajak karbon. Pajak Parbon setidaknya bisa menjadi solusi dalam melihat fenomena ini, dikuti dari World Bank (2021) telah terdapat 27 negara yang telah menerapkan kebijakan ini dan nyatanya memberikan dampak yang positif. Dengan diterapkannya “Tax for Climate Change Mitigation” maka dapat mengurangi emisi gas rumah kaca, menggenjot penerimaan negara, serta membantu pemerintah dalam menerapkan program Indonesia Hijau yang bisa diterapkan ke dalam beberapa sektor lain, seperti pendidikan, industri, transportasi publik, kesehatan, hingga energi terbarukan.

Hingga akhirnya, dengan serangkaian solusi tersebut, kita dapat memanfaatkan energi terbarukan dengan berbagai bentuknya untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam menunjang kehidupannya saat ini tanpa menihilkan harapan untuk keberlanjutan hidupnya di masa yang akan datang. Dimana tercipta sebuah imajinasi akan 50 tahun dari sekarang tentang masa depan yang sungguh cerah antara bumi dan manusia.

Isyraf Madjid
Isyraf Madjid
Pembaca yang berupaya menulis.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.