Jumat, April 19, 2024

Eksplorasi Toyyib Melawan Pakem Gamelan Tradisi

Setyawan Jayantoro
Setyawan Jayantoro
SJ - Musisi berlatar belakang kesenian tradisi Jawa dan berkembang dengan musik Klasik Barat. Berdomisili di Jogja & Solo. Pendiri Ekstensya Art Music School dan Musike SJ. Sejak 2015 aktif sebagai staf pengajar di Jurusan Musik & Penyajian Musik Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

Semangat kebaruan selalu menjadi motivasi komponis untuk mengekspresikan keunikan musiknya. Wahyu Thoyyib Pambayun adalah salah satu komponis gamelan generasi mutakhir yang sedang serius dengan semangat ini. Ia meraih Hibah Seni Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) untuk menggelar konser karya terbarunya dalam “Jagongan Wagen” (JW) pada 26 Oktober malam di PSBK Jogja

JW yang diprogramkan rutin PSBK ini sukses melakukan pendampingan yang efektif dalam memotivasi seniman muda agar gemar berpetualang dengan gagasan inovasi artistiknya. Malam itu Thoyyib memamerkan lima karya terbarunya dengan berbagai model garapan segar yang patut diapresiasi. Konser malam itu memang terasa mengalir lancar sekali. Tidak sia-sia ia membawa jauh-jauh gamelannya dari Wonogiri ke Bantul.

Membuka Ruang Gerak Baru

Konser ini memperlihatkan kegelisahan Thoyyib dengan spirit artistik gamelan yang cukup mengesankan. Bagaimana melepaskan diri dari jeratan cara pandang komposisi tradisi, kira-kira begitulah rangkuman semangatnya. Konser bertajuk “Walaya Gangsa” ini bagi Thoyyib adalah wujud keberanian untuk melawan rasa aman dan nyaman. Lima komposisi anyar pun disajikan beruntun. Alurnya rapi dan tampak sinergis dengan penonton yang begitu hikmat menikmati garapan Thoyyib.

Karya pembuka – “Rencaka” –  berformat trio rebab diringi pola genderan dan siteran yang masih berbau tradisi banget. Secara fisik karya ini jelas menampakkan ruang gerak yang baru. Komposisi ini menonjolkan permainan mengalun tiga pengrebab muda yang bermain tidak sebagaimana mestinya rebaban tradisi, namun teknik vibratonya jadi terkesan kaku dan sedikit mengganggu.

Penjelajahan Thoyyib menggunakan tiga rebab untuk menjangkau berbagai wilayah suara dalam karya ini juga belum begitu ngefek terhadap capaian kebaruan, sebab cita rasanya juga bukan pelog asli tapi lebih dekat kepada sistem tangga nada minor. Ada frekuensi yang dipaksakan nyambung jika yang diserap adalah rumusan minor harmonis.

Potensi Inovasi Tradisi

Pada komposisi kedua – “Malik Grembyang” – ia mengeksplorasi bonang barung dan penerus yang dimainkan oleh empat orang. Formasi ini unik. Bonang barung yang diletakkan di tepi panggung kiri dikomunikasikan saling bersahutan dan kadang bersamaan dengan bonang penerus yang di letakkan sejajar di tepi panggung sebelah kanan. Dialog musikalnya menarik, meskipun dalam beberapa titik terasa membosankan sebab terlalu simetris dan mudah ditebak.

Menariknya, Thoyyib merubah susunan pencon sesuai kebutuhannya dan berhasil membentuk warna-warna atraktif dengan dasar titi laras pelog yang masih asli. Dia sudah mulai unjuk cita rasa kebaruan yang tidak nyaman, meskipun logika hitungannya masih terpola aman-aman saja. Rambatan temponya pun – dari lambat ke cepat – juga terkesan masih belum bisa lepas dari pola pikir komposisi tradisi.

Komposisi ketiga berjudul “Kidung Kapang” menterjemahkan hubungan Karna dan Kunthi. Karya berformat duet vokal laki perempuan, diiringi rebab dan siter berlaras pelog murni ini tampak menyatu erat dengan lantunan nada-nada romantis. Dengan penuh emosi ia berhasil menarik rasa pendengar untuk hanyut dalam nada-nada cinta. Thoyyib tanpa sadar mengajak pendengar untuk kembali pada nuansa tradisi lagi. Dia mungkin juga lupa, komposisi ini terlalu nyaman dan aman.

Sayang juga di bagian akhirnya, vokal laki-laki yang dinyanyikan merdu oleh Thoyyib kembali terjerembab dalam masalah serupa – pelog diatonis. Motif ritme dan pilihan nada di bagian ini pun terdengar persis sekali dengan tema “Adagio for String” nya Samuel Barber. Penalaan siter dan jarak nada dalam pola rebabannya lagi-lagi juga tergelincir dalam jebakan pelog rasa diatonis.

Lunturnya orisinalitas titi laras pelog akibat intervensi nada-nada diatonis memang benar-benar telah menjadi masalah umum yang sebaiknya segera dievaluasi serius. Rumusan titi laras pelog memiliki karakteristik frekuensinya yang sangat khas dan jelas berbeda dengan interval do re mi fa sol la si do.

Peluang Kebaruan

Peluang kebaruan terlihat eksplisit pada komposisi ke empat – “Brawala”. Konsep kombinasi warna suara dan laras ini diartikulasikan melalui permainan atraktif gambang, gender, dan saron penerus. Thoyyib mengolah instrumen logam dan kayu serta menggali perkawinan pelog dan slendro. Aktualisasi dari konsep ini sangat menarik, tampil beda dari komponis lain yang pernah menggarap kombinasi pelog-slendro.

Thoyyib berhasil membaca peluang kebaruan ruang gerak yang memang tidak bisa dilakukan asal-asalan. Thoyyib sukses membuka gembok awal yang mengunci sistem pelarasan gamelan selama ini. Jika dikembangkan lebih kritis lagi, konsep persenyawaan laras semacam itu tentu akan mampu membuka celah-celah transformasi inovatif lain yang selama ini belum tersentuh.

Pada akhirnya saya dibuat kaget dengan komposisi penutup Thoyyib malam itu. Bagaimana tidak, komposisi pamungkasnya “Pancakara” telah membuyarkan capaian gerak inovatif dalam “Brawala”. Thoyyib sengaja menarik kembali hingga mundur jauh ke bentuk sampakan, srepegan, dan garap gerongan, yang kesemuanya dibalut apik dalam kerangka tradisi tulen.

Saya tersenyum, tiba-tiba seperti sedang melihat adegan dramatis  pertunjukan wayang orang. Komposisi “Pancakara” yang difilosofikan Toyyib sebagai lagu penyemangat perang memang berhasil diekspresikan indah, kompak, dan energik. Namun jika dikembalikan pada misi inovatifnya, tidak ada substansi kebaruan yang menarik untuk dibicarakan.

Bagaimanapun, aktualisasi gagasan kebaruan Thoyyib ini sungguh patut diapresiasi setinggi-tingginya. Kegigihannya menjelajahi berbagai peluang kebaruan komposisi gamelan merupakan wujud konkrit dari langkah strategis generasi muda untuk menatap masa depan gamelan dalam paradigma yang lebih futuristik.

Tidak mudah melakukan terobosan semacam ini. Di tengah semangat aliran komposisi gamelan baru yang seolah harus mengawingkan gamelan dengan instrumen musik Barat, sebagai Dosen Karawitan ISI Surakarta Thoyyib telah berjuang konsisten menggali kekayaan gamelan tradisi asli untuk melahirkan kreasi inovatif yang impresif. Semoga generasi semacam ini terus berkembang progresif.

Setyawan Jayantoro
Setyawan Jayantoro
SJ - Musisi berlatar belakang kesenian tradisi Jawa dan berkembang dengan musik Klasik Barat. Berdomisili di Jogja & Solo. Pendiri Ekstensya Art Music School dan Musike SJ. Sejak 2015 aktif sebagai staf pengajar di Jurusan Musik & Penyajian Musik Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.