Minggu, Oktober 6, 2024

Eksploitasi Tersembunyi di Balik Frasa ‘Ikhlas Beramal’

Ali Marzuki Zebua
Ali Marzuki Zebua
Ali M Zebua adalah dosen di IAIN Kerinci. Founder pada CND Publisher. Penulis buku-buku tema Manajemen Pendidikan dan Kepemimpinan Lingkungan.

Eksploitasi Normatif-Spritual yang Tersembunyi di Balik Frasa ‘Ikhlas Beramal’ dalam Relasi Kerja

Dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di dunia kerja, frasa “ikhlas beramal” sering kali digunakan sebagai slogan motivasi. Bahkan “ikhlas beramal” secara ekpslisit dijadikan slogan pada lembaga pemerintahan seperti Kementerian Agama.

Namun, penggunaan frasa ini dalam ranah profesional menimbulkan keprihatinan yang mendalam, terutama ketika konteksnya dihubungkan dengan relasi kerja. Secara normatif, hubungan antara pemberi kerja dan pekerja diatur oleh kontrak kerja, yang didasarkan pada prinsip timbal balik yang saling menguntungkan, bukan pada landasan spiritual atau keimanan.

Relasi kerja merupakan hubungan yang diatur oleh hukum positif dan perjanjian yang disepakati kedua belah pihak, dengan adanya hak dan kewajiban yang jelas. Pekerja berhak mendapatkan upah yang layak atas tenaga dan waktu yang mereka sumbangkan, sementara pemberi kerja berhak mendapatkan hasil kerja yang sesuai dengan ekspektasi.

Dalam hal ini, upah merupakan instrumen pengakuan atas kontribusi tenaga dan keterampilan, bukan sebagai bentuk sedekah atau amal. Oleh karena itu, frasa “ikhlas beramal” seharusnya tidak digunakan dalam ruang lingkup pekerjaan, di mana hubungan kontraktual dan hak-hak buruh harus menjadi fokus utama.

Penggunaan frasa tersebut secara berlebihan dan sering kali manipulatif dapat menjadi bentuk legitimasi bagi ketidakadilan dalam lingkungan kerja. Dalam banyak kasus, terutama di sektor informal atau ketika upah pekerja minim, ungkapan “ikhlas beramal” sering kali dijadikan tameng oleh pemberi kerja untuk menghindari tanggung jawab moral dan hukum dalam memberikan upah yang layak. Frasa ini, yang seharusnya berfungsi dalam ranah spiritual—seperti amal ibadah—telah disalahgunakan untuk menutupi ketidakseimbangan relasi kekuasaan dalam konteks pekerjaan.

Lebih jauh, penggunaan frasa ini dapat mengaburkan batasan antara tanggung jawab profesional dan spiritual. Pada hakikatnya, “ikhlas beramal” adalah konsep yang memiliki nilai spiritual tinggi, di mana seseorang melakukan amal atau perbuatan baik tanpa mengharapkan imbalan dari manusia, tetapi hanya kepada Tuhan.

Sementara itu, dalam konteks kerja, hak pekerja untuk mendapatkan upah yang adil adalah mutlak dan tidak boleh dikompromikan dengan dalih-dalih spiritual.

Kritik terhadap normalisasi frasa “ikhlas beramal” dalam lingkungan kerja ini dapat diperkuat dengan tinjauan teoretis dari perspektif etika bisnis dan hak asasi manusia. Menurut Immanuel Kant, etika kerja harus didasarkan pada penghormatan terhadap otonomi individu dan kesetaraan dalam relasi sosial.

Konsep ini menuntut adanya keadilan distributif dalam sistem upah dan lingkungan kerja. Menggunakan nilai-nilai spiritual untuk meredam tuntutan pekerja akan keadilan adalah tindakan yang tidak etis dan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar keadilan sosial.

Di sisi lain, dari perspektif hak asasi manusia, pekerja memiliki hak fundamental untuk mendapatkan upah yang adil, sebagaimana diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Pasal 23). Pekerjaan dan upah yang layak merupakan hak yang tidak dapat dikompromikan, apalagi diubah menjadi perdebatan spiritual. Menggiring pekerja untuk “ikhlas beramal” ketika mereka sedang menuntut hak-hak mereka dapat dilihat sebagai bentuk eksploitasi emosional dan spiritual, yang pada akhirnya merugikan pekerja secara material maupun psikologis.

Isu ini menjadi semakin krusial ketika kita berbicara tentang pekerjaan guru atau dosen. Profesi guru atau dosen, yang dalam masyarakat sering kali dianggap sebagai pekerjaan mulia dan penuh dedikasi, kerap kali dihadapkan pada persoalan upah yang tidak memadai. Frasa “ikhlas beramal” sering digunakan untuk meredam tuntutan para guru yang menginginkan kesejahteraan yang lebih baik.

Mereka, yang diberi tanggung jawab besar dalam mendidik generasi penerus bangsa, sering kali dipaksa menerima upah rendah dengan alasan bahwa pekerjaan mereka adalah pengabdian dan amal ibadah. Namun, kondisi ini justru membuka pintu bagi eksistensi ketidakadilan struktural.

Guru, seperti pekerja lainnya, bekerja di bawah kontrak dan memiliki hak untuk menerima kompensasi yang setimpal dengan kerja keras mereka. Dengan menganggap pekerjaan guru sebagai “pengabdian” semata, kita secara tidak langsung menurunkan nilai kerja mereka dan mengabaikan pentingnya kesejahteraan ekonomi bagi para pendidik.

Fakta bahwa banyak guru, terutama di daerah-daerah terpencil atau di sektor non-formal, dibayar jauh di bawah standar yang layak menunjukkan adanya penyalahgunaan konsep spiritual untuk menjustifikasi ketidakadilan ekonomi.

Tentu saja, mengajar adalah profesi yang memerlukan ketulusan dan pengabdian. Namun, hal ini tidak berarti bahwa para guru harus menerima upah yang tidak layak. Mengajarkan “ikhlas beramal” kepada para guru dalam konteks profesional, tanpa memberikan kompensasi yang adil, adalah salah satu bentuk eksploitasi emosional. Seperti halnya pekerjaan lain, guru berhak mendapatkan pengakuan yang adil atas tenaga, waktu, dan keahlian yang mereka curahkan.

Dalam konteks ini, pemerintah dan institusi pendidikan harus bertanggung jawab untuk memastikan bahwa profesi guru dihargai secara memadai, baik secara moral maupun material. Alih-alih mendorong guru untuk “ikhlas beramal” ketika menerima upah rendah, yang seharusnya dilakukan adalah memperjuangkan sistem pengupahan yang lebih adil dan sejalan dengan standar hak asasi manusia. Pendidikan berkualitas hanya dapat tercapai jika guru-gurunya diberi penghargaan yang layak, baik dari segi moral, sosial, maupun ekonomi.

Penggunaan frasa “ikhlas beramal” oleh Kementerian Agama sebagai slogan dapat menimbulkan kekhawatiran signifikan terkait manipulasi emosional dan spiritual dalam konteks pekerjaan. Slogan ini, yang seharusnya mengandung makna spiritual dalam ranah ibadah, hal ini dapat berisiko disalahgunakan untuk menghindari tanggung jawab administratif dan memberikan kompensasi yang tidak memadai bagi pegawainya.

Dengan mendorong pegawai untuk “ikhlas” menerima kondisi kerja atau upah yang kurang layak, frasa ini dapat menutupi ketidakadilan sistemik dan menurunkan standar keadilan distributif dalam lingkungan kerja. Kementerian Agama, sebagai lembaga pemerintah, perlu berhati-hati agar nilai-nilai spiritual tidak menggantikan hak-hak pekerja dan memastikan bahwa setiap kontribusi dihargai secara adil, menjaga keseimbangan antara prinsip spiritual dan keadilan sosial.

Maka perlu kiranya untuk memisahkan antara ranah spiritual dan ranah profesional. Frasa “ikhlas beramal” hendaknya tetap berada dalam konteks ibadah, di mana nilai-nilai spiritual dapat berkembang dengan bebas tanpa tekanan dari relasi kekuasaan dan ekonomi.

Di sisi lain, dunia kerja harus tetap menjunjung tinggi prinsip keadilan distributif, di mana setiap tenaga yang diberikan harus dihargai dengan layak sesuai dengan standar yang berlaku. Dan bagi para guru, sebagai pilar utama dalam membangun peradaban bangsa, kesejahteraan mereka tidak boleh dikompromikan dengan narasi spiritual yang justru merugikan.

Ali Marzuki Zebua
Ali Marzuki Zebua
Ali M Zebua adalah dosen di IAIN Kerinci. Founder pada CND Publisher. Penulis buku-buku tema Manajemen Pendidikan dan Kepemimpinan Lingkungan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.