Pada ranah hukum acara perdata, terdapat berbagai mekanisme pelaksanaan putusan pengadilan. Salah satu mekanisme yang sering menjadi sorotan ialah sita eksekusi, yaitu ketika Tergugat tidak mau menyerahkan hartanya secara sukarela setelah melampaui masa peringatan (aanmaning) yang kemudian harta tersebut akan dijual maupun dilelang.
Namun, dalam konteks putusan terhadap perkara hak asuh anak, muncul dua pertanyaan menarik terhadapnya; Apakah sejatinya seorang anak dapat dikategorikan sebagai “harta” atau “aset” yang dapat dieksekusi?
Lantas, apakah eksekusi tersebut dapat dianggap sebagai tindakan praktis yang memastikan kepatuhan terhadap putusan pengadilan, ataukah justru menjadi tindakan yang menyakitkan dan merugikan bagi anak yang terlibat? Tentu saja ini tidak hanya menjadi persoalan hukum, tetapi juga memunculkan pertanyaan tentang kemanusiaan dan martabat individu.
Eksekusi putusan hak asuh anak tidak diatur secara tegas dalam Hukum Acara Perdata Indonesia, HIR-R.Bg ataupun peraturan perundang-undangan lainnya. Namun, dalam praktiknya, eksekusi terhadap putusan hak asuh anak sering dilakukan.
Salah satu isu yang muncul dalam eksekusi putusan hak asuh anak adalah bahwa “aset” yang dieksekusi bukanlah benda materi, melainkan anak itu sendiri. Kondisi ini menciptakan kompleksitas dalam proses eksekusi. Meskipun tidak ada ketentuan spesifik dalam HIR-R.Bg, hakim biasanya merujuk pada prinsip-prinsip hukum yang relevan, seperti KUH Perdata dan Undang-Undang Perlindungan Anak.
Di samping itu, menurut Laporan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) 2019, salah satu hambatan dalam proses eksekusi ialah kekurangan aturan mengenai format baku permohonan eksekusi dan dokumen yang harus dilampirkan
Eksekusi terhadap anak dalam perkara perebutan hak asuh anak merupakan langkah terakhir yang diambil apabila salah satu pihak tidak mematuhi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Putusan tersebut mungkin mencakup beragam keputusan, mulai dari penentuan tempat tinggal utama anak hingga hak kunjungan orang tua. Di sisi lain, realita di lapangan seringkali menunjukkan bahwa pelaksanaan eksekusi terhadap hak asuh anak tidak selalu berjalan mulus, dan sering kali menimbulkan kontroversi. Mengutip dari laman badilag.mahkamahagung.go.id, beberapa faktor yang menyebabkan sulitnya eksekusi hak asuh anak meliputi:
- Adanya perlawanan dari anak ataupun anak-anak tersebut yang disebabkan kedekatan psikologi anak sehingga anak tersebut masih ingin tinggal dengan termohon eksekusi atau keluarganya;
- Keberadaan anak yang sudah tidak diketahui lagi karena si anak sudah pindah alamat maupun wilayah sehingga sulit untuk ditemui;
- Belum adanya aturan formal yang secara khusus mengatur terkait prosedur eksekusi anak.
Salah satu contoh kasus menarik terkait hambatan pelaksanaan eksekusi putusan hak asuh anak ini pernah terjadi di Ngawi, Jawa Timur. Sebuah insiden terkait pelaksanaan eksekusi putusan hak asuh anak menciptakan ketegangan. Seorang anak berusia lima tahun menunjukkan perlawanan keras saat petugas dari Panitera Pengadilan Agama Kabupaten Ngawi berusaha menjemputnya. Anak itu menangis dan memeluk erat kaki ayahnya, menunjukkan ketakutan yang mendalam.
Proses eksekusi melibatkan puluhan aparat, termasuk personel TNI, Polri, dan Dinas Perlindungan. Namun, kehadiran mereka justru memperburuk situasi, membuat anak semakin takut dan mempersulit pelaksanaan eksekusi. Meskipun demikian, setelah empat jam perjuangan, akhirnya eksekusi berhasil dilakukan.
Pada kejadian tersebut, anak menunjukkan kekhawatiran dan mengalami kesulitan emosional yang membuatnya menolak berpisah dengan ayahnya. Kehadiran puluhan aparat penegak hukum semestinya untuk memastikan pelaksanaan putusan hukum, tetapi ternyata situasi tersebut justru membuat anak semakin ketakutan. Hal ini menunjukkan pentingnya pendekatan yang sensitif dalam kasus-kasus serupa yang mana kepentingan terbaik anak harus menjadi prioritas utama. Maka dari itu, diperlukan aturan dan prosedur hukum yang jelas dalam menjalankan eksekusi terhadap putusan hak asuh anak.
Eksekusi putusan hak asuh anak memiliki tujuan penting untuk menegakkan keadilan dan melindungi hak-hak anak yang telah diatur dalam undang-undang. Namun, proses ini juga dapat menimbulkan dampak psikologis yang serius bagi anak, terutama jika dilakukan secara memaksa atau tidak memperhatikan kondisi serta kebutuhan psikologis mereka.
Dengan mempertimbangkan berbagai permasalahan ini, reformasi dalam pengaturan eksekusi putusan hak asuh anak menjadi penting untuk mencapai salah satu tujuan hukum, yaitu kepastian hukum. Reformasi dalam pengaturan eksekusi putusan hak asuh anak dapat mencakup penyediaan mekanisme alternatif untuk menyelesaikan sengketa tanpa perlu melibatkan proses eksekusi yang berpotensi merugikan anak.
Misalnya, mediasi atau konsiliasi dapat menjadi alternatif yang lebih baik dalam beberapa kasus, yang memungkinkan kedua belah pihak untuk mencapai kesepakatan yang tetap memperhatikan kepentingan anak. Selain itu, perlu ada peningkatan kesadaran dan pemahaman tentang dampak psikologis dari eksekusi putusan hak asuh anak baik di kalangan para profesional hukum maupun masyarakat umum. Hal ini dapat dilakukan melalui pelatihan dan edukasi yang memperhatikan aspek psikologis anak serta prinsip-prinsip perlindungan anak.
Selanjutnya, penting juga untuk memperkuat mekanisme pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelaksanaan putusan hak asuh anak, sehingga dapat memastikan bahwa eksekusi dilakukan sesuai dengan kepentingan terbaik anak.
Terakhir, melalui reformasi dalam pengaturan eksekusi putusan hak asuh anak ini, diharapkan dapat mencapai keseimbangan antara penegakkan keadilan dan perlindungan hak-hak anak secara efektif, serta memberikan kepastian hukum yang diperlukan dalam proses eksekusi terhadap putusan hak asuh anak.
Hal itu karena eksekusi terhadap hak asuh anak tidak dapat disamakan dengan eksekusi terhadap hal lainnya karena melibatkan kepentingan fundamental anak untuk perkembangan mereka. Oleh karena itu, dalam melakukan eksekusi putusan hak asuh anak, perlu diberikan perhatian khusus terhadap kebutuhan dan kepentingan terbaik anak, serta memastikan bahwa prosesnya dilakukan dengan penuh kehati-hatian.