Selasa, April 16, 2024

Ego Kita dan Ingatan Komunal

saskia soeratnoto
saskia soeratnoto
Mahasiswi pasca sarjana ilmu budaya yang menyukai menulis dan melukis

Ego tumbuh dari kedalaman gelap pikiran seperti bunga teratai, membentuk bagian paling penting  dari jiwa – Carl Gustav Jung


Seorang pejabat yang sempat bertahun-tahun menjadi trending topic media sosial akhirnya dijebloskan ke bui. Usai kecelakaan dramatis yang menimbulkan hiruk-pikuk. Masyarakat puas, dan penegak hukum bangga demikian pun para netizen. Perkara kemudian selesai?

Tentu saja tidak. Masalah bergulir makin liar. Karena sang pejabat “melawan” dari penjara, dengan menulis surat kepada lembaga legislatif. Ia berpotensi menciptakan kehebohan politik tak berkesudahan.

Semua diakibatkan hanya oleh seorang pejabat saja, katakanlah seorang petualang politik yang liat. Yang kekar bertahan sejak era Orde Baru. Ia mengingatkan kita dengan film Western Hollywood, Dollar Trilogy yang diperankan aktor Clint Eastwood disekitar tahun 60-70-an. Berbekal rasa percaya diri, berpenampilan tenang dengan sorot mata tajam serta pistol.

Ia mampu membunuhi orang-orang dalam sekali tembak. Bedanya, Eastwood dalam peran tersebut memenangkan pertempuran melawan para outlaw, gerombolan bandit yang melanggar hukum. Sedangkan tokoh pejabat kita tersebut, entah kelak menang atau kalah melawan hukum. Karena bisa jadi ia sejatinya bukan seorang diri, namun “gerombolan yang menyaru” menjadi satu orang.

Seperti kata Jung, bapak psikologi komunal modern, yang mengatakan bahwa ego seseorang itu bagai bunga teratai. Menyeruak dari dalam air, tumbuh bersama dari kegelapan pikiran dibalik permukaan air.

Ia bukanlah pantulan apa terlihat dipermukaan bunga teratai elok itu.  Jung berpesan bahwa munculnya seseorang, terutama perilakunya yang tak terpuji; berbanding lurus dengan konstruksi kultural dan sejarah masyarakatnya sendiri. Ia pengilon dari apa yang disebut sebagai ingatan-ingatan kita bersama.

Ingatan Negatif

Ingatan bersama adalah sejarah panjang yang pernah dilakoni, dierami, dibela pun sebaliknya ditolak atas peristiwa-peristiwa yang gelap meskipun riil. Rangkaian penanda dan petanda zaman yang mengendap tak hanya setahun atau sejumlah momen peristiwa; namun adalah timbunan waktu masa lalu.

Yang baik maupun yang tidak, yang berdimensi personal maupun yang sosial, sebuah bangsa dibangun dari endapan-endapan itu. Dari kerak berabad-abad tentang Tanah Air ini, yang kita semua tahu, belum satu abad berjanji bersama atas nama Indonesia.

Kembali ke Jung, ia mengatakannya sebagai fenomena ketidaksadaran kolektif, dan sebagian darinya adalah gambaran-gambaran sepenggal atau nyaris sepenuhnya benar tentang kita.

Karakter-karakter yang memprihatinkan bangsa ini, diteriakkan oleh orang- perorang yang mau berbenah, suntuk yang terlampau banyak membebani benaknya. Seperti apa yang disampaikan dengan keras sebagai lahan introspeksi seorang jurnalis cum penulis, Mochtar Lubis.

Lubis pada pidato kebudayaannya di Taman Ismail Marzuki pada 1977 silam kembali menyalak dalam ingatan. Ia menyodorkan cermin wajah kita bersama. Tatkala hanya seorang pejabat dalam beberapa dasawarsa memperdayai kita dengan petualangan politiknya yang memprihatinkan.

Kata Lubis, ia mengupas sejumlah ciri karakter yang dikatakannya “Manusia Indonesia” yang dikategorikan negatif. Yang pertama adalah Hipokrit dan Munafik.  Si Pejabat tadi, yang jelas-jelas di masa lalunya memiliki banyak perilaku buruk, masih saja mendapatkan tempat di masyarakat.

Ia nihil mendapatkan sangsi sosial di masa lalu. Ingat soal “Papa Minta Saham” yang kemudian tak berlanjut sampai sekarang, lenyap di udara. Karena ciri hiprokrit menyetubuh di tengah kehidupan masyarakat Indonesia.

Selagi si pejabat tadi menguntungkan bagi kita, atau kelompok kita, sudah layak didiamkan saja. Hukum lunglai didepannya, kita berpura-pura mengolok-olok keras perbuatannya di media sosial, sementara ikut meneladaninya melakukan korupsi berjamaah.

Yang ke-2 adalah Enggan Bertanggungjawab atas Perbuatannya. Siapa saja yang pernah di bui, terutama para politisi, selalu mengulang apa yang dikatakan Lubis dengan kata “Bukan saya”.  Kesalahan yang telah di depan mata, selalu kita menudingkan telunjuk pada pada orang lain. Kita kerapkali berlagak playing victim, merasa menjadi korban.

Bukan pelaku utama pembuat kesalahan, dengan mengalihkan proyeksi kita pada orang diluar sana, para kambing hitam. Kita defisit jiwa ksatria, yang dianggap mitos, yang konon ditunjukkan oleh para pendahulu kita  orang-orang terpilih itu, para pendiri bangsa ini.

Semua tahu, korupsi yang terjadi di Indonesia merupakan mata rantai yang sulit diputus. Yang terlibat, memilih bungkam, kecuali dihembuskan oleh seorang whistle blower, seluruhnya terpapar habis: dari office boy sampai chief executive officer misalnya.

Yang ke-3 adalah Jiwa Feodal.  Bentuk-bentuk feodalisme abad ke-21 telah bertransformasi dari masa silam. Jika dulunya nepotisme tumbuh dalam struktur pemerintah kolonial dengan birokrat-birokrat plus patronnya pada priyayi pribumi.

Sekarang feodalisme anyar, dengan sistem kekerabatan dan perkoncoan menggerus sistem meritokrasi. Modernitas yang bertumpu faham merit, kompetensi, ilmu pengetahuan, dan obyektifitas secara nalar telah digerus terus-menerus oleh sifat-sifat feodal.

Kita bisa menyaksikan sendiri, seseorang yang nir pengetahuan dan pengalaman memiliki posisi-posisi puncak dalam jabatan pemerintahan serta pembuat kebijakan bagi publik luas. Transaksi balas budi, karena masa-masa pencalonan pejabat publik dan semasa kampanye politik sudah tentu tak bisa kita pungkiri kenyataanya saat ini.

Yang terakhir adalah Watak yang Lemah. Secara bersama watak yang lemah merupakah imbas dari belenggu feodalisme anyar tadi.  Karena kita terbelenggu, seperti dongeng Sisipus, yang membawa-bawa batu ke puncak gunung yang kemudian tergelincir ke bawah dan seterusnya berulang-ulang. Seperti sebuah ketakberdayaan yang muskil kita ubah. Manusia-manusia yang secara personal dan kelompok terpaksa terus-menerus berbuat untuk patuh dan serba memaklumi.

Ego kita, terkungkung dalam tempurung kegelapan, yang datang dari luar dan berkubang di dalam diri, sebagai ketidaksadaran kolektif yang merembes ke palung jiwa. Ego tersebut, membuahi kita abad demi abad, kita tak sadar menyianginya, ia tumbuh bersemi dan bahkan mendewasakannya.

saskia soeratnoto
saskia soeratnoto
Mahasiswi pasca sarjana ilmu budaya yang menyukai menulis dan melukis
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.