“Berita tentang Covid-19 itu tetap penting, yang perlu dihindari itu adalah berita hoax tentang Covid-19”, kata salah seorang psikolog yang dimintai pendapatnya tentang ajakan sebagian warga untuk stop baca berita Covid-19 dalam sebuah acara bincang di radio.
Saya teringat keluhan salah seorang sahabat saya di awal-awal munculnya virus corona tahun lalu. Saat itu pemerintah baru saja mengumumkan data jumlah orang yang terinfeksi dan jumlah yang meninggal karena Covid-19. Sejurusnya kemudian di grup WA juga mulai berseliweran video yang menunjukkan mayat korban virus baru tersebut. Korban Covid-19 di Wuhan,China, waspadalah, demikian caption di video itu.
Mas Ardi, sahabat saya di seberang sana tiba-tiba menelpon, menanyakan bagaimana dengan berita itu. Suaranya terdengar agak gemetar. Seperti suara orang yang sedang ketakutan. Dan benar dugaan saya, dia kemudian mengakui bahwa sebenarnya merasa sangat panik ketika mendengar korban meninggal karena Covid-19. Seketika dia merasa lemas, gemetaran dan keringat dingin.
Saya yang saat itu berprofesi sebagai tenaga kesehatan (sekarang sudah tidak) cukup kaget mendengar paranoid teman saya ini. Maklum, tenaga kesehatan – Apalagi yang bertugas di Rumah Sakit- tiap hari akan menyaksikan detik-detik akhir seseorang. Berita kematian seperti sudah sangat lazim. Tapi bagi teman saya ini, hal itu sesuatu yang momok yang sangat mengerikan.
Berita kematian akibat serangan wabah baru itu membuatnya panik dan stress. Mas Ardi dihantui perasaan bagaimana sekiranya jika itu berada di sekitarnya, apa yang harus dilakukan. Berarti kematian sudah sangat dekat, ditambah lagi berita-berita yang menayangkan mayat-mayat korban Covid-19 yang bergelimpangan di Wuhan saat itu.
Beberapa hari setelah itu, setiap berita tentang Covid-19 yang dishare ke grup WA, beberapa anggota grup juga mulai berkomentar bahwa sebaiknya berita tentang kasus Covid-19 itu tidak lagi dishare ke grup, ada beberapa yang langsung merasa was-was setelah membaca berita itu katanya. Ternyata mas Ardi, sahabat saya itu tidak sendiri. Ada beberapa orang yang mengalami hal serupa, stress dan panik mendengar tentang kematian akibat Covid-19.
Di media online saya membaca seorang psikolog, Alison Holman, mengatakan semakin banyak orang terpapar berita menegangkan seperti virus corona maka semakin besar kemungkinan mereka merasakan tingkat stress dan kecemasan akut yang lebih tinggi. Ketika seseorang terus-menerus memaparkan diri mereka pada berita yang memicu kecemasan, membuat otak mereka merasakan peristiwa yang mengancam dan menegangkan berulang kali, maka hal ini bisa berpengaruh pada kesehatan mentalnya. Dan ujung-ujungnya adalah turunnya penurunan imunitas tubuh seseorang.
Efek lain yang dapat timbul dari membaca berita Covid-19 juga adalah memicu gejala psikomatis. Psikomatis adalah merupakan kondisi ketika pikiran memengaruhi tubuh sehingga memicu timbulnya keluhan fisik tanpa adanya penyakit. Seseorang bisa tiba-tiba merasakan keluhan batuk dan sakit tenggorokan akibat baru saja membaca berita Covid-19. Dan menurut dokter konsulen Rudi Putranto, jika ini dibiarkan dapat menjadi kronis yang juga akan berdampak pada gangguan daya tahan tubuh.
Namun, mengabaikan berita dan informasi tentang covid juga berdampak negatif. Menurut Nael Sumampouw, psikolog dari Universitas Indonesia. Tindakan mengabaikan segala informasi terkait Covid-19 bisa berdampak pada tindakan masa bodoh, misalnya terhadap protokol kesehatan.
Dan itu mulai terlihat hari ini. Sebagian masyarakat sudah mengabaikan berita dan infomasi tentang Covid-19, akhirnya muncul fenomena di mana orang-orang sudah bermasa bodoh tidak menerapkan protokol kesehatan. Setiap hari kita mulai menyaksikan warga beraktivitas di luar tanpa menggunakan masker lagi. Orang mulai bekerja seperti biasa tanpa khawatir tertular virus.
Di pasar, cafe, mall dan tempat wisata orang mulai berkerumun. Di bandara dan di atas kendaraan umum penumpang berdesakan dalam antrian. Di kampung-kampung warga sudah menggelar hajatan nikahan yang sempat dilarang beberapa yang lalu. Botol wadah cairan handsanitizer di tempat-tempat umum sudah tak berisi. Kini Sosial distancing hanya terlihat di acara-acara kantoran saja.
Bahkan, beberapa waktu yang lalu juga viral beredar selebaran yang berisi ajakan untuk berhenti membaca berita covid. Jika ini ditolerir maka akan tercipta rasa aman palsu (false sense of security) di tengah masyarakat. Masyarakat cenderung merasa aman dari virus corona akibat jarang lagi mendengar informasi-informasi tentang covid. Dan kondisi ini sangat berbahaya di tengah masih merebaknya pandemi covid
Lalu bagaimana menyikapi berita covid dan kekhawatiran dari efek beritanya? Jika saya ditanya soal itu, saya pun akan kebingungan menjawabnya. Paling banter saya akan memberikan jawaban klasik, jangan panik mendengar berita Covid-19 tapi tetap waspada. Tetap pakai masker, hindari kerumunan dan seringlah mencuci tangan. Tapi apakah jawaban saya, jangan panik, dapat mencegah seseorang untuk betul-betul tidak panik dan tidak timbul gejala psikomatis ketika mendapat berita Covid-19.