Rabu, April 17, 2024

Edward Said dan Relevansi dengan Masa Kini

zkshafira
zkshafira
Political Science student. Interested in geopolitics and defence studies.

Dalam salah satu karya Edward Said yang berjudul Culture and Imperialism, secara singkat dinyatakan bahwa ada dua istilah umum yang berkaitan dengan penjajahan yang digunakan sejak dahulu, yakni imperialisme dan kolonialisme.

Imperialisme merupakan bentuk penjajahan oleh negara yang telah lebih dahulu berkembang (developed) terhadap negara yang less-developed atau negara-negara dunia ketiga, sementara kolonialisme adalah bentuk penjajahan dengan menduduki wilayah jajahan yang jauh serta mendirikan pemerintahan kecil di sana.

Imperialisme dan kolonialisme kuno dilakukan oleh negara-negara Barat yang telah mengalami civilization lebih awal, seperti Inggris dan Prancis terhadap negara-negara Timur. Abad ke-19 merupakan klimaks dari kejayaan bangsa Barat di dunia. Hingga tahun 1940, Eropa memegang 85% dari keseluruhan belahan bumi dalam bentuk koloni, dominion, protektorat, dan persemakmuran.

Bangsa Barat terus menerus melakukan ekspansi untuk mencari pasar, bahan baku, tenaga kerja murah, dan tanah. Seiring berjalannya zaman, muncul istilah Orientalisme, sebuah konstruksi di mana orang-orang Barat memandang orang-orang Timur (oriental) sebagai “the others” dan inferior.

Meskipun pada era modern, direct colonialism sudah relatif berakhir, tapi imperialisme masih berlanjut hingga kini dalam bentuk intervensi ideologi, ekonomi, politik, dan sosial. Akibat adanya imperialisme ini, negara-negara terjajah membangun pondasi, baik secara kultural maupun sosial, yang berkiblat kepada dunia Barat.

Pembagian dunia menjadi Barat dan Timur pun kini telah berubah menjadi Utara dan Selatan, antara negara-negara maju dengan negara-negara yang sedang berkembang, bahkan polarisasinya lebih kuat daripada Perang Dingin.

Bahkan PBB, sebuah lembaga yang diagung-agungkan oleh dunia, dianggap belum berhasil memberikan resolusi untuk konflik yang terjadi di negara-negara dunia ketiga (negara-negara Afrika, Palestina, dan lain sebagainya). Hal tersebut tidak terlepas dari peran Dewan Keamanan tetap yang menginfiltrasi kepentingan-kepentingannya.

Sebetulnya, gagasan mengenai Orientalisme milik Edward Said ini sendiri mendapat kritik keras dari beberapa ilmuwan, salah satunya bersumber dari Bernard Lewis, seorang sejarawan dan ahli kajian Timur Tengah dari Princeton University.

Ia menyatakan bahwa “Orientalisme” saat ini telah mengalami pergeseran makna, yang tadinya berarti: 1) Salah satu mazhab dalam seni lukis; 2) Disiplin akademik yang mempelajari kajian Timur Tengah, menjadi “unsymphatetic or hostile treatment of Oriental people.”

Lewis menilai istilah Orientalisme yang sebenarnya (dalam ranah keilmuan) telah mengalami word pollution. Kedua, pemikir yang selaras dengan Said mengenai poskolonialisme, Gayatri Spivak, memiliki perspektif lain mengenai meski gagasan mereka serupa. Ia menyatakan bahwa negara-negara terjajah (Third World) ini sebagai kelompok subaltern yang tidak dapat berbicara dan bertindak.

Kelompok subaltern dapat meliputi perempuan, orang-orang tribal, negara-negara dunia ketiga, dan orient. Spivak mewakili suara kelompok subaltern yang dibungkam. Ia juga menolak gagasan bahwa terdapat kebudayaan prakolonial yang dapat dikembalikan. Sebab adanya kolonialisme membuat dunia mau tidak mau menerima ide-ide Barat dalam memahami dan melihat dunia.

Dalam pandangan penulis, penulis menyepakati bahwa pengaruh imperialisme dan kolonialisme Barat masih terasa di negara-negara dunia ketiga hingga kini. Penulis juga beranggapan bahwa negara-negara adidaya (yang utamanya negara-negara Barat) masih memegang kendali dunia sehingga negara-negara dunia ketiga pun terus menerus bergantung untuk mengembangkan diri, terutama dalam perekonomian.

Penulis mengamini pernyataan Joseph Conrad dalam Heart of Darkness (1899), di mana imperialisme modern adalah tidak hanya “mencuri” apa yang ada di tanah jajahannya, tapi juga “improving them”. Karenanya, dapat dipahami apabila hingga saat ini negara-negara berkembang masih bergantung kepada negara-negara yang telah terlebih dahulu maju—anda berhak setuju atau tidak setuju.

Meski memang, sifat ketergantungan tersebut justru makin memperkaya negara-negara maju, dan tidak meningkatkan kualitas negara-negara berkembang secara signifikan, sejalan dengan apa yang dikatakan Teori Ketergantungan (Dependency Theory).

Namun, yang menjadi masalah adalah ketika secara mental, orang-orang di negara berkembang selalu memiliki inferiority complex atau colonial mentality yang merupakan dampak dari kolonialisme dan paham Orientalisme, sebab masih berlakunya konstruksi yang memposisikan diri mereka sebagai strangers bagi orang-orang Barat.

Referensi:

Conrad, Joseph, (2002), Heart of Darkness. London: Hesperus Press.

Lewis, Bernard, (1982), “The Question of Orientalism” diakses melalui https://www.amherst.edu/media/view/307584/original/The+Question+of+Orientalism+by+Bernard+Lewis+%7C+The+New+York+Review+of+Books.pdf pada 17 Februari pk. 17.14.

Praveen, Ambesange, “Postcolonialism: Edward Said & Gayatri Spivak” dalam Research Journal of Recent Sciences Vol. 5(8), 47-50, August (2016).

Said, Edward, (1993), Culture and Imperialism. New York: VINTAGE BOOKS.

Said, Edward, (1979), Orientalism. New York: VINTAGE BOOKS.

Spivak, Gayatri Chakravorty, “Can the Subaltern Speak?” dalam Colonial Discourse and Post-Colonial Theory, New York: Columbia University Press.

zkshafira
zkshafira
Political Science student. Interested in geopolitics and defence studies.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.