Jumat, Maret 29, 2024

Dunia dalam Pusaran para Pemimpin Perusak Lingkungan

Ekananda Bintang
Ekananda Bintang
Pembaca buku apa saja

Siapakah pemimpin-pemimpin dunia yang melakukan paling banyak pengrusakan terhadap lingkungan? Mungkin, paling mudah Anda akan menjawab: Donald Trump. Ya, tepat sekali. Tetapi Trump tidak sendirian. Masih ada nama-nama lain yang harus disejajarkan dengan Trump dalam “prestasi” di bidang lingkungan hidup: Angela Merkel dan Justin Trudeau.

Sepertinya, hampir semua masyarakat dunia sepakat bahwa terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat adalah sebuah bencana bagi lingkungan hidup. Anda dapat dengan mudah menelusuri rekam jejaknya dalam merubah lingkungan hidup menjadi lebih buruk di internet.

Sebagai presiden salah satu negara terkuat di dunia, dia diharapkan mampu memimpin negara-negara lain dalam hal pelestarian lingkungan. Alih-alih melakukan hal terebut, Donald Trump justru terus menerus membuat kebijakan yang tidak memerhatikan aspek lingkungan sama sekali.

Pada Bulan Juni 2017, Trump mengumumkan pengunduran diri Amerika Serikat dari Perjanjian Iklim Paris yang justru diprediksi akan memperburuk ekonomi AS sendiri daripada meningkatkannya seperti yang dia klaim.

Segendang sepenarian dengan Trump, staffnya yaitu Scott Pruitt yang merupakan pimpinan Environmental Protection Agency AS juga mencabut Clean Power Plan –sebuah kebijakan untuk menanggulangi perubahan iklim di era Presiden Obama.

Bahkan, pemerintahan Trump berniat membuka industri kayu pada kawasan konservasi Cascade-Siskiyou yang menurut rakyat Amerika merupakan “keajaiban ekologis”. Sebelumnya kawasan tersebut telah diperluas oleh dua mantan presiden AS, Bill Clinton dan Barack Obama, sementara Trump hendak menghancurkan itu semua.

Semua kebijakan tersebut jelas mempersulit usaha mitigasi dampak perubahan iklim di masa depan yang sudah disepakati negara-negara di dunia dalam Perjanjian Paris.

Kemudian, ada nama Angela Merkel, sang kanselir Jerman, yang juga dinilai masuk dalam jajaran pemimpin dunia yang tidak pro lingkungan. Apakah Anda terkejut? Angela Merkel, sang “kanselir iklim”?

Orang yang memprakarsai perjanjian iklim pertama di PBB? Kanselir yang mengajak para pemimpin G7 untuk berjanji menghentikan pemakaian bahan bakar fosil pada akhir abad ini? Sang arsitek Energiewende milik Jerman – kebijakan transisi energi Jerman yang sangat terkenal? Ya, tepat sekali.

Merkel memang tidak terang-terangan seperti Trump. Merkel juga tidak hendak keluar dari Perjanjian Paris seperti Trump. Tetapi sayangnya itu semua hanya sebatas retorika. Apa yang seharusnya diperhitungkan adalah tindakan nyata, bukan sebatas pada kalimat visi-misi atau target. Merkel mempunyai kelemahan yang fatal: Merkel lemah dalam hal melobi raksasa industri Jerman. Keputusan-keputusan yang diambil Merkel dinilai lebih menguntungkan raksasa otomotif Jerman daripada keberlanjutan lingkungan hidup.

Pada tahun 2013, setelah lima tahun negosiasi, 27 negara-negara Eropa telah menyetujui sebuah standar bahan bakar baru untuk mobil: mobil-mobil Eropa tidak boleh mengemisikan lebih dari rata-rata 95 gram CO2 per kilometer sebelum 2020. Namun, rencana ini digagalkan oleh intervensi Merkel, dibantu oleh Perdana Menteri Inggris saat itu, David Cameroon.

Di tahun 2014, Merkel tidak mengindahkan peringatan dari Uni Eropa terkait polusi udara akibat mesin disel yang melebihi klaim pabrik pembuatnya. Bahkan, ketika skandal dieselgate terkuak, Merkel bersikeras mempertahankan menggunakan disel, dia mengatakan bahwa “kita akan mengerahkan segala cara” untuk mencegah kota-kota di Jerman melarang pemakaian disel.

Sebenarnya, langkah yang lebih buruk lagi pernah dilakukan Merkel pada tahun 2007. Saat itu, Merkel lagi-lagi membela kepentingan industri otomotif Jerman di depan komisi Uni Eropa dengan menolak standar mesin baru untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan memaksa Uni Eropa memilih kebijakan penggantian bahan bakar fosil dengan bahan bakar nabati (biofuels).

Sekarang, kebijakan biofuel Uni Eropa merupakan salah satu penyebab utama bencana lingkungan di dunia: deforestasi hutan di Indonesia dan alih fungsi lahannya menjadi kelapa sawit.

Setelah Trump dan Merkel, masih ada satu nama lagi: Justin Trudeau. Ya, Perdana Menteri Kanada dengan wajah tampan seperti personil boy band yang terkenal dengan politik inklusinya: penuh kasih terhadap imigran, bersikeras menyertakan perempuan dalam setiap tingkat pemerintahan. Wajar jika masyarakat Kanada sangat terpukau pada Trudeau.

Tetapi, ketika membicarakan isu lingkungan terkini seperti perubahan iklim, Trudeau sama saja dengan Trump dan Merkel. Trudeau mengatakan bahwa dia memastikan tidak akan ada orang-orang seperti Scott Pruitt di kabinetnya. Bahkan Trudeau punya Menteri Lingkungan, Catherine McKenna, yang mendorong Perjanjian Paris lebih ketat dalam menentukan target penurunan suhu global dari 2 derajat C menjadi 1,5 derajat C.

Namun, lagi-lagi itu semua hanya retorika belaka karena pemerintahan Trudeau terus menggali lebih banyak minyak dan menjualnya ke konsumen. Trudeau bersikeras membangun jaringan pipa baru antara Kanada dan AS untuk menyalurkan lebih banyak pasir minyak dari ladang minyak Alberta, dimana ladang tersebut merupakan salah satu penyebab bencana iklim terbesar di planet ini.

Pada Maret 2017, Trudeau berbicara di depan industri Petroleum Houston dan mendapatkan standing ovation dari para pengusaha minyak karena mengatakan: “tidak akan ada negara yang mempunyai 173 milyar barrel minyak di bawah tanah dan membiarkannya begitu saja.” 173 milyar barrel itu baru merupakan perkiraan.

Menurut Oil Change International, jika Kanada menggali semua minyak tersebut dan menjualnya ke konsumen sebagai bahan bakar, itu akan menghasilkan 30 persen karbon yang seharusnya dikurangi untuk mencapai target 1,5 derajat C pada perjanjian paris.

Di satu sisi, McKenna, Menteri Lingkungan Hidup Kanada, menyampaikan bahwa mereka mempunyai kebijakan carbon pricing, tapi dia juga mengatakan Kanada harus memasarkan kekayaan alam mereka (minyak). Sedangkan melakukan pernyataan yang kedua akan menegasikan pernyataan yang pertama. Sehingga kebijakan tersebut tidak akan berarti apa-apa dalam usaha penanggulangan bencana iklim.

Merkel dan Trudeau memang terlihat manis dalam membicarakan usaha penanggulangan perubahan iklim, tetapi sebenarnya mereka sama saja secara perilaku dengan Trump: merusak lingkungan. Dalam hal ini, Trump sedikit lebih unggul dari keduanya karena tidak menjadi munafik dan selalu bicara blak-blakan.

Tahun 2017 tercatat sebagai tahun terpanas meski tanpa kehadiran siklus iklim alami El-Nino. Dan, saya yakin tahun-tahun ke depan Bumi ini akan semakin “panas” di bawah kepemimpinan para pelaku vandalisme lingkungan hidup di atas, dengan atau tanpa El-Nino.

Ekananda Bintang
Ekananda Bintang
Pembaca buku apa saja
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.