“There is a crack, a crack in everything, that’s how the light gets in.” Kutipan dari Leonard Cohen ini menjadi refleksi yang tepat untuk menggambarkan kondisi dunia akademik saat ini. Jika dulu akademia dianggap sebagai tempat suci bagi pencarian ilmu dan kebijaksanaan, kini ia berubah menjadi arena persaingan yang kejam, di mana produktivitas lebih dihargai dibandingkan kreativitas, dan angka lebih berbicara daripada makna.
Dalam sistem akademik yang semakin dikendalikan oleh logika neoliberal, akademisi dipaksa untuk mengejar standar kinerja berbasis kuantitas: seberapa banyak publikasi yang dihasilkan, seberapa besar dana hibah yang diperoleh, dan seberapa tinggi metrik sitasi yang dicapai. Sistem ini tidak hanya menciptakan tekanan psikologis yang luar biasa, tetapi juga menyingkirkan aspek-aspek kemanusiaan dalam dunia akademik. Alih-alih menjadi ruang dialog yang kaya dengan pemikiran kritis, akademia semakin menyerupai pabrik pengetahuan yang hanya menghargai produksi cepat dan terukur.
Di tengah kondisi ini, muncul pertanyaan yang menggugah: apakah masih ada ruang bagi akademisi untuk menemukan makna dalam pekerjaan mereka? Bagaimana mereka bisa bertahan dalam sistem yang menuntut mereka untuk terus berlari tanpa henti?
Dalam artikelnya yang berjudul Writing Differently: Finding Beauty in the Broken, Ridgway, Edwards, dan Oldridge menawarkan perspektif alternatif yang menggugah: daripada berusaha menambal keretakan sistem dengan standar yang sama, mengapa tidak menemukan keindahan dalam ketidaksempurnaan tersebut? Dengan mengadopsi filosofi Daoisme dan seni Kintsugi, mereka mengusulkan cara baru dalam menghadapi academia bukan dengan melawan secara frontal, tetapi dengan menemukan celah-celah yang memungkinkan ekspresi diri, kreativitas, dan solidaritas.
Pabrik Pengetahuan yang Tanpa Jiwa
Sistem akademik saat ini telah terjerumus dalam jeratan neoliberal yang mengubah universitas menjadi korporasi. Sebagaimana yang dikemukakan Butler dan Spoelstra (2023), dunia akademik hari ini tidak jauh berbeda dari “alat penyiksaan abad pertengahan” yang terus meregangkan akademisi di antara berbagai tuntutan yang kontradiktif: mereka harus menjadi peneliti produktif sekaligus pendidik yang inspiratif, harus mengamankan dana penelitian sambil tetap memiliki waktu untuk membimbing mahasiswa, dan harus menulis dengan standar “objektif” sambil menekan ekspresi subjektif mereka sendiri.
Di balik citra akademisi sebagai pencari ilmu yang bebas, realitasnya lebih suram, mereka hidup dalam bayang-bayang kontrak kerja yang tidak pasti, beban administratif yang terus meningkat, dan ekspektasi institusional yang semakin tidak manusiawi. Dalam sistem ini, self-care sering kali dikemas dalam bentuk yang dangkal, seperti promosi keanggotaan gym atau sesi mindfulness, tanpa menyentuh akar masalahnya bagaimana universitas secara sistematis menciptakan lingkungan yang membuat akademisi mengalami kelelahan, kecemasan, dan kehilangan makna dalam pekerjaannya.
Menulis Sebagai Perlawanan Mikro, Mengubah Luka Menjadi Seni
Dalam menghadapi realitas ini, Ridgway dan koleganya mengusulkan pendekatan yang berbeda, menulis sebagai bentuk perlawanan mikro. Mereka terinspirasi oleh seni Kintsugi, teknik perbaikan tembikar Jepang di mana retakan yang ada tidak disembunyikan, tetapi justru ditonjolkan dengan emas, menjadikannya lebih indah daripada sebelumnya. Filosofi ini, yang juga sejalan dengan prinsip Daoisme tentang keseimbangan dalam kontradiksi, menjadi dasar bagi gagasan mereka bahwa akademisi tidak harus tunduk pada standar akademik yang kaku.
Dengan menulis secara berbeda, lebih reflektif, lebih emosional, lebih kolaboratif mereka menciptakan ruang untuk ekspresi yang lebih manusiawi di dalam sistem yang mengutamakan rasionalitas dingin. Ini bukan hanya soal bertahan, tetapi juga soal menciptakan cara baru untuk merayakan keberadaan mereka sebagai akademisi. Dalam konteks ini, menulis menjadi lebih dari sekadar tugas akademik, ia menjadi bentuk terapi, cara untuk merebut kembali agensi yang telah lama dirampas oleh sistem.
Apakah Ini Benar-Benar Perlawanan atau Sekadar Adaptasi?
Meskipun pendekatan ini menawarkan alternatif yang menggugah, ada paradoks yang sulit dihindari, mereka tetap harus bermain dalam sistem yang sama. Meskipun mereka mengkritik akademia, mereka tetap menulis dalam jurnal bereputasi tinggi, mengikuti standar produktivitas yang ditentukan oleh sistem yang mereka kritik. Hal ini menimbulkan dilemma, apakah ini benar-benar bentuk perlawanan, atau hanya adaptasi kreatif yang tetap berada dalam kerangka yang ada?
Selain itu, pendekatan ini lebih mungkin dilakukan oleh akademisi yang sudah memiliki posisi relatif aman dalam karier mereka. Bagi mereka yang masih berjuang untuk mendapatkan kontrak tetap, tekanan untuk mematuhi standar akademik tradisional jauh lebih besar, dan pilihan untuk menulis secara eksperimental mungkin bukanlah sebuah kemewahan yang bisa mereka ambil.
Di Mana Harapan Bagi Akademisi?
Terlepas dari kritik yang ada, pendekatan ini tetap menawarkan inspirasi yang penting bagi akademisi yang merasa terjebak dalam sistem. Ridgway dan koleganya menunjukkan bahwa meskipun akademia dipenuhi dengan tekanan yang tidak manusiawi, masih ada cara untuk menemukan makna dan keindahan dalam pekerjaan akademik. Dengan membangun komunitas yang saling mendukung dan mengeksplorasi cara-cara baru dalam menulis dan meneliti, akademisi dapat menciptakan ruang bagi diri mereka sendiri, meskipun kecil.
Lebih jauh, konsep Daoisme dan Kintsugi yang digunakan dalam artikel ini menunjukkan bahwa perubahan tidak harus selalu dilakukan melalui revolusi besar. Seperti air yang mengalir dan perlahan mengikis batu, perlawanan mikro dalam bentuk solidaritas, kreativitas, dan ekspresi diri juga bisa menjadi kekuatan yang kuat dalam jangka panjang.
Cahaya dalam Retakan Akademisi
Dunia akademik mungkin tampak sebagai sistem yang kejam, tetapi seperti yang ditunjukkan oleh Ridgway dan koleganya, retakan dalam sistem ini bukan hanya tanda kehancuran, tetapi juga peluang untuk perubahan. Jika akademia terus bergerak menuju komodifikasi total, pertanyaannya bukan hanya apakah kita akan bertahan, tetapi bagaimana kita bisa mengubah cara kita bekerja dan menulis agar tetap bermakna.
Seperti yang diajarkan oleh Daoisme, perubahan tidak selalu terjadi melalui konfrontasi langsung. Terkadang, perubahan terjadi melalui aliran yang lebih halus, dengan mencari ruang-ruang kecil untuk resistensi, dengan membangun solidaritas, dan dengan menulis secara berbeda. Jika akademia memang sudah retak, mungkin yang perlu kita lakukan bukanlah berusaha menambalnya dengan standar lama, tetapi justru menonjolkannya dengan “emas” berupa kreativitas dan kemanusiaan kita.
Maka, pertanyaannya bukan lagi apakah kita bisa bertahan di dalam sistem ini, tetapi bagaimana kita bisa mengubahnya dari dalam. Jika ada retakan dalam akademisi, apakah kita akan membiarkannya hancur, atau justru mengisinya dengan sesuatu yang lebih indah?