Kalau Qodari dikatain Fadli sebagai tukang dongeng, kalau Fadli ini peramal, demikian komentar Irma Suryani Chaniago, seorang politisi Partai NasDem, dalam acara Indonesia Lawyers Club di TvOne (Selasa, 31 Juli 2018).
Kebisingan politik jelang Pilpres 2019 yang di-frame sebagai pertarungan antara Jokowi versus Prabowo, sekaligus Megawati versus SBY sebenarnya diwarnai oleh pertarungan antara dukun-dukun politik juga. Meramal masa depan, menerawang ruang “gaib” percakapan segelintir elite, memanipulasi kesadaran massa lewat mitos-mitos adalah kerja-kerja perdukunan.
Inilah fenomena mistik politik itu. Mistisisme atau mistifikasi artinya melebihi batas kewajaran, menyimpang dari keaslian. Misterius, absurd, dan teka-teki. Sementara percaturan politik memerlukan kalkulasi logis dan rasional.
Politik bercampur mistik sarat akan absurditas. Tatapan atas konsep kekuasaan, cara memperoleh dan mempertahankannya kental dengan kekaburan. Dukun disangka punya kekuatan adi-kodrati untuk mempengaruhi konstelasi politik. Dunia politik yang penuh aliansi Leviathan (monster) pun menerima.
Jangan lupa, bahwa mistifikasi kekuasaan tak melulu berpaku pada dukun tradisional, tapi juga melibatkan dukun politik modern. Pada zaman baheula, dukun (paranormal) mengandalkan rapalan mantra, jimat, pasang susuk, dan kini berpindah ke lembaga survey, pengamat, dan para broker. Lahan subur demokrasi meniscayakan beragam ekspresi pemikiran dan kepercayaan itu.
Lembaga survey, tidak lepas dari “peramalan”, sekalipun berlandaskan data-data statistik berupa riset tren perilaku pemilih yang dikuantifikasi, sesuai kaidah keilmuan yang objektif, namun ada kalanya terbatas. Kadang tepat sasaran, tak terhindarkan pula kekeliruan. Politisi pun begitu, termasuk pengamat.
Mistifikasi politik sejumlah politisi tercermin bukan hanya mengadu nasib di tangan dukun, tapi juga lelaku mereka yang doyan membangun citra yang sarat manipulasi. Lalu dikaranglah dongeng bahwa yang bersangkutan keturunan dari trah kerajaan ini dan itu. Narsisme politik menjadi-jadi, terlebih glorifikasi dari massa ‘binaan’ seolah memberi legitimasi.
Sementara pengamat politik freelance ciptaan media rajin mengkreasi politik sinetronik dengan akrobat linguistik yang melangit, berbau filsafati. Bila partai itu mengusung syapres/syawapres (minjam istilah Sujiwo Tejo) tertentu, maka kejadiannya akan begini dan begitu. Berbeda dengan amatan peneliti tersertifikasi yang menjunjung tinggi marwah akademik melalui kajian yang serius, menawar solusi, bukan menambah surplus kegaduhan.
Inovator mistik politik terus mengendus watak pasar. Kesaktian mantra politisi yang mengeksploitasi simbol-simbol keagamaan, tak dinyana menyeret kelompok kepentingan (interest group), yakni mereka tetiba memprivatisasi ruang keulamaan menurut syahwat politiknya. Ulama sejati mestinya berlakon sebagai tangki moral, tanpa harus dikotak-kotakan dalam kubangan politik praktis yang beralaskan intrik. Maka, simbiosis mutualisme ekonomi politik atas nama agama patut disayangkan, bila benar-benar terjadi.
Ustadz seleb lantas tak terbendung, disewa untuk mendiskreditkan lawan tanding klien politiknya, lewat labeling “kafir”, “thagut”, dan segala macam sihir politik. Demokrasi yang berbanding lurus dengan akal sehat, dibengkokkan oleh provokasi para dukun politik.
Di simpang jalan, politicking fatwa diumbar guna menarik massa-konservatif. Beberapa calon kepala daerah hingga syapres malah meminta wangsit dari ‘bang toyib’ di Saudi Arabia yang nggak pulang-pulang, bukan mendekati konstituen dengan politik programatik. Agama mengalami desakralisasi akibat ulah politik yang profan dari para broker politik.
Semua jadi serba remang-remang. Pemerintah setengah mati “kerja”, terus bersitegang dengan oposisi setengah “kerjain”. Gerakan mahasiswa laksana bendera setengah tiang, pesona kritisisme kian memudar. Pengaku moralis setengah matang, sekadar menjual produk garing, tanpa esensi dan narasi-narasi yang konstruktif. Kilatan cahaya dakwah bil hikmah, lambat-laun memadam berganti ujaran kebencian, dan tayangan uka-uka penuh khurafat. Dan polarisasi dukun-dukun politik di kedua kubu terus memancarkan magisisme politiknya.
Dus, mari kita menatap perbuatan politisi dari out-putnya saja. Seberapa jauh keberpihakan mereka atas hajat hidup orang banyak, itulah yang diukur, bukan baju yang dipakai. Pun berguru, pilihlah ulama tawadhu’, bukan berguru kepada kelompok yang di-ulamakan oleh pemburu kuasa, lewat mistifikasi politik.
Dukun-dukun politik modern terus berkecambah di era demokrasi langsung. Lantas, apakah paranormal tidak laku lagi? Tidak juga. Abnormalitas perilaku elite tetap memanggungkan paranormal, bukan untuk menormalisasi zaman edan, malahan justru tambah edan.
Habis Ki Gendeng Pamungkas, terbitlah Roy Kiyoshi. Roy tak ketinggalan mengumbar opini masalah suhu politik jelang Pipres tahun 2019. Tak sedikit dukun membawa angin surga teruntuk politisi yang kurang pede bertarung alami, dan majalah liberty dan misteri mengungkap aib politik itu.
Kendati zaman kekinian serba digital dan rasio kian didewakan, tapi dukun pun tak kehilangan daya pikatnya. Tan Malaka pernah bilang, “Kalian, jutaan orang Indonesia, tidak akan mungkin merdeka dan maju selama belum membuang segala kotoran magis dari kepala.”
Karena itu, saatnya demistifikasi politik. Politik harus dirayakan dengan kontestasi gagasan dan visi kerakyatan. Bukan berbasa-basi dengan takhayul, dan cerita fiktif. Sebab rakyat butuh kepastian.
Kemudian, mulailah memandang wajah ulama dengan ‘indra keenam’, maksudnya kalau ada sekelompok orang mengaku-ngaku ulama, atau di-ulamakan oleh elite predator, segera dekharismatisasi. Beranilah berpikir dan bersikap dengan jiwa yang merdeka. Sebab akhlak kebangsaan dan kemanusiaan menjadi ukuran. Bukan lidah yang terus melisankan kekuasaan-an sich.
Dan, agama harus melekat pada penganutnya untuk berkarakter logos, bervisi progresif, mendorong etos kemajuan. Jangan dinodai kesuciannya hanya belaka kekuasaan, lalu agama sebagai tameng. Ingatlah high politics, bukan ‘haid politik’: sedikit-sedikit ngamuk seperti orang kesurupan!
Jadi, tak usah takut dinyinyir bang Fadli Zon, kalau misalkan antum jadi kolektor keris, katakan saja bahwa itu ekspresi kesenian, bukan kemistikan. Pun Bang M. Qodari, bukankah Michael Barone pernah bilang “how politicians use polls? You might as well ask how politicians use air”: bagaimana politisi menggunakan polling, survei opini publik, adalah semacam udara bagi politisi untuk bernafas.
Teruslah memberi nafas bagi politisi, Bang M. Qodari. Sebab kalau politisi kekurangan nafas, kami akan kehilangan adegan yang lucu-lucu dari mereka.
Jelang Pilpres 2019, tak terelakkan gesekan bawah tanah hingga udara antar ‘dukun-dukun politik’. Dan pesan buat Pak Jokowi (dan lain-lain), terima dan serap semua pergesekan itu, sebab “kalau tak tahan digosok, kapan cerminmu akan mengkilat”, demikian Jalaluddin Rumi berkata.
Ingat, KPU sudah membuka pendaftaran bakal capres dan cawapres 2019, batas sampai tanggal 10 Agustus 2018. Lupakan dukun. Jangan lupa berdo’a. Yakin Usaha Sampai!