Duel sengit dua slogan politik yang terkonversi melalui #2019GantiPresiden versus #2019TetapJokowi merupakan simbol masyarakat irasional. Lho Kok Bisa? Jawabnya gampang saja, kaos tidak mewakili politik.
Politik itu bukan hastag kaos. Politik adalah sikap dan tindakan pemerintah maupun perilaku parpol yang berhubungan langsung dengan kepentingan dan kebutuhan rakyat secara umum. Sampai di sini saya berharap para pemakai kaos berhastag seperti di atas, bisa memahaminya.
Dua hastag yang isinya saling bertentangan itu, saat ini hingga menjelang pilpres 2019 mendatang akan semakin banyak terpampang di bagian depan kaos. Sah-sah saja sih, kalau dua hastag itu bermunculan bagai jamur di musim hujan.
Sesungguhnya, dua narasi atau slogan hastag itu sama sekali tidak memberikan makna signifikan dalam proses suksesi kepemimpinan nasional. Narasi yang tertulis dalam dua hastag itu, telah kehilangan makna. Munculnya, dua hastag itu, justru mencerminkan adanya hawa nafsu dan ambisi sekelompok orang yang telah keluar dari pemikiran rasional.
Dalam Wikipedia, slogan diartikan sebagai motto atau frasa atau narasi yang dipakai pada konteks politik, komersial, agama, dan lainnya, sebagai ekspresi sebuah ide atau tujuan yang mudah diingat. Kata slogan diambil dari istilah dalam bahasa Gaelik, sluagh-ghairm yang berarti “teriakan bertempur”. Bentuk slogan bervariasi dari yang tertulis maupun lisan. Artinya, slogan atau narasi yang tertulis dalam dua hastag di atas memang ditujukan untuk perang wacana bukan untuk menciptakan suasana proses politik yang adem-ayem.
Suksesi kepemimpinan nasional tidak ditentukan oleh narasi atau slogan hastag. Pemilihan presiden tahun 2019 mendatang, justru akan lebih ditentukan oleh partisipasi aktif politik rakyat dengan seperangkat pengetahuan politik yang lebih berkualitas, dibandingkan dengan duel hastag di kaos.
Mungkinkah narasi atau slogan hastag di kaos bisa mempengaruhi pola pikir politik rakyat? Pertanyaan ini, tentu perlu dijawab dengan data-data otentik berdasarkan research, agar bisa ditarik kesimpulan bahwa narasi hastag memang mempunyai pengaruh terhadap opini publik.
Namun, faktanya kaos hanyalah sebuah kaos yang notabene hanya untuk dipakai dalam kegiatan sehari-hari, tanpa terkait sedikitpun dengan dunia politik. Justru pengaruh signifikan yang akan terjadi dengan adanya duel hastag ini adalah persaingan bisnis dalam industri pakaian, terutama kaos.
Mungkin saja, di tahun politik ini para pemain industri kaos akan saling bersaing untuk merebut pasar. Jadi, bukan hal yang aneh ketika sejumlah pengusaha industri kaos berlomba-lomba memproduksi kaos dengan dua slogan hastag di atas. Perlu diketahui, kepentingan utama kalangan industri kaos bukan politik, tapi motif ekonomi.
Di alam demokrasi yang masih terus berkembang di Indonesia, tampaknya nalar politik sehat dan pengetahuan politik yang dimiliki rakyat masih sangat minim. Rakyat lebih suka slogan dan narasi politik yang dikemas dalam hastag vulgar dan bombastis.
Sebagian rakyat Indonesia pola pikirnya masih irasional terhadap politik. Sedangkan, pola pikir politik masyarakat modern seperti di negara-negara Eropa, peran slogan atau narasi dalam sebuah hastag sangat kecil karena pemahaman politik mereka sudah baik. Hal itu terjadi karena partai politik, para politisi dan pemerintah di negara-negara Eropa telah lama membudayakan edukasi politik yang rasional dan sehat kepada rakyat melalui bangku sekolah ataupun sosialiasi politik dengan memakai perantara media massa maupun parpol.
Sedangkan di Indonesia, sejumlah parpol, politisi dan mungkin juga pemerintah sangat sedikit sekali mengedukasi pengetahuan politik sehat kepada rakyat. Sejumlah politisi parpol justru lebih banyak bicara soal perebutan kekuasaan. Nah, apakah dua slogan atau narasi hastag di atas masih patut kita perdebatkan? Mari kita renungkan bersama.