Jumat, Agustus 15, 2025

Dualisme Wacana dalam Kitab Kuning

Abdul Fatkhurrohman
Abdul Fatkhurrohman
Penulis yang mencoba lepas dan pembelajar isu-isu sosial keagamaan.
- Advertisement -

Jika Irfan Abu Bakar berargumen bahwa pesantren mampu membentengi dirinya dari paparan radikalisme agama melalui jaringan yang solid dalam komunitas internalnya, Iswahyudi menelisik lebih jauh adanya potensi eksklusivitas yang timbul dari dalam. Potensi tersebut ia telusuri melalui teks-teks yang diajarkan di pesantren (baca; kitab kuning).

Iswahyudi membidik pada jantung pertahanannya, dimana bibit eksklusivisme dianggap akan terpatahkan sejak dini (hlm. 5). Yaitu, pada tradisi pesantren salaf dengan transmisi sanad keilmuan serta otentisitasnya yang betul-betul dijaga. Lembaga pesantren yang selama ini diklaim berada di baris terdepan dalam mencetak para pelajarnya berpandangan moderat.

Melalui pendalamannya dalam menelusuri kitab kuning, Iswahyudi melihat adanya kemungkinan lain yang lahir dari tradisi keilmuan pesantren. Beberapa karakter eksklusif yang merepresentasikan praktik hari ini, dapat ditemukan dalam tradisi keilmuan pesantren salaf. Sebuah wacana dan praktik yang menilai tindakan lian dengan klaim salah benar, penyesatan, bid’ah sampai pada tingkat mengkafirkan.

Tidak jarang masyarakat diperlihatkan dengan perdebatan di antara ulama’ jebolan pesantren, baik yang dapat disaksikan langsung maupun melalui media sosial. Pro-kontra yang terjadi di antara pandangan yang mengemuka di publik, menjadi realitas adanya perselisihan yang secara epistemologis berangkat dari rahim yang sama.

Kontekstualisasi Wacana dalam Kitab Kuning

Kitab kuning, satu dari karakter utama pesantren salaf ini menyisakan dualisme pandangan; inklusif dan eksklusif dalam satu tarikan nafas. Dualisme wacana yang terkandung di dalam kitab kuning, mendorong salah satunya, pada praktik eksklusifitas dalam masyarakat.

Temuan tersebut penulis contohkan dalam beberapa narasi pada sejumlah kitab yang jamak dikaji di pesantren. Iswahyudi, di antaranya menghadirkan persoalan salah seorang makmum yang berposisi dalam membantu imam mengeraskan takbir atau tasmi’ dalam perpindahan rukun shalat. Praktik ini dalam keterangan kitab Fathul Muin dilabeli sebagai bid’ah munkarah, kecuali saat suara imam sudah terdengar. Masih dalam kasus kitab tersebut, pembatasan terhadap identitas madzhab seorang imam shalat juga dipersoalkan (hlm. 256).

Ketegangan di internal maupun antar kelompok di luarnya menjadi satu karakter yang tampak dari beberapa persoalan ini. Persis seperti yang ditamsilkan pada silang-sengkarut dari kalangan pesantren salaf sendiri atas lahirnya NU garis lurus beberapa waktu silam. Begitupun dengan pelabelan terhadap individu atau kelompok yang berbeda pandangan sehingga menyulut perpecahan di masyarakat.

Wacana yang digulirkan Iswahyudi dengan melihat dua sisi kitab kuning membantu untuk menerjemahkan realitas yang terjadi. Konfrontasi yang tampak dalam pengkaji kitab kuning sendiri, menampakkan sejauh mana wacana yang bersemayam di dalamnya. Konstruksi keilmuan terhadap penerimaan wacana yang berada di dalamnya, menjadikan kitab kuning dapat lebih adaptif dalam mengurai persoalan.

Di saat yang bersamaan, nalar kritis menjadi modal dalam proses internalisasi pengetahuan yang diajarkan. Modal tersebut cukup urgen, sebab teks tidak lahir dari ruang kosong. Ia terikat dengan kondisi (konteks) dimana penulis hidup, ideologi bahkan aspek politis yang berkelindan dalam pembentukan teks.

Pada titik ini, kitab kuning seyogyanya dibaca dalam konteks zaman. Bukan semacam teks sakral maha benar. Sebagaimana teks-teks lain, kitab kuning menjadi semacam pendapat yang mungkin dapat diadaptasi atau bahkan tidak sama sekali (hlm. 246). Secara bersamaan, kitab kuning lahir dan lekat dengan dinamika historis dimana sang penulis meramu berbagai persoalan dan solusi masa lalu. Artinya, belum tentu kondisi tersebut juga mewujud dalam konteks hari ini.

- Advertisement -

Buku ini telah setidaknya mengungkap karakter tersebut dalam kitab yang dijadikan bahan ajar utama dalam tradisi pesantren. Modal kritis serta kepekaan semiotis terhadap pembacaan kitab kuning akan semakin mengokohkan tradisi keilmuan yang dibangun, alih-alih mendelegitimasi. Lebih-lebih, kitab kuning menjadi warisan intelektual Islam yang terbukti secara historis berdampak terhadap masyarakat secara luas, khususnya perkembangan Islam di Indonesia sendiri (hlm. 130).

Abdul Fatkhurrohman
Abdul Fatkhurrohman
Penulis yang mencoba lepas dan pembelajar isu-isu sosial keagamaan.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.