Selasa, November 12, 2024

Dua Sisi Media Digital Terhadap Budaya Lokal

Elang Ade Erlangga
Elang Ade Erlangga
Mahasiswa Antropologi
- Advertisement -

Mari kita mulai membaca dan sambil memperhatikan sekitar kita tentang Media,Budaya, dan Jati Diri. Mungkin kita sudah mengetahui istilah Globalisasi. Globalisasi itu ditandai dengan semakin hilangnya batas Negara, artinya bahwa dengan globalisasi informasi dari Negara lain dapat diakses tanpa harus ke Negara tersebut. Sehingga batas Negara semakin tidak berarti.

Globalisasi juga ditandai dengan perkembangan pesat IPTEK, salah satunya adalah media digital. Kita sudah pasti paham tentang apa itu media digital karena sampai detik ini kita menggunakannya. Tapi pernahkah terlintas di pikiran kita” sebenarnya di balik segala kemudahan yang disajikan media digital adakah sesuatu yang justru disudutkan atau mendapat dampak buruknya?” yang paling bisa kita lihat adalah dalam bidang kebudayaan.

Distorsi Eksistensi dan Nilai Kebudayaan 

Jika kita melihat fenomena-fenomena di sekitar kita, yang sering kita temui di media sosial kita, di layar televisi kita, maka kita akan melihat fenomena distorsi eksistensi dan nilai dari budaya lokal kita. Sebagai contoh misalnya seperti ini “saat ini apa yang pikirkan ketika mendengar kidung lingsir wengi? Pasti tidak sedikit akan berpikir “ Horor nih, Serem” sembari mematikan lagu tersebut. Padahal  kidung Lingsir wengi itu merupakan sebuah kidung yang isinya adalah nasehat dan tuntunan untuk kita (manusia).

Kenapa bisa terjadi demikian? Inilah yang dinamakan distorsi atau pergeseran makna/nilai dari sebuah kebudayaan. Apa yang menyebabkan? Salah satunya adalah media digital yang menampilkan film-film bergenre horror dengan memasukan salah satu unsur kebudayaan ke dalamnya. Sehingga lambat laun hal ini menyebabkan perubahan persepsi dari masyarakat terkait makna/nilai dari kebudayaan tersebut, yang semula bermakna nasehat kemudian menjadi bermakna menyeramkan.

Selain mendistorsi sebuah makna kebudayaan, ternyata media digital juga memiliki potensi untuk menggerus eksistensi dari kebudayaan misalnya kesenian tradisonal. Peminat kesenian tradisional dahulu dengan sekarang sangat jauh berbeda, dahulu para siswi banyak sekali yang minta untuk ekstrakulikuler tari, tapi saat ini hal tersebut walau masih bisa ditemui tetapi tentu tidak sebanyak dulu.

Bahkan tarian tradisional sekarang mulai tersaingi oleh eksistensi dari tarian modern atau dance. Hal ini tentu tidak lepas juga dari pengaruh media yang menampilkan dance modern bahkan saat ini dance sedang menjadi primadona dengan munculnya K-POP yang sedang menjadi trend di berbagai belahan dunia. Dibarengi dengan drama-drama dari Korea juga, akhirnya tontonan yang menampilkan budaya kita sendiri seperti wayang kulit,wayang orang, kethoprak, dramatari dan lain sebagainya semakin tidak diminati.

Hal ini tentu miris manakala negeri Ijo Royo-royo dengan dihiasi beranekaragam suku, adat,kebudayaan dan kesenian-keseniannya yang diakui oleh dunia sebagai Negara dengan kebudayaan terbanyak ternyata pemiliknya malah terlena dengan budaya luar dan melalaikan budaya sendiri, bahkan bahasa daerah kita aja tidak begitu mahir, padahal bahasa asing kita fasih.

Kebudayaan adalah Jati Diri 

Kebudayaan adalah jati diri, mengapa? Karena kebudayaan adalah serangkaian nilai-nilai, norma-norma, kebiasaan, cara pandang masyarakat yang diakui dan menjadi pedoman bagi kalakuannya sehari-hari. Singkatnya begitu bahwa dalam kebudayaan itu terdapat nilai, norma, cita, karsa yang tumbuh dari masyarakat dimana kebudayaan itu tumbuh dan berkembang. Maka hal ini bisa dikatakan sebagai jati diri. Jati diri juga bisa dilihat atau ditemui dari kesenian tradisional, kenapa demikian? Mudah saja, karena kesenian tradisonal adalah bagian dari kebudayaan.

Di dalamnya pasti terdapat symbol-simbol yang memiliki makna dan merepresentasikan nilai-nilai dalam masyarakat. Contoh tari di Solo cenderung lebih luwes dan lembut daripada tarian yang tumbuh dan berkembang di daerah pantai misalnya, hal ini merepresentasikan nilai yang berbeda antara yang tumbuh di Solo dengan yang tumbuh di daerah pesisir. Maka tak heran jika kesenian tradisonal itu dapat menggambarkan jati diri suatu masyarakat.

Media Digital Sarana Mengembangkan Kembali Budaya Lokal

Sebagaimana tertulis di judul bahwa media digital memiliki 2(dua) sisi bagi budaya lokal. Pertama, adalah sisi yang negative yaitu media digital sebagai gerbang masuk budaya luar yang mendistorsi makna dan menggerus eksistensi budaya lokal.

- Advertisement -

Kedua, bahwa media digital adalah sarana bagi budaya lokal untuk mengenalkan dirinya, mengeksiskan kembali dirinya, dan menjadi sarana inovasi agar budaya lokal tetap bisa mengikuti perkembangan zaman. Misalnya gimana?  Sekarang ini telah banyak seniman-seniman yang mengembangkan budaya lokal melalui media digital.

Dalang-dalang telah banyak yang menampilkan sabetan wayangnya melalui youtube, sehingga saat ini pagelaran wayang kulit kembali diminati oleh kalangan muda. Dramatari juga sekarang banyak diperankan oleh seniman-seniman muda dan juga menggunakan media digital sebagai sarana publikasi karya.

Sebenarnya budaya lokal seperti kesenian tradisional ini masih memiliki potensi untuk berkembang, hal ini disebabkan kesenian tradisonal adalah sarana bagi kalangan tua untuk bernostalgia karena tentu kesenian-kesenian itu dulunya menjadi tontonan bagi kalangan tua. Dan bagi generasi muda itu merupakan hal yang unik, menarik kosepnya sama seperti ketika budaya luar baru masuk. Tapi tentunya harus diinovasi agar lebih menarik.

Pemanfaatan media digital dalam bidang kebudayaan tentu tidak sebatas menampilkan melalui video yang diupload di sosial media. Tapi juga bisa dikemas dalam bentuk visual misalnya komik yang memvisualkan atau menampilkan folklore, lokal hero, atau makhluk-makhluk mitologi yang kita punya.

Coba kita sedikit membayangkan pasti keren kalau ada yang mengembangkan komik super hero dengan hero-hero lokal mungkin tidak kalah dengan komik Marvel atau DC. Atau juga bisa dijadikan sebuah animasi. Seperti serial Naruto yang mengangkat ninja dan kebudayaan jepang seperti mitos tentang ­moster berekor dan lain-lain. Toh saat ini karena serial Naruto Jepang semakin terkenal, budayanya semakin menglobal. Sebenarnya Cuma satu pertanyaannya”kita mau atau tidak?”.

Elang Ade Erlangga
Elang Ade Erlangga
Mahasiswa Antropologi
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.