Dahulu pada awal tahun 2000an, saya masih ingat bagaimana bapak saya harus mengantri terlebih dahulu di bank untuk mengambil uang di tabungannya guna keperluan biaya mudik ke kampung halaman. Namun selang beberapa tahun kemudian, semua berubah, kartu ATM mulai dipasarkan sebagai medium untuk melakukan pencairan uang melalui mesin ATM.
Munculnya ATM akhirnya membuka portal baru dalam dunia transaksi keuangan. Sebuah kartu ber-chip yang semula hanya sebagai langkah efisiensi dalam pencairan uang, mulai berevolusi menjadi sebuah alat transaksi untuk pembayaran, hingga Kartu ATM ini pun mulai bertranformasi menjadi kartu ATM debit dan kredit. Tidak berhenti sampai disitu, model transaksi keuangan terus menerus mengalami inovasi dan bertranformasi.
Hingga muncullah eletronik money dengan dua versi yaitu berbasis pada server seperti halnya ovo cash, dana, gopay dan berbasis pada chip seperti Flazz, Brizzi, TapCash dan masih banyak lagi. Selang beberapa tahun kemudian hingga saat ini, model layanan elektronik money telah menghegemoni setiap transaksi–transaksi masyarakat modern, terutama kaum urban. Dan pada masa sekarang, transaksi ini mulai menjadi budaya dan disebut dengan budaya less cash atau cashless Society.
Cashless society menjadi sebuah budaya dan fenomena ekonomi yang tidak lepas dari campur tangan pola bisnis dan kegiatan ekonomi yang terdigitalisasi. Disadari atau tidak, fenomena cashless merupakan sebuah multiplier effect dari tranformasi prilaku industri kita yang berbasis pada teknologi.
Kita saat ini berada pada sebuah ekosistem ekonomi yang disebut sebagai revolusi industri 4.0. Di mana dalam ekosistem ini terdapat berbagai macam pelaku ekonomi yang kaya inovasi dan begitu kreatif, sehingga melahirkan populasi startup yang begitu masif, dan mestimulus sebuah siklus transaksi keuangan modern yang terintegrasi.
Dengan pola transaksi keuangan yang terlihat begitu sistemik dan futuristik, pemerintah sekaligus otoritas moneter dalam hal ini Bank Indonesia merasa begitu optimistis akan terciptanya masyarakat non tunai secara menyeluruh dalam tiap transaksi.
Harapan pada Cashless Society yang Realistis
Mengapa harus non tunai? Apa yang menjadi asbabun nuzul pemerintah maupun otoritas moneter begitu masif mengusahakan budaya non tunai yang disebut cashless society ini? Semua jawaban tersebut tentu saja bermuara pada proses globalisasi yang terjadi pada sektor – sektor publik dan kehidupan sosial kita.
Pada era kali ini, kita telah terjebak pada era globalisasi yang disebut dengan technoscape. Era technoscape merupakan sebuah masa di mana masyarakat kita begitu candu menggunakan layanan internet dalam keseharian mereka, baik dalam lingkup privasi maupun di area publik. Dalam hasil survei yang bertema “Penetrasi dan pengunaan Internet Indonesia 2017” oleh Asosiasi Penyedia Jasa Internet menunjukan hasil bahwa ada sekitar 143 juta pengguna internet aktif di indonesia.
Internet memberikan akses tanpa batas kepada masyarakat untuk mengekspose dan menyuarakan kepentingan mereka. Menyediakan kebutuhan, memberikan pelayanan hingga pemanfaatan keamanan. Pemanfaatan internet yang awalnya berfungsi sebagai medium pembantu, kini ternisbahkan menjadi sebuah sarana untuk pemantaban identitas dan eksistensi individu di sebuah elemen masyarakat.
Perilaku masyarakat kita pun mulai terdigitalisasi. Hal ini menjadikan pemerintah dan BI mulai memahami arah perilaku transaksi keuangan masyarakat dalam negeri yang mulai termodernisasi oleh teknologi. Untuk mendukung fenomena tersebut, pada tahun 2014 secara resmi BI dan juga pemerintah mulai mengkampanyekan Gerakan Nasional Non Tunai, dan menargetkan tahun 2020 sebagai target cashless society yang mengehegemoni setiap transaksi keuangan dalam negeri.
Harapan menjadi negara yang berbasis pada cashless society semakin dipertegas dengan dirilisnya kebijakan dari BI yaitu QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard). QRIS ini tercantum pada Peraturan Dewan Anggota Gubernur No.21/18/PADG/2019 tentang Implementasi Standar Nasional Quick Response Code untuk pembayaran.
QRIS merupakan sebuah QR code untuk pembayaran melalui aplikasi uang elektronik served based, chip based, maupun mobile banking. Sistem ini bertujuan agar setiap transaksi bisa berlangsung satu pintu, dan terintegrasi serta terpantau langsung oleh BI.
Selain perilaku masyarakat yang sudah terdigitalisasi, ada beberapa alasan menagapa budaya cashless society menjadi sebuah hal yang realistis bagi pemerintah dan otoritas moneter. Diataranya adalah cashless society saat ini menjadi sebuah indikator mengenai sebuah negara yang memiliki infrastuktur yang telah maju.
Dengan adanya cashless society, segala macam pembayaran layanan publik seperti tranportasi, pelayanan listrik, maupun kebutuhan rumah tangga bisa terkoneksi secara menyeluruh. Kondisi ini akan menjadikan sebuah negara akan terlihat sebagai negara yang berbasis pada teknologi karena setiap kehidupan di sektor publiknya digerakan oleh senyawa teknologi.
Cashless society juga memberikan penghematan besar–besaran pada Bank Indonesia. Hal ini dikarenakan Bank Indonesia bisa meminimalisir pencetakan uang kartal yang membebani anggaran pemerintah. Di sisi lain, dengan budaya cashless society, akan memudahkan BI untuk memantau berbagai macam transaksi gelap yang berorientasi pada korupsi maupun penggelapan dana guna kejahatan yang berbau genosida.
Tentu saja, dengan beberapa alasan di atas, Cashless society menjadi sebuah fenomena menguntungkan bagi iklim ekonomi secara makro. tetapi, kita tidak bisa begitu saja menutup mata, bahwa ada beberapa alasan yang menyebabkan budaya cashless society menjadi hal yang utopis.
Perihal sisi utopisnya cashless society akan saya jelaskan dalam tulisan saya bagian kedua.