Goncangan yang dialami PT Asuransi Jiwasraya (Persero) semakin keras. Perusahaan sakit itu kemudian menampakkan semua boroknya. Tercatat sejak 2004 sudah ada indikasi masalah.
Perusahaan itu kemudian benar-benar tak tertolong pada 2018. Laporan terkini menyebutkan, aset Jiwasraya sebesar 23,26 triliun. Tapi kewajiban yang ditanggung 50,5 triliun. Besar pasak daripada tiang.
Untuk menyehatkan perusahaan ini, negara harus mengucurkan dana sekitar 32,89 triliun. Luar biasa.
Kejaksaan Agung menyebutkan, laporan kerugian Negara yang ditimbulkan Jiwasraya mencapai 12,7 triliun. Jauh lebih besar dari kasus Century. Anehnya, semua orang tenang-tenang saja. Bungkam.
Sampai di sini, publik seharusnya membuka mata. Ada yang sedang ditutup-tutupi oleh pemerintah. Ada asap, tapi tak terlihat apinya. Padahal oknumnya memang itu-itu juga sejak dulu. Mereka sengaja membiarkan perusahaan itu ambruk di depan mata.
Pemerintah tidak memiliki alarm bahaya. Padahal BPK sudah mengendus masalah di perusahaan plat merah itu sejak lama. Itu artinya, pemerintah mengabaikan peringatan dini dari BPK. Sengaja menutup-nutupi dari jangkauan publik.
Tetapi pemerintah tidak mandul sendirian. Yang paling berdosa di sini adalah bagian pengawasan. Dalam hal ini DPR. Ternyata selama ini mereka hanya ongkang-ongkang kaki dan menerima gaji. Tidak ada manajemen pengawasan. Padahal ada begitu banyak perusahaan negara yang sakit.
Legislatif hanya pandai membual di depan media massa. Menampakkan, bahwa mereka mewakili rakyat. Padahal sejatinya, mereka sibuk melaksanakan agenda Parpol. Ruang publik kita dipenuhi dengan sentimen politik perkubuan.
Kepentingan negara jadi nomor sekian. Itu terbukti dari tiadanya usaha pengusutan dalam kasus Jiwasraya. Bandingkan dengan kasus Century. Saat itu DPR paling ribut goreng sana-goreng sini. Sekarang, dengan kerugian yang jauh kebih besar, mereka malah memilih bungkam. Ada apa ini?
Dosa yang terakhir ditanggung oleh penegak hukum. Dalam hal ini KPK. Karena laporan indikasi korupsi itu sudah masuk ke KPK sejak lama. Ternyata, di era Agus Rahardjo, temuan itu diabaikan. KPK memilih tuli.
KPK lebih senang OTT kasus kecil-kecil. Main sadap-menyadap seperti kanak-kanak, lalu teriak di depan publik sebagai pahlawan. Mereka tidak membangun kasus dari bawah. Menindaklanjuti temuan BPK dan melakukan pengusutan secara mendalam.
Kemudian kasus itu dipingpong ke Kejaksaan. Dan sekarang mereka baru saja mulai mengusutnya. Kasus ini sudah berjalan sejauh itu, baru aparat hukum bekerja.
Di belakang aksi Polisi India itu, muncul pertanyaan paling penting, kenapa hal ini bisa terjadi? Kenapa Pemerintah, DPR, dan KPK membutakan diri?
Tentu saja muncul kecurigaan, bahwa ada banyak pihak yang bermain di sini. Jiwasraya adalah sapi perah para politikus. Kue legit yang dibagi secara merata. Oleh karena itu mereka tenang-tenang saja.
Bahkan di zaman Jokowi yang katanya transparan saja, kasus ini dibiarkan makin parah. Itu artinya, rezim Jokowi tak jauh beda dengan rezim SBY. Faktanya memang ada dua oknum yang sama di pemerintahannya, JK dan Sri Mulyani.
Dalam kasus Jiwasraya ini, agaknya oknum di belakang layar tidak akan disentuh. Mengingat begitu tenangnya semua pihak menghadapi persoalan ini. Seolah-olah mereka telah menemukan kambing hitam. Soal kerugian negara, itu urusan belakangan.
Tindakan Pemerintah paling jauh, seperti biasanya, hanya mengganti jajaran direksi. Itu berarti seperti yang sudah-sudah, mengganti orang lain dengan temannya sendiri. Mereka yang punya koneksi jauh ke dalam tembok istana.
Langkah penyelamatan Jiwasraya adalah omong kosong politik berikutnya.
Uang sebesar 32 triliun itu jauh lebih berguna untuk memberi makan orang-orang miskin di seluruh Indonesia. Uang itu bisa untuk membangun sekolah, memberi modal pengusaha kecil, atau bisa juga untuk menyuntik BPJS yang tekor terus.
Rakyat banyak akan lebih merasakan manfaatnya. Daripada untuk mengurus satu perusahaan penyakitan seperti Jiwasraya.
Wacana penyelamatan yang akan dilakukan oleh Erick Thohir pun, bisa jadi hanya bancakan elit politik selanjutnya. Sama seperti kasus Garuda Indonesia, kementerian BUMN sibuk memoles citra mereka di depan publik.
Orang-orang heboh membongkar urusan pribadi Dirut lama. Membuat urusan yang sifatnya substasial terkaburkan. Soal perusahan bobrok bukan konsumsi publik. Tidak seksi untuk dibicarakan. Tapi soal gundik dan gaya hidup, yang lebih membuat mereka tercengang.
Mental kritis kita tiba-tiba lenyap. Banyak orang lebih memilih jadi seperti penggemar sinetron. Takjub dengan kisah amis dan imajinasi murahan.
Sosok Erick Thohir kemudian digambarkan sebagai tukang bersih-bersih. Padahal hanya mengganti direksi. Tidak ada langkah konkret untuk membuat perusahaan merugi itu berkinerja bagus. Sama seperti yang dilakukan menteri sebelumnya.
Soal gundik dan sepeda Brompton Dirut Garuda, menjadi begitu penting untuk dibahas. Padahal Erick belum berbuat apa-apa. Bahkan mungkin tidak akan berbuat apa-apa. Hanya praktik kerja gaya lama. Business as usual.
Tetapi, sentuhan artifisial itu berhasil mengelabui publik. Membuat mereka lupa bahwa perusahaan itu bobrok sejak lama. Dan ada banyak perusahaan BUMN yang bernasib serupa. Kisahnya menunggu ambruk seperti Jiwasraya.
Status BUMN barangkali memang selamanya akan jadi sapi perah elit politik. Siapapun presiden dan menteri BUMN-nya. Wacana boleh berganti. Tapi oknumnya tak jauh dari lingkaran pemegang tampuk kekuasaan. Hanya prosesi ganti kulit musiman.
Ini adalah bukti dosa para elit politik di Indonesia. Mulai lembaga Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif ternyata tidak benar-benar berkhidmad untuk negara. Indikasinya, kasus Jiwasraya yang begitu besar tidak membuat mereka heboh. Tidak ada kegentingan yang memaksa. Semua diam, senyap dan bersikap masa bodoh.
Dengan tenang mereka tampil di depan kamera. Sambil tersenyum, mereka memberikan apologi klasik kepada publik. Menganggap uang triliunan itu seperti recehan saja. Tidak ada perasaaan berdosa. Apalagi malu.
Tahun baru muncul kembali, agaknya tidak ada resolusi baru untuk bangsa ini. Karena yang lama saja belum terlaksana. Persis seperti kata Chairil Anwar “Kerja belum selesai, belum apa-apa…”
Rasanya makin suram saja wajah Indonesia ini. Di tengah lesunya ekonomi, daya beli yang turun, bahkan ancaman resesi, uang negara telah dihambur-hamburkan seenaknya. Sementara itu semua pihak memilih bungkam. Tidak ada langkah ekstra keras untuk menuntaskannya.
Jiwasraya menunjukkan adanya dosa politik berjamaah, yang dilakukan oleh setiap lembaga negara. Orang-orang yang diberi kepercayaan oleh rakyat, untuk menakhodai bahtera bangsa. Satu hikayat getir yang terus terulang sepanjang masa.
Namun, meskipun gambaran suram menggantung di pelupuk mata, pada tahun baru 2020 ini, segenap doa dan harapan baik tetap ada untuk Indonesia. Menerobos dimensi, ruang dan waktu. Menjangkau Tuhan dengan segenap kemahadayaannya.
Tahun baru dengan gaya pemerintahan lama. Dengan apologi dan basa-basi politiknya. Dengan keserba-lambatan penyelesaiannya. Doa-doa dan upaya bangsa ini mestinya lebih hebat dari sebelumnya.
Jika bukan untuk lebih baik, minimal agar bangsa ini tidak lebih buruk saja.