Setelah kebijakan rasialis dan diskriminatif, ditambah lagi hasutan perang yang sering lantang ia suarakan, cepat atau lambat Donald Trump akan mengalami sesak napas.
Donald Trump mengalami kemunduran legitimasi. Hal ini dikarenakan oleh beberapa faktor. Pertama, tentang keabsahan pilpres. Bila ditinjau dari keabsaahan pilpres melalui suara elektoral atau suara populer, tampaknya Trump berada pada posisi yang sangat terpojok. Walaupun hasil electoral college, sebagai pintu terakhir rangkaian penentu pilpres menyatakan Trump sah sebagai presiden terpilih, namu hasil penghitungan suara populer menempatkan Hillary Clinton sebagai pemenang mengungguli Trump hampir 3 juta suara.
Selanjutnya, keterlibatan Rusia, presiden Vladimir Putin, atas kemenangannya melawan Hillary Clinton saat pilpres 2016 kemarin, telah menjadi batu sandungan besar dari laju roda pemerintahannya di negeri Adidaya tersebut saat ini.
Klaim sepihak terhadap Yerusalem sebagai ibu kota Israel yang mengundang reaksi keras umat Muslim dan dunia, merupakan “manuver brutal” yang dilakukan untuk mengalihkan gelombang isu negatif internal yang sedang menderanya.
Di samping itu, saat ini Trump tidak memiliki banyak opsi dan strategi untuk menghalau berbagai serangan yang datang, baik dari internal maupun eksternal, sehingga ia harus melakukan pengklaiman tersebut untuk mendapatkan sokongan kekuatan politik dari “power yahudi”. Hal ini sebenarnya adalah opsi terakhir dari langkah yang bisa ia lakukan untuk mengamankan posisinya, mengingat lemahnya legitimasi rakyat Amerika atas kemenangannya pada pilpres.
Terkait pengklaiman tersebut, di samping Trump sedang terdesak, mungkin saja ia beranggapan memiliki peluang keberhasilan untuk menyerahkan Yerusalem kepada “Yahudi” sebagai alat “barter-politik”-nya dengan melihat berkembangnya konflik klasik identitas Sunni-Syi’ah di dunia Islam, khususnya Timur Tengah yang banyak menguras energi dan perhatian umat Islam.
Saat ini Arab Saudi dikonstruksikan sebagai negara Islam Sunni dan menjadi pimpinan negara-negara Islam Sunni lainnya. Begitupun Iran, Iran di konstruksikan sebagai negara Islam Syiah, dikerenakan Syiah mendominasi negara tersebut. Revolusi Iran (1978-1979) yang digerakan oleh kaum Syi’ah, telah memberi pengaruh yang cukup besar di dunia Islam, khususnya Timur Tengah.
Pengaruh revolusi Islam Iran sangat terasa terutama di negara-negara yang memiliki penduduk Syi’ah dengan jumlah cukup besar, seperti Irak, Lebanon, Bahrain, Kuwait, dan Yaman. Ditambah lagi pengaruh dan kekuatan iran, baik ekonomi maupun militer yang semakin kuat, membuat arab saudi dan negara-negara Sunni, khususnya timur tengah semakin khawatir.
Dengan kata lain Trump beranggapan pengklaiman yerusalem akan berjalan lancar dan tidak akan mendapat perhatian serius karena negara-negara sunni dan syiah telah mencurahkan seluruh energ, fokus, dan perhatian mereka untuk saling meng-counter kekuatan dan pengaruh satu sama lain demi memperebutkan hegemoni di Timur Tengah.
Trump semakin yakin karena negara sekutunya, Arab Saudi melalui MBS (Muhammad bin Salman) telah mengajukan proposal perjanjian damai antara Palestina-Israel kepada Mahmud Abbas, presiden Palestina, yang salah satu poinnya menawarkan agar ibu kota Palestina dipindahkan ke Abu Dis, dan memberikan Yerusalem kepada Israel.
Namun, Alih-alih untuk mengalihkan isu ataupun untuk mendapatkan dukungan “Yahudi”, nampaknya pengklaiman Yerusalem justru menjadi batu sandungan yang lain, karena Yerusalem bukan milik kelompok umat islam tertentu, manun milik seluruh umat islam.
Sehingga ketika pengklaiman itu dilakukannya seluruh umat islam di dunia merespon dan mengecam tindakkan Trump tersebut. Hal ini justeru semakin memperberat langkah Trump, Saat ini desakan mundur terhadap dirinya semakin hari semakin kuat, bahkan nampaknya gerakan sentimen anti-Trump gaungnya semakin lantang terdengar, baik dari internal pemerintahannya sendiri, masyarakat Amerika, dan juga dunia.
Bila mau berspekulasi, nampaknya berat, bila tidak ingin mengatakan mustahil, Trump mampu bertahan hingga dua priode di negeri adidaya tersebut. Bila melihat gelombang protes dari berbagai penjuru yang semakin liar, satu hal yang sangat dikhawatirkan Trump adalah ia akan diturunkan ditengah jalan dalam laju perjalanan roda kekuasaannya. Oleh karena itu, tidak heran, bila manuver apapun akan dimainkannya untuk mempertahankan “kursi kemudi” yang sedang ia duduki saat ini.
Bahkan ia memilih “langkah”, lebih baik menahan malu dan memasang muka tembok dari nyinyiran dan cibiran dunia, dari pada harus menanggung malu di dalam negerinya sendiri. Namun satu hal yang pasti, retorika pergeralan politik sangat liar, sekecil apapun peluang, masih sangat mungkin terjadi. Jadi, mari kita tunggu saja perkembangan selanjutnya dari manuver-manuver “liar” yang akan dimainkan Trump sembari menyeruput secangkir kopi hangat…!