Dewasa ini Indonesia sedang mengalami krisis pada sektor pertanian (agraria). Pada 1984 masa orde baru, Indonesia mendapat prestasi yang luar biasa dari sektor pertanian, Indonesia tahun 1984 pula bisa mengubah dirinya dari pengimpor beras terbesar dunia menjadi pengekspor beras terbesar di dunia.
Begitu juga pada tahun 2008 Indonesia mendeklarasikan diri atas pencapaiannya dalam hal swasembada beras. Di saat sebagian negara di dunia mengalami krisis pangan, Indonesia mampu meningkatkan produksi padi, luas tanam padi pada periode 2007-Maret 2008 mencapai 7,86 hektar atau 3,4 persen di atas pencapaian pada periode yang sama 2007/2008 di lansir dari kompas.com.
Menurut Mentri Pertanian Anton Produksi padi tahun 2008 sebesar 63 juta ton “Peningkatan dua tahun berturut-turut ini belum pernah terjadi dalam sejarah Indonesia. Dan mulai tahun ini tidak perlu impor lagi,” ujar Anton yang di lansir di BBC.com. Ini adalah pencapaian yang luar biasa setelah menunggu 24 tahun dari swasembada beras pada zaman Pak Harto.
Ironisnya sekarang ini yang notabenya Negara agrarian tapi beras harus impor, lebih lagi Indonesia termasuk 4 besar sebagai negara pengimpor beras terbesar dunia. Apabila dilihat dari data statistik impor/eskpor yang di publish di CCN indo dari 2012-2017 perbandingan impor sangat besar dari pada jumlah ekspor. Dari tahun 2012, Indonesia mengimpor 1,8 juta ton dan ekspor hanya 897,18 ton.
Walaupun tahun setelahnya jumlah impor turun menjadi ratusan ribu ton dan memulai memuncak lagi pada tahun 2016 yaitu sebesar 1,3 juta ton beras walaupun turun lagi pada tahun 2017. Akan tetapi apakah pantas negara agraria mengimpor beras? Salah satu penyebabnya adalah adanya penyempitan lahan tani secara terus menerus yang digantikan menjadi lahan industri salah satunya yang terjadi di Karawang.
Karawang dulu ialah penyumbang besar paling besar di antara daerah lain di Indonesia. Hal itu karena lahan tani yang sangat luas dan menjadi salah lumbung padi pada jaman orde baru. Ketika lahan tani semakin sempit dimutasikan industrialisasi, secara bersamaan para tani pun kehilangan pekerjaan mereka yang didapat dari hasil sebagai petani.
Jika melihat karawang sekarang, terdapat sekitar 1000 perusahaan di zona kawasan industri dan non kawasan. Pertumbuhan pesat perusahaan industri ini termasuk bisnis properti yang tidak di imbangi dengan penghijauan di lingkunan. Sehingga memberi dampak kurangnya penyerapan air dan iklim di karawang menjadi panas. Terlebih lagi apabila hujan terus menerus akan terjadi banjir yang memberi dampak gagal panen dan penghasilan para buruh tani pun berkurang.
Ketika industrialisasi dan lahan tani dimutasi dan para tani kesusahan untuk dapat penghasilan, di tambah lagi harga pupuk yang mahal. Sandang pangan pun menjadi sulit dan buruh tani semakin menjerit. Hal ini jauh akan dari kata sejahtera. Sejahtera ini ialah adanya kebebasan rakyat Indonesia dari rasa takut dan kekhawatiran dengan adanya keamanan.
Serta kebebasan dari kesulitan-kesulitan yang khususnya berkaitan erat dengan masalah ekonomi (kebutuhan hidup, missal sandang dan pangan dll). Selain itu dalam pidato 1 Juni 1945 yang di sampaikan Soekarno tentang “prinsip kesejahteraan ialah prinsip tidak akan adanya kemiskinan di negara Indonesia merdeka, yang semua cukup makan, cukup pakaian, dan merasa hidup dalam pangkuan ibu pertiwi.”
Pada pasal 33 UUD ayat 1 pancasila tahun 1945 disebutkan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan. Ini juga dipertegas oleh pemikiran wilopo tentang sistem Ekonomi Pancasila.
Perekonomian nasional Indonesia seharusnya disusun sebagai usaha bersama atas dasar asas kekeluargaan, tujuannya demi kesejahteraan rakyat. Ketika apa yang terjadi kepada buruh tani di karawang yang masih kesulitan sandang pangan akibat industrialisasi apakah ini sesuai dengan UUD Pancasila? Apakah sesuai dengan perkataan Soekarno yang negara merdeka itu tidak kemiskinan di dalamnya? Apa yang terjadi di karawang saat ini jauh dari harapan soekarno dan jauh dari UUD pancasia 45.
Kejadian di Karawang adalah bukti sistem neoliberalisme di mana pemodal bebas dalam mengurusi dan menjalankan perusahaanya tanpa campur tangan pemerintah. Meskipun Sri Mulyani dan ekonom Indonesia seperti Chatib Basri dan Raden Pardede yang bila bahwa tidak ada jejak neoliberalisme di Indonesia, tapi realitas di lapangannya tidak demikian.
Penguatan Kembali Agraria
Mestinya pemerintah ikut andil dan mengawasi perusahaan industri dan tidak menjadikan industrialisasi sebagai usaha dalam pembangunan ekonomi rakyat. Justru harusnya pembangunan sumber daya manusialah yang dijadikan sebagai instrumen pembangunan utama. Pengembalian bangsa Indonesia menjadi agraris kembali adalah alternatif bagi pemerataan ekonomi dan mengurangi kesenjangan di masyarakat.
Industrialisasi sudah terlanjur di Kawarang, Pemerintah harus mempedayakan rakyat dan lingkungan yang ada. Dengan cara memberikan edukasi kepada para petani tentang pentingnya penanaman pohon untuk menahan air hujan, sehingga tidak terjadinya banjir dan mencegah kekeringan air ketika musim kemarau tiba.
Sehingga tidak terjadinya gagal panen, demi menunjang kebutuhan rakyat khususnya di ranah domestik. Selain itu penguatan pada sektor agrarian juga akan memberikan dampak ekonomi yang rata pada masyarakat dari pada terus memabangun perusahaan-perusahaan.
Dampak industrialisasi menjadikan petani kurang pendapatan, ketika pendapatan berkurang ketahanan pangan keluarga juga berkurang. Pentingnya edukasi ini adalah untuk meningkatkan kembali katahanan pangan keluarga dengan pemanfaatan lahan tani yang seadanya tapi produktif dan efesien.