Pada bulan lalu, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya menganugerahi gelar doktor kehormatan atau doctor honoris causa kepada Imam Nahrawi, Menteri Pemuda dan Olahraga dalam bidang kepemimpinan kaum muda berbasis agama (Kompas, 14/09/2017). Di kota yang sama tidak kurang dalam satu bulan, Muhaimin Iskadar, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan sekaligus juga mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi era SBY juga mendapatkan gelar dari Universitas Airlangga dalam bidang Sosiologi Politik (Kompas, 3/10/2017). Seminggu sebelumnya, Megawati Soekarno Putri, Ketua Umum PDIP yang juga Presiden Indonesia 2001-2004, meraih gelar doktor kehormatan bidang Politik Pendidikan dari Universitas Negeri Padang (UNP) (Repubika, 27/9/2017). Tiga politisi nasional mendapatkan gelar doktor kehormantan secara berurutan dari tiga perguruan tinggi milik negara yang berbeda.
Penganugerahan gelar kehormatan kepada Imam Nahrawi tidak banyak menimbulkan polemik di media massa. Mungkin karena proses di internal kampus telah dilalui, disepakati pihak-pihak yang memiliki otoritas, termasuk tidak ada penolakan di kalangan dosen dan mahasiswa. Maka pemberian gelar tersebut berjalan lancar. Meskipun di media sosial ada beberapa kalangan yang juga mempertanyakan, karena dianggap “aji mumpung” menjadi pejabat publik.
Apalagi berdasarkan sepak terjang masih belum menonjol dan belum memiliki prestasi yang sangat luar biasa. Lebih lanjut, ada kelompok yang mempertanyakan dan mengaitkan gelar kehormatan tersebut dengan prestasi Indonesia di ajang SEA Games 2017 yang jeblok di bawah kepemimpinannya. Terlepas itu semua, tentu pihak UIN Sunan Ampel mempunyai argumentasi akademik yang diajukan. Apalagi Imam Nahrawi merupakan salah satu alumni kampus tersebut yang berhasil menduduki posisi penting dalam pemerintahan.
Berbeda dengan Nahrawi, Megawati justru mendapatkan penolakan dan bahkan sempat menjadi polemik di media massa. Kelompok yang menamakan diri Front Masyarakat Minangkabau (FMM) Sumatera Barat melakukan protes untuk menolak pemberian doktor kehormatan tersebut. Pada tahun sebelumnya, ketika Megawati dianugerahi gelar yang sama dari Universitas Pajajaran juga menimbulkan polemik dan penolakan oleh sebagian kecil alumni universitas di Bandung tersebut. Bahkan kelompok penolak tersebut membuat petisi publik melalui laman change.org (Tribunews, 25/5/2016).
Namun hal tersebut tidak berpengaruh, karena memang mekanisme pemberian gelar doctor honoris causa tersebut merupakan otonomi kampus. Meskipun demikian, tetap harus merujuk pada aturan garis besar secara normatif yang telah dibuat oleh Kemeristekdikti. Apalagi bila di lingkungan senat dan dosen kampus tidak mempersoalkan baik secara akademik maupun administratif, maka bisa dipastikan keputusan dan penganugerahan akan bebas hambatan.
Kalau Megawati hanya mendapatkan protes dari luar kampus, justru sebaliknya Muhaimin Iskandar mendapatkan protes dan penolakan keras dari dalam kampus pemberi gelar kehormatan tersebut. Bahkan sempat ada perubahan bidang keahlian doktor kehormatan yang hendak diberikan serta jadwal acara penganugerahan. Gejolak pun muncul di internal kalangan kampus, khususnya di lingkungan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (FISIP Unair) terhadap pemberian gelar tersebut. Bukan hanya dari dosen, tapi juga dari mahasiswa dan alumni lembaga tersebut.
Salah satu dosen yang bersuara keras adalah Airlangga Pribadi, dosen Departemen Ilmu Politik Unair. Ia melihat bahwa sebagai calon penerima gelar doktor kehormatan bidang sosiologi politik, Cak Imin belum memiliki track-record yang luar biasa dan bermanfaat untuk publik, maupun dunia pendidikan (Kompas, 1/10/2017). Lebih lanjut, ia mengingatkan agar Rektor dan Senat Universitas Airlangga kembali memikirkan dan menunda keputusan tersebut. Meskipun akhirnya tidak bisa menghentikan proses tersebut, paling tidak dirinya dan teman-teman dosen lainnya masih memiliki otonomi sebagai akademisi dan intelektual. Serta mereka masih memiliki sikap kritis terhadap praktik transaksional akademik dan tidak silau terhadap kekuasaan (Detik, 3/10/2017).
Di atas hanya tiga contoh dari beberapa pemberian gelar doctor honoris causa kepada para politisi atau pejabat publik di Indonesia. Fenomena pemberian gelar kehormatan dalam tradisi perguruan tinggi merupakan hal yang wajar, tapi dalam konteks pendidikan tinggi di Indonesia akhir-akhir ini cenderung lebih didasarkan pertimbangan politis dari pada argumentasi akademis yang kukuh. Memang persyaratan dan kelayakan seseorang mendapatkan gelar tersebut sudah diatur di dalam undang-undang dan tentunya juga terdapat pada peraturan internal masing-masing perguruan tinggi. Tapi kalau kita cermati dalam satu dekade ini, yang banyak mendapatkan gelar tersebut berasal dari kalangan politisi atau pejabat publik. Maka wajar bila kemudian sering menimbulkan “kecurigaan” terhadap kampus yang “obral” gelar kehormatan tersebut.
(Bersambung ke bagian 2…..)