Setelah membaca bab 1 dari buku Timothy Forsyth “Critical Political Ecology, The politics of environmental science” penulis merasa tertantang untuk mengulas mengenai dua hal yang selalu dianggap “air dan api” yaitu politik vs sains. Sebagai mahasiswa yang melakoni politik dan pemerintahan tentu politik vs sains ini menjadi pembahasan di dalam kelas, salah satu pembahasannya adalah apakah sains lebih penting dari politik? atau politik lebih penting dari sains? atau justru kedua hal ini seharusnya jalan beriringan seperti hubungan kamu dan doi?
Buku ini sedari awal sudah menunjukkan posisi dan tujuan pembahasan, yaitu berusaha untuk memberikan evaluasi ulang ilmu lingkungan dengan mempertimbangkan cara-cara rumit di mana ilmu pengetahuan dan politik adalah saling terkait. Buku ini juga menunjukkan bagaimana kita perlu melihat evolusi fakta dan pengetahuan lingkungan sebagai bagian dari debat politik, bukan sekadar dasar yang telah disiapkan sebelumnya untuk memulai debat lingkungan, dalam artian integrasi perdebatan dalam apa yang disebut “politik ekologi” dengan perdebatan sains adalah tujuan utama dari buku ini. Namun, muncul pertanyaan apa itu politik ekologi?
Di dalam bukunya, Timothy Frosyth mengatakan bahwa perdebatan “politik ekologi” mengacu pada kondisi sosial dan politik seputar penyebab, pengalaman, dan pengolahan masalah lingkungan. Politik ekologi adalah bidang yang secara kritis menginterogasi hubungan alam-masyarakat, terutama melihat hubungan kekuasaan yang bersinggungan dan memengaruhi akses ke sumber daya alam, untuk mengungkap disparitas dan ketidakadilan dalam distribusi biaya dan manfaat (Robbins, 2012 dalam Micheaux & Jenia, 2021).
Menurut penulis definisi dari politik ekologi yang mudah dipahami ada di buku “ensiklopedia ekologi” edisi kedua tahun 2019, dijelaskan bahwa politik ekologi adalah bidang dalam studi lingkungan yang berfokus pada hubungan kekuasaan serta keproduksi alam dan masyarakat.
Hal yang menarik perhatian penulis dalam buku ini adalah mengenai apakah sains atau ilmu pengetahuan dan politik harus dipisahkan, hal ini dijelaskan dalam halaman 9-10. Argumen dasar kenapa harus ada pemisahan adalah untuk menghindarkan politik dalam pencipataan sains itu sendiri, namun Timothy berpendapat ada 2 masalah jika sains dan politik dipisahkan satu sama lain: pertama, kebijakan lingkungan yang dihasilkan akan tidak maksimal dalam mengatasi penyebab biofisik yang mendasari masalah lingkungan; kedua, banyak dari kebijakan yang ada akan memberlakukan pembatasan yang tidak perlu dan tidak adil terhadap penghidupan orang-orang yang terpinggirkan/masyarakat lokal. Menerapkan kebijakan lingkungan yang tidak tepat bisa mengakibatkan masalah sosial dan ekonomi bagi masyarakat yang terkena dampak, dan gagal mengatasi penyebab masalah sosial dan ekonomi bagi orang-orang yang terkena dampak, dan gagal mengatasi penyebab masalah biofisik yang mendasarinya.
Bisa ditarik kesimpulan bahwa kebijakan politik memerlukan validasi sains untuk bertindak, sedangkan sains harus melihat politik agar relevan dengan kebijakan dan sains memerlukan politik untuk bisa bergerak memberikan dampak, artinya kedua ‘kubu’ ini saling memengaruhi dan di saat bersamaan juga membutuhkan satu sama lain.
Pada akhirnya kita tidak akan bisa mementingkan sains dengan mengesampingkan politik, karena hanya akan menambah masalah baru yaitu ketidaksetaraan. Jangan sampai juga hanya mementingkan politik dibanding sains, karena akan keluar dari tujuan utama sains itu sendiri. Dibanding mementingkan masalah ini harus diteknokratisasi atau dipolitisasi, akan lebih bijak memahami tujuan utama dari masalah ini tentang keberlangsungan generasi selanjutnya, yaitu dengan sains memahami pentingnya politik dan politik memahami pentingnya sains agar memberikan dampak nyata.