Selasa, Oktober 8, 2024

Dipertanyakan Ulang Nasionalismenya, Oh KPK!

Ananta Prasetya
Ananta Prasetya
Pendiri Komunitas Literasi dan Sosial KANAL. Mahasiswa Sosiologi Universitas Negeri Surabaya

Terasa menyakitkan bila tolak ukur sebuah nasionalisme hanya dilihat dari nilai seseorang mengikuti TWK (Tes Wawasan Kebangsaan). Jika nasionalisme hanya diukur semacam itu, lantas bagaimana kita menilai nasionalisme pahlawan kemerdekaan?. Ironi itu terjadi pada 75 anggota KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) antirasuah yang akan mengalami pembebasan tugas.

Muara peristiwa itu terjadi karena pengalihan status kepegawaian menjadi ASN (Aparatur Sipil Negara). Semua pegawai mengikuti Tes masuk, yang dalam tesnya terdapat TWK sebagai salah satu pengetahuan yang diujikan. Menjadi syarat seorang ASN menguasai wawasan kebangsaan, kan mereka bekerja untuk negara, harus nasionalis dong. Petaka terjadi pada 75 anggota KPK, yang mana mereka tidak lulus TWK, menjadikan kejadian itu sebagai tendensi pembebesan tugas.

Sikap nasionalisme menjadi sebuah sikap yang sakral pada diri warga negara. Diartikan sakral karena nasionalisme mampu menciptakan siatuasi yang kondusif dalam bernegara. Mencintai tanah air  diungkap melalui kemasaan atas sikap kita memperlakukan negara sebagai warganya, meminjam kalimat Presiden Amerika Serikat ke-35, J. F Kenedy “Jangan tanya apa yang dilakukan oleh negara untukmu, tapi tanyalah apa yang kamu bisa lakukan untuk Negara”, mungkin kalimat tersebut bisa mewakili artian seputar nasionalisme.

Menciptakan sebuah basis pengukuran kadar nasionalisme lewat sebuah tes merupakan upaya menjaga kemurniaan sikap cinta tanah air. Walaupun tidak mampu menjadi indikator secara kualitas. Metode tes tersebut dipakai sebagai syarat seorang warga negara yang ingin mengabdikandiri untuk negaranya. Lantas, Apa perlunya wawasan kebangsaan untuk seorang calon aparatus negara?

Sebagai sebuah negara yang memiliki rentetan sejarah perjuangan yang panjang, itu semua lumrah dipakai sebagai metode menstabilkan nasionalisme warga negaranya apalagi sebagai seorang yang akan bekerja untuk negara, katakanlah aparatus. Namun, hal itu serupa belati bermata dua, peristiwa pembebasan tugas 75 anggota KPK semacam naas sebilah belati yang melawan tuannya. Alih-alih menstabilkan malah menjadi sebuah celah untuk menciptakan kontroversi.

Beberapa hari kemudian terlihat di laman Media Sosial Instagram milik Presiden—Jokowi. Mengunggah tanggapan terkait pembebasan tugas 75 anggota KPK tersebut, yang mana Presiden sepakat pada pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan pengujian Undang-Undang (UU) Nomor 19 tahun 2019 seputar perubahan kedua UU KPK, bahwa proses pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN, tulis beliau dalam Akun Instagram @Jokowi. Mungkin yang menjadi pertimbangan disini, adalah bakti anggota KPK tersebut terhadap negeri sudah mampu mengakomodir nasionalismenya dibanding dengan hasil tes TWKnya.

Hasil TWK hanya menguji pengetahuan terkait bangsanya, bukan sikap nyata cinta tanah airnya. Sehingga akan sangat tidak sah jika seseorang yang telah mengabdikan diri sebelumnya pada bangsa dinilai kurang nasionalis hanya dari TWK. Sebagai garda terdepan saat menangani kasus korupsi, KPK menjelma pahlawan, sebagai seorang pahlawan tentunya akan mempunyai musuh yang sangat banyak. Gerbong masalah yang dihadapi KPK menciptakan kesan bahwa lembaga tersebut memang menjadi lemabaga yang diwaspadai oleh pelaku korupsi atau bahkan calon pelaku korupsi.

Akhir-akhir ini memang KPK sering menjadi sasaran, serupa samsak tinju yang menjadi bulan-bulanan kontroversi. Di tahun 2017 salah satu penyidik KPK—Novel Baswedan menjadi korban penyiraman air keras, yang mana kasusnya berlarut-larut serupa episode Ikatan Cinta. Dilanjut ada revisi UU KPK yang disinyalir sebagai upaya pelemahan KPK, sampai-sampai memunculkan aksi nasional atas isu tersebut. Terdengar kabar lagi terkait hilangnya dokumen barang bukti KPK yang menambah kecurigaan masyarakat atas pelemahan KPK, sekarang adalagi pembebasan tugas 75 anggotanya yang mana hanya gara-gara tidak lulus TWK.

Sebuah negara menjadi besar bukan hanya karena majunya teknologi, bukan karena minimnya hutang negara atau besarnya ekspor ke luar negeri. Negara yang besar adalah ketika masyarakat tidak pernah dikhianati oleh Korupsi, dari Korupsi negara ini hancur. Tidakkah pernah belajar, bahwa VOC dulupun hancur karena Korupsi. Hanya seekor keledai yang bodoh, yang pernah jatuh kembali di lubang yang sama. Tapi bangsa kita bukan keledai, kita bangsa Garuda yang akan terbang tinggi mengarungi angkasa. Jika pahlawan terdahulu telah berdarah-darah memperjuangkan tanah air, sebagai anak cucunya kita lanjutkan perjuangan itu, walau buakn dengan darah. Paling tidak kita mengembalikan marwah nasionalismenya.

Jika diatas telah meminjam kalimat presiden Amerika, akan lucu bicara nasionalisme jika tidak mengutip dari dalam negeri juga. Sebuah kata penutup yang meminjam dari Bung Besar, Soekarno “Negara ini, Republik Indonesia, bukan milik kelompok manapun, atau kelompok dengan adat dan tradisi apapun, tapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke”.

Ananta Prasetya
Ananta Prasetya
Pendiri Komunitas Literasi dan Sosial KANAL. Mahasiswa Sosiologi Universitas Negeri Surabaya
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.