Aceh merupakan provinsi di Indonesia yang memiliki sistem kepartaian berbeda dengan daerah lain. Pemilihan umum legislatif di Aceh pada tingkat provinsi maupun kota dan/atau kabupaten bukan hanya diikuti oleh partai-partai nasional tetapi juga partai lokal, seperti Partai Aceh, Partai Bersatu Aceh, Partai Nasional Aceh dan Partai Daulat Aceh.
Kekhususan ini merupakan hasil perundingan pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang sering dikenal Perjanjian Helsinki di tahun 2005. Perjanjian ini sekaligus menyudahi konflik separatisme yang telah berlangsung selama 32 tahun.
UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh mengizinkan partai lokal untuk berkontestasi di tingkat provinsi serta kota dan/atau kabupaten. Pemilu 2009 mencatat ada 6 partai lokal yang berkontestasi, yang paling dominan adalah Partai Aceh disana terdapat para mantan pimpinan serta pendukung dari GAM. Partai Aceh memenangkan 47% suara di tingkat provinsi serta mendapatkan 33 kursi dari 69 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. Namun, di tahun 2014 Partai Aceh hanya mendapatkan 35% suara tingkat provinsi serta 29 kursi dari 81 kursi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. Selain di tingkat provinsi, penurunan juga terjadi di wilayah kota dan/atau kabupaten termasuk di kantong-kantong suara GAM.
Kabupaten Bireuen contohnya, pada tahun 2009 Partai Aceh memenangkan 67% suara dan meraih 25 dari 35 kursi DPRD Kabupaten. Di tahun 2014, suara Partai Aceh jatuh di angka 32.5% dan hanya mendapatkan 13 dari 40 kursi DPRD Kabupaten. Dilihat dari konteks historisnya, Bireuen merupakan basis Gerakan Aceh Merdeka pun ketika perdamaian telah diwujudkan, para mantan pimpinan GAM memiliki pengaruh yang kuat di tataran akar rumput serta sektor ekonomi politik Bireuen. Di tataran kepala daerah sebut saja Nurdin Abdul Rahman (Anggota tim negosiasi GAM di Helsinki) memenangkan pemilihan kepala daerah Bireuen tahun 2007. Basis akar rumput inilah yang membuat Partai Aceh meraih 67% suara saat pertama kali mengikuti pemilu tahun 2009 di Bireuen.
Lalu, apa yang kemudian membuat Partai Aceh kehilangan suara di pemilu 2014? Yang pertama adalah konflik internal di tubuh Partai Aceh sendiri, sehingga menyebabkan para kader membentuk partai baru yakni Partai Nasional Aceh yang berhasil meraih 5 kursi di tahun 2014. Partai Nasional Aceh melakukan klaim-klaim historis seperti partai yang mendapat mandat perjanjian Helsinki. Partai Nasional Aceh juga mengkritik janji-janji Partai Aceh yang belum dilunasi, seperti pemberian motor kepada 609 Tengku Imam yang belum terealisasi.
Yang kedua adalah semakin tidak percayanya publik dan meningkatnya kekecewaan terhadap Partai Aceh. Hal ini membuat klaim-klaim historis serta ideologi Partai Aceh menjadi kurang menarik bagi masyarakat. Masyarakat cenderung lebih suka pada hal-hal pragmatis ketimbang klaim historis. Pimpinan Partai Aceh pun menyadari hal ini karena mereka belum sepenuhnya mengimplementasikan poin-poin perjanjian Helsinki. Di akar rumput, rakyat kecewa pada ketidakmampuan Partai Aceh dalam mengentaskan kemiskinan serta menyelesaikan masalah-masalah lain. Belum lagi ada kecemburuan sosial, menurut Edward Aspinall karena elit partai menikmati beragam fasilitas sementara rakyat masih kesulitan.
Data mencatat hanya 8 legislator yang berhasil terpilih kembali di Kabupaten Bireuen, apa kiat suksesnya? Dalam wawancara dengan salah satu legislator yang terpilih kembali, kunci sukses mereka adalah dengan melakukan pendekatan kekeluargaan dengan konstituen. Politisi harus mampu memaksimalkan koneksi dengan para kerabat dan keluarga dekat. Pertemuan tatap muka dengan konstituen jauh lebih efektif ketimbang memasang baliho di jalan. Ketika mengunjungi konstituen, jangan lupa untuk membawa buah tangan, jilbab merupakan hadiah yang paling disenangi konstituen perempuan menurut pengalaman legislator yang berhasil terpilih kembali ini. Selain itu, bisa juga membawa peralatan ibadah, sembako dan lain sebagainya. Kandidat lain dalam pengakuannya ada yang membawa voucher pulsa, bahkan membawa uang tunai yang ia kemas dengan istilah zakat.
Kandidat juga menggunakan tempat-tempat publik guna bertemu dengan masyarakat, ada tiga tempat dalam masyarakat Aceh yang paling umum digunakan untuk pertemuan, yakni 1. Warung Kopi; 2. Masjid; 3. Dayah atau Pesantren. Kandidat lain mengakui mengadakan pertemuan di warung kopi, kemudian membagi-bagikan suvenir, membayari konsumsi serta tidak lupa membagikan uang transportasi kepada para warga mulai dari Rp 20.000 hingga Rp 50.000. Warung kopi juga menjadi simbol reputasi bahwa politisi merupakan sosok yang mudah bergaul dengan masyarakat.
Masjid digunakan untuk memperkenalkan diri sang politisi kepada warga yang umumnya dilakukan setelah ibadah selesai. Pendekatan ini untuk memberikan nilai tambah dari sisi-sisi religiusitas mengingat Aceh merupakan daerah yang amat religius utamanya oleh agama Islam. Ketika hari-hari besar agama Islam, misalnya Maulid Nabi Muhammad para politisi juga tidak lupa untuk membagikan kurban agar dinikmati warga.
Praktik yang juga marak terjadi adalah donasi untuk pembangunan Dayah atau Pesantren. Mulai dari semen, pasir, bata disumbangkan oleh para politisi untuk meraih simpati Teungku dan murid-muridnya. Ada satu kandidat yang mendapatkan telepon untuk diminta berdonasi Kitab Suci ke Dayah atau Pesantren, ia pun langsung memenuhi permintaan tersebut.
Ketika pemilih telah menjadi pragmatis, dan partai gagal menyelesaikan permasalahan sosial lantas para politisi juga mengubah kebiasaannya. Politisi yang dulunya bermodalkan klaim historis serta ideologi, menjadi berbasiskan patronase. Pemilih pun juga melihat pemilu sebagai ajang untuk mendapatkan hadiah sebanyak-banyaknya. Bireuen bisa dikatakan sedang dalam tahap normalisasi layaknya daerah-daerah lain di Indonesia, di mana patronase telah menggantikan peran ideologi sebagai nilai tukar politik yang paling utama.
Sumber Utama: Rizkika Lhena Darwin. Bireuen, Aceh: The Aftermath of Post-Conflict Politics and The Decline of Partai Aceh. Dalam Aspinall, Edward & Sukmajati, M. Electoral Dynamics in Indonesia: Money Politics, Patronage and Clientelism at the Grassroots. Singapore: NUS Press. 2016