Saat kehidupan nyata begitu berat dan menyesakkan dada, kita perlu meninggalkannya. Untuk sejenak pergi ke dunia lain. Di masa karantina diri dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) seperti saat ini, dimana efeknya adalah ditutupnya berbagai tempat hiburan dan mall, juga bioskop XXI, maka salah satu dunia lain yang bisa kita pilih sebagai tempat refreshing adalah film.
Deretan judul dan review film box office, mulai drama korea hingga hollywood memenuhi story instagram, timeline facebook serta beranda twitter. Netfilx menjadi mantra baru keseharian kita.
Psikologi Film
Kita semua tentunya sudah sangat sering menonton film. Tapi pernahkah kita bertanya kepada diri sendiri, mengapa kita menonton film? Pertanyaan ini penting kita ajukan, karena seringkali kita melakukan sesuatu tanpa berpikir dan tanpa sadar mengapa kita melakukannya, termasuk dalam hal ini adalah menonton film.
Filsafat dalam hal ini berguna sebagai alat untuk membantu kita merefleksi, mencari dan menemu-kenali alasan mengapa kita melakukan suatu tindakan. Dalam konteks ini menonton film. Dan mengapa demikian banyak orang cenderung suka menonton film.
Salah satu hal yang menjadi alasan kenapa film menarik untuk dikaji dan didiskusikan ialah, film bisa kita jadikan sebagai sarana untuk membaca realitas. Mengapa demikian, karena menurut Prof Ariel Heryanto, sebuah film diproduksi dengan biaya yang sangat besar. Dan sebuah film adalah sekaligus sebuah industri yang mencari untuk dan menolak rugi.
Sehingga sebuah film, diproduksi dengan kalkulasi akan meraup untung, artinya nilai-nilai yang dibawa dalam sebuah film adalah nilai-nilai yang berlaku dan diterima luas oleh masyarakat dimana film tersebut diproduksi. Maka saya ingin mengatakan, melihat sebuah film adalah melihat nilai-nilai apa yang tengah berlaku di masyarakat. Terutama film-film yang best seller di pasaran.
Henri Bergson, filsuf yang banyak mempengaruhi Iqbal, tentang film kata Bergson “manusia menyukai film karena mekanisme pengetahuan manusia bersifat sinematografis”. Disadari atau tidak kita akan melihat kehidupan, baik masa lalu, masa kini, dan masa depan kita serupa kita melihat film.
Dan teknologi film sesungguhnya dikembangkan dengan jalan menyambung-nyambungkan potongan demi potongan gambar. Bukankah ini mirip saja dengan bagaimana memori dan persepsi kita menyambungkan dan menjahit pengalaman. Sebagaimana kita menyambung-nyambungkan kenangan, ketakutan dan harapan atas hidup.
Alhasil, karena begitu miripnya film dengan realitas kehidupan kita sendiri. Dan begitu berjalin berkelindannya kehidupan nyata dengan kehidupan maya, terutama melalui media sosial. Maka kita kadang sulit membedakan mana yang maya dan mana yang real. Kondisi ini disadari oleh Jean Baudrillard, dia menyatakan manusia masa kini mengalami pergeseran dalam memandang objek-objek ciptaannya sendiri.
Sesuatu yang sebenarnya semu, seperti film, justru telah menjelma menjadi sesuatu yang nyata. Sehingga batas antara maya dan nyata menjadi sangat tipis. Beberapa tindak kriminalitas pembunuhan, yang setelah diselidiki ternyata terinspirasi dari adegan film, membuktikan kebenaran tesis ini. Tercampurnya yang maya dan yang nyata.
Apa yang dikatakan Baudrillard terkait film, jika kita menengok realitas keseharian betapa sangat relevan. Dalam keseharian, kehidupan kita tak bisa dipisahkan dengan dunia maya. Hidup kita setiap detik selalu terkoneksi dengan media sosial. Dimana kita telah meng kloning diri kita dengan akun media sosial kita di dunia maya.
Kondisi hidup dalam kepungan dunia maya yang melingkupi segenap kehidupan, menjadikan kita tak lagi mampu memisahkan dengan tegas mana yang maya dan mana yang nyata. Mana sisi sejati dari diri kita yang sesungguhnya. Apakah yang di dunia nyata, ataukah yang di dunia maya.
Ideologi Film
Terkait dengan film, ada satu hal yang seringkali terlupakan. Yaitu ideologi yang bekerja di balik film. Ideologi di sini saya artikan secara sederhana sebagai cara pandang para pembuat film dalam mendefinisikan realitas. Tentunya para pembuat film memiliki segenap keyakinan, nilai, dan juga pandangan hidup yang mana hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari film yang diproduksinya. Ideologi yang seperti itulah yang acapkali terlupa, atau tidak disadari kehadirannya oleh para penonton.
Para penonton sering tidak peduli dengan ideologi yang bekerja di balik sebuah film. Hal ini karena kebanyakan penonton film, melakukan kegiatan menonton sekedar untuk kegiatan refreshing, atau mencari hiburan. Kegiatan mencari hiburan ini cenderung sering dijalani tanpa kita benar-benar “berjaga” secara psikologis.
Artinya kita dalam kondisi psikologis setengah sadar, yang mana keadaan ini sangat rentan secara psikologis. Yang mana seseorang dalam keadaan ini, sangat mudah dipengaruhi oleh nilai-nilai yang secara halus menyusup. Tepat disitulah nilai-nilai hidup yang dibawa oleh film bekerja secara halus memasuki alam bawah sadar kita, sebagai penontonnya.
Di awal tulisan ini, saya telah melemparkan pertanyaan mengapa kita menghabiskan waktu yang sangat banyak untuk menonton film, apakah itu film-film yang bagus, ataupun sinetron-sinetron picisan di televisi, yang pasti kalau kita kalkulasi secara jujur, sangat banyak sekali waktu yang kita habiskan untuk menonton film.
Banyak kalangan yang menyalahkan budaya menonton film ini sebagai penyebab utama lemahnya minat baca di tengah masyarakat kita. Tapi pertanyaannya, kenapa menonton begitu digemari. Apa kenikmatan yang didapatkan dari menonton film?
Kenapa manusia cenderung menikmati dan suka menonton film, karena manusia sadar atau tidak, tengah mencari dirinya sendiri dari film yang sedang dia tonton. Kegelisahan eksistensial yang menyebabkan dia resah dan terus mencari jawaban atas berbagai kegelisahan yang dia hadapi, coba dijawab dan dipenuhi oleh manusia dengan jalan menonton film.
Apakah film bisa memuaskan seseorang dalam proses pencariannya, jawabannya bisa ya dan bisa tidak. Bergantung pada intensitas kita dalam memaknai film-film yang kita tonton. Hanya saja kita perlu merenungkan kata-kata Slavoi Zizek, yang secara menarik mengatakan, “Film tidak akan memberikan apa yang kita hasrati, tetapi justru film membentuk bagaimana kita memiliki hasrat atas sesuatu”.