Selasa, Oktober 8, 2024

Dilema yang dihadapi ASN di Masa Pandemi

Ariana Fatma
Ariana Fatma
ASN di Pemkab Magetan. Seorang ibu yang senang bercerita lewat tulisan.

Harus diakui, pandemi Covid-19 mau tak mau membuat roda perekonomian berhenti sejenak dan berdampak serius di sektor ketenagakerjaan Indonesia. Tercatat 1,79 juta buruh di Indonesia dirumahkan atau terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) RI yang diperbaharui hingga 27 Mei 2020.

Hal ini seakan menjadi pembenaran untuk  anggapan bahwa ASN adalah profesi paling aman dan stabil, terutama dalam masa pandemi seperti ini. Tapi di balik anggapan itu, sebenarnya para ASN menyimpan dilema yang mungkin tak terpikirkan oleh orang-orang non ASN.

Dilema pertama yang dihadapi ASN adalah ASN dianggap sebagai golongan mampu. Ini mirip dengan dilema yang dialami pengusaha dan kaum menengah. Karena dianggap sebagai golongan mampu, maka ASN bukan termasuk golongan prioritas penerima bantuan, malah para ASN dihimbau untuk menyisihkan sebagian gajinya untuk membantu mereka yang terdampak pandemi.

Faktanya, sebagian besar ASN, gajinya sudah terpangkas oleh pinjaman di bank, baik bank swasta, bank pemerintah, maupun bank daerah. Meskipun Presiden Joko Widodo sudah mengeluarkan kebijakan relaksasi utang, beberapa bank masih belum bisa mengimplementasikan kebijakan tersebut.

Hal ini terungkap dalam surat terbuka untuk presiden yang datang dari seorang ASN di Sarolangun Jambi dengan akun Facebooknya Suryadi Yed Inyiak. Suryadi meminta presiden memperhatikan pula nasib ASN yang juga bagian dari rakyat Indonesia.

Bantuan-bantuan sosial yang diluncurkan pemerintah, jarang yang menyentuh ASN, padahal ASN level bawah (golongan I dan II) sangat mungkin membutuhkan bantuan tersebut. Selain itu, anjuran #dirumahaja juga membuat para ASN tidak bisa mencari tambahan penghasilan di luar kantor.

Soal penghasilan ASN ini memang tidak bisa dipukul rata. Gaji pokok ASN se-Indonesia Raya jelas sama, tapi untuk tunjangan dan lain-lain, sangat tergantung instansi dan lokasi. Penghasilan ASN di daerah tentu berbeda dengan ASN di Kementerian atau daerah yang “kaya” semacam Pemprov DKI. Tunjangan Kinerja Daerah (TKD) Pemprov DKI meskipun dipotong, tetap jauh lebih besar jumlahnya dibanding penghasilan ASN di daerah meskipun biaya hidup juga berbeda.

Dilema kedua yang dihadapi ASN adalah anggapan bahwa ASN tidak pantas mengeluh . Di saat pandemi, kekhawatiran tidak mendapat THR sampai PHK membayangi mayoritas pekerja. Tetapi, ASN ternyata bebas dari kekhawatiran itu, bahkan masih bisa bergembira karena pada lebaran ini, (kecuali eselon II ke atas) tetap mendapatkan THR.

Ketika kemarin Gubernur Jawa Tengah melempar wacana pemotongan gaji 50% untuk ASN golongan III ke atas, sebagian ASN berteriak “Kami makan apa?.” Hal ini disayangkan Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBI) Elly Rosita Silaban karena menurut Elly nasib ASN masih lebih bagus karena selama ini meskipun dirumahkan, namun tidak ada pemotongan. Seharusnya ASN mendukung usulan Ganjar Pranowo sebagai bentuk sumbangsih kepada masyarakat yang lebih membutuhkan.

Sebagian ASN yang menolak gajinya dipotong tadi pasti punya alasan kuat kenapa mereka menolak dan saya yakin alasannya tentu bukan hanya sekedar kurangnya rasa empati. Di atas sudah disebutkan bahwa sebagian besar ASN, gajinya sudah terpangkas oleh pinjaman di bank. Pemotongan gaji, apalagi sampai 50% pasti akan sangat memberatkan para ASN yang punya pinjaman di bank dan hanya mengandalkan gaji sebagai sumber utama penghasilannya.

Tetapi karena dianggap sebagai pihak yang tidak terlalu terdampak pandemi, maka ASN dianggap tidak pantas menambah penderitaan rakyat dengan keluhan dan bahkan dihimbau untuk tidak memamerkan kemewahan di tengah bencana. Jargon yang harus dipegang ASN saat ini adalah kutipan mantan Presiden Amerika Serikat, John F Kennedy : “Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada negaramu.”

Dilema ketiga adalah ASN tidak boleh (terlalu) kritis. Kebijakan pemerintah yang berubah-ubah dan pernyataan pejabat yang sering bertentangan juga membuat para ASN mumet. “Hujan” peraturan berupa keluarnya Surat Edaran, Peraturan Menteri, Surat Keputusan Bersama, kadang membuat ASN gamang untuk bertindak.

Di satu sisi, ASN harus bergerak cepat melayani masyarakat terutama jika berkaitan dengan situasi darurat pandemi misalnya pengadaan APD dan Bantuan Langsung Tunai untuk masyarakat terdampak, tapi di sisi lain takut salah melangkah.

Andai boleh, ingin rasanya curhat di wall fesbuk atau bikin cuitan di twitter tentang betapa kacaunya koordinasi dan komunikasi publik di negeri ini atau menulis bebas tentang rakyat yang susah tidur karena memikirkan dagelan apalagi yang akan disuguhkan penguasa esok hari.

Kegalauan-kegalauan semacam ini hanya pantas disimpan untuk kalangan sendiri, karena bisa jadi “bencana” kalau diumbar bebas. Dari yang kecil semisal dianggap munafik karena mengkritik sumber penghidupan sendiri, melanggar disiplin pegawai, sampai yang paling berat bisa dianggap makar. Perlu nyali besar bagi ASN untuk melontarkan kritik kepada pemerintah kecuali memang sudah siap untuk berada di “luar kotak.”

Dilema terakhir adalah ASN dituntut harus lebih patuh dan taat dibanding masyarakat biasa. Integritas ASN diuji di tengah pandemi. ASN sebagai bagian dari Warga Negara Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menjadi contoh masyarakat dalam upaya memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Tidak hanya dituntut kesadaran secara pribadi untuk berperan secara aktif dalam memutus mata rantai Covid-19 ini, tapi juga dituntut untuk lebih menegakkan disiplin.

Dalam masa pandemi ini, banyak peraturan khusus yang dibuat untuk ASN. Dari aturan masuk kerja sampai aturan tentang mudik. Persoalan mudik bahkan bisa berujung hukuman disiplin jika berani melanggar.  Sanksi moral yang diterima ASN yang melanggar peraturan tentu juga lebih berat daripada masyarakat biasa.

Ini mirip dengan stigma yang disematkan kepada orang-orang yang memakai “simbol-simbol agama” dalam kesehariannya, misalnya : jilbab lebar, jenggot, gamis, celana isbal. Saat para “ikhwan” dan “akhwat” ini berbuat salah, sanksi moral untuk mereka akan lebih berat dari “orang biasa.” Ini wajar, mengingat ekspektasi orang terhadap orang yang berpenampilan agamis ini memang lebih tinggi dibanding ekspektasi terhadap orang berpenampilan biasa.

Demikian juga dengan ASN, di balik seragam yang diidam-idamkan dikenakan banyak orang ini, tersembunyi konsekuensi berat. Setiap gerak langkah ASN akan mudah menjadi sorotan publik. Di balik seragam ini juga tersembunyi tanggung jawab besar. Seperti pesan Paman Ben kepada Peter Parker dalam Spiderman, “Seiring datangnya kekuatan yang besar akan datang pula tanggung jawab yang besar.” ASN punya beban berat untuk menjadi contoh bagi masyarakat, bukan saja untuk sekedar menghindari hukuman, tapi juga demi menjaga nama baik korps.

Ariana Fatma
Ariana Fatma
ASN di Pemkab Magetan. Seorang ibu yang senang bercerita lewat tulisan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.