Jumat, Maret 29, 2024

Dilema Masa Depan Pemberantasan Korupsi

Dadan Rizwan
Dadan Rizwan
Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Ketua Umum Forum Intlektual Muda Nahdliyin (FIMNA)

Beberapa hari ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang menjadi sorotan publik. Ada optimisme, ada pula pesimisme menyelimuti berbagai wacana mengenai masa depan lembaga anti rasuah ini.

Kekuatiran publik ini disebabkan oleh dua hal penting menyangkut masa depan KPK, yaitu terkait pemilihan Capim KPK Periode 2019-2023 dan wacana Revisi Undang-undang KPK oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kedua hal tersebut ditengarai dapat melemahkan KPK dalam memberantas Korupsi.

Setelah berhari-hari terjadi pro-kontra terhadap revisi UU KPK, akhirnya polemik tersebut direspon oleh Presiden Joko Widodo. Pada 11 September 2019 lalu, Jokowi menandatangani dan mengirimkan Surat Presiden (Surpres) Nomor R-42/Pres/09/2019 ke DPR. Bersamaan dengan surpres itu juga, Jokowi menyerahkan draf atau Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) terkait hal-hal yang perlu direvisi dalam UU KPK oleh DPR.

Keputusan tak populer yang diambil oleh Jokowi pun semakin mengundang perhatian publik. Tak ayal terjadi polarisasi antara yang mendukung dan menolak revisi tersebut. Bagi yang mendukung, revisi UU KPK ini penting untuk dilakukan, mengingat UU KPK yang ada masih memiliki kelemahan. Namun bagi pihak yang menolak, RUU KPK ini dianggap sebagai agenda terselubung untuk melemahkan dan menghancurkan KPK.

Lalu, apakah langkah yang dipilih oleh Presiden menyetujui pembahsan revisi UU KPK bersama DPR ini dapat memperkuat KPK atau justru malah sebaliknya? Tentu hal ini harus kita sikapi secara bijak dengan kajian yang mendalam dan komprehensip.

Quo Vadis Perubahan

Berdasarkan beberapa poin usulan revisi UU KPK yang telah direvisi juga oleh presiden, menurut hemat penulis setidaknya terdapat dua hal penting yang dianggap urgen dan rasional dalam usulan revisi UU KPK. Pertama mengenai keberadaan Dewan Pengawas KPK yang berdasarkan Pasal 37D diangkat Presiden.

Kalau coba kita cermati bersama, dalam Pasal 26 ayat 2d UU KPK Nomor 30 Tahun 2002 hanya menentukan pembentukan bidang pengawasan internal. Ironisnya, dalam pasal 26 ayat 8 disebutkan, tugas dan wewenang pengawas internal ini ditetapkan oleh pemimpin KPK. Artinya, belum ada lembaga pengawas eksternal untuk mengawasi penggunaan kekuasaan oleh pemimpin KPK.

Hal ini dihawatirkan membenarkan adagium dari Lord Acton, yang menyatakan, “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”. Secara singkatnya, kekuasaan cenderung untuk disalahgunakan dan kekuasaan mutlak pasti dipersalahgunakan. Oleh karenanya, fungsi pengawasan penting dalam sebuah negara demokrasi supaya adanya check and balances dan menghindari adanya penyalahgunaan wewenang (abose of power).

Dalam hal ini, keberadaan Dewan Pengawas KPK sebagai metafor dari keberadaan lembaga Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, dan Komisi Kepolisian sebagai lembaga pengawas eksternal dari sebuah lembaga. Tentu Dewan Pengawas ini harus berjalan dengan independen dan kredibel. Maka perlu diperjelas secara mekanisme kerja dan Standar Operasional Prosedur (SOP). Jangan sampai nanti menjadi multitafsir yang justeru dapat melemahkan kinerja KPK,

Kedua, mengenai Indevendensi dari KPK itu sendiri. Sebagaimana tersirat dalam diktum menimbang UU KPK, KPK didirikan karena “lembaga pemerintah (kejaksaan dan kepolisian) yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi”. Hal ini tentu saja menimbulkaan ketidakjelasan dan membuka peluang bagi kekuatan politik di eksekutif ataupun legislatif untuk ‘mengotak-atik’ dan membubarkan KPK kapan saja.

Pada pasal 3 UU No 30 tahun 2002 tentang KPK dalam penjelasannya hanya menjelaskan bahwa KPK adalah lembaga negara independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Berdasarkan pasal tersebut kita bisa melihat bahwa KPK merupakan ‘Independen Agency’, sedangkan kedudukannya dalam fungsi kekuasaan negara belum diatur. Oleh karenanya perlu diatur secara jelas supaya tidak selalu menimbulkan multitafsir.

Terkait dengan keharusan adanya izin melakukan penyadapan, sebenarnya tidak memiliki urgensitas. Karena mengacu pada ketentuan Pasal 12 A ayat (1) huruf a RUU KPK, penyadapan bisa dilakukan jika terdapat 2 (dua) buah alat bukti permulaan yang cukup. Oleh karenanya, ketentuan Pasal 12 A ayat (1) huruf b tidak diperlukan, sepanjang memang telah terdapat 2 (dua) alat bukti yang cukup.

Biarlah tindakan penyadapan itu menjadi otonomi para penyidik itu sendiri. Tujuannya, untuk meniadakan atau paling tidak memperkecil pengaruh berbagai kepentingan, yang boleh jadi masuk melalui pihak lain, tak terkecuali melalui oknum dewan pengawas. Karena selama ini, penyadapan yang dilakukan secara sah (Lawful Interception) oleh KPK merupakan kunci dapat dilakukannya OTT terhadap pemberi dan penerima suap.

Secara tujuan, KPK punya Visi dan Misi untuk memberantas korupsi sehingga Indonesia bebas dari korupsi. Oleh karena itu, subtansi pemberantasan korupsi selain pada penindakan tetapi juga pada pencegahan. Karena penindakan dilakukan setelah korupsi, persis seperti pemadam kebakaran. Sedangkan pencegahan justru dilakukan di muka, tujuannya untuk menutup peluang semaksimal mungkin terhadap terjadinya korupsi.

Sinergi Memberantas Korupsi

Supaya peroses pemberantasan korupsi di Indonesia bisa berjalan secara maksimal, tentu sinergitas harus dijadikan sebagai modal sosial utama. Pada konteks ini, ada tiga unsur penting yang perlu disinergikan, yaitu keterlibatan Pemerintah, masyarakat dan media (PMM), atau istilah penulis menyebutnya sebagai konsep ‘Triple Helix’.

Pertama, Pemberantasan korupsi harus dilakukan secara paralel dengan strategi pencegahan (preventif), penindakan (intervetionis) dan edukasi/kesadaran publik (education/publik awareness). Upaya tersebut tentunya harus dilakukan dengan konsolidatif mengintegrasikan semua sumber daya dan modal sosial secara paripurna.

Pemerintah dalam hal ini eksekutif-legislatif, memiliki ‘political power’ (kekuatan politik) dalam mengatur sebuah kebijakan (policy). Namun demikian, pemerintah perlu mempertimbangkan masukan yang objektif dari masyarakat. Negara harus segera melakukan konvergensi antara daulat rakyat dan daulat hukum secara bersamaan untuk merealisasikan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat

Kedua, dalam sistem pemerintahan, masyarakat memiliki peran sebagai ‘social power’ (kontrol sosial). Oleh karenanya, mengawal pemberantasan korupsi supaya tidak dilemahkan adalah hak kita sebagai warga negara dalam ikhtiar menjadikan indonesia sebagai Negara bebas korupsi.

Namun, langsung men-judge pemerintah ataupun pihak yang mendukung revisi UU KPK sebagai pendukung koruptor bukanlah hal yang bijak pula. Karena sikap stereotif yang berlebih justru akan menimbulkan sikap saling curiga yang dapat membawa kita pada lingkaran konflik yang merugikan.

Ketiga, sebagai buah dari reformasi, media memiliki peran penting dalam menyampaikan informasi terhadap publik. Media memiliki peran strategis sebagai ‘knowledge power’ atau kekuatan pengetahuan untuk mengedukasi masyarakat dalam sebuah wacana kebijakan. Tentunya edukasi informasi ini harus dilakukan secara jujur, akuntabel, dan berimbang. Sehingga masyarakat mampu menerima informasi secara komprehensif.

Dadan Rizwan
Dadan Rizwan
Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Ketua Umum Forum Intlektual Muda Nahdliyin (FIMNA)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.