Pertanyaan mendasar dari tulisan ini adalah “Apakah ada yang namanya kebudayaan Indonesia?” Pertanyaan sederhana yang semakin membuat kita bertanya-tanya. Karena jawabannya tentu tidak sekadar “ada atau tidak ada”, sesempurna apapun jawabannya tetap akan melahirkan pertanyaan selanjutnya. Kita membutuhkan ruang-ruang untuk mendiskusikannya, karena masalah kebudayaan di Indonesia, masih kerap dipertentangkan dengan semangat nasionalisme.
Meski bukan masalah yang benar-benar baru, kebudayaan Indonesia menjadi salah satu isu perbincangan yang menzaman. Apalagi dengan menguatnya wacana tentang kesadaran nasional. Kompleksitas hubungan antara kebudayaan dan nasionalisme menjadi relevan ketika diperhadapkan pada permasalahan globalisasi dan arus keterbukaan yang sedemikian pesat.
Sejarah politik Indonesia mencatat bahwa, nasionalisme pernah dianggap bertentangan dengan kebudayaan. Secara sederhana, apa yang disebut sebagai sentimen primordial adalah perasaan yang erat hubungannya dengan kebudayaan, khususnya dengan faktor-faktor yang dianggap given dalam kebudayaan, seperti bahasa ibu, warna kulit, hubungan darah, etnis, suku, kesamaan daerah maupun asal usul.
Dalam istilah sosiologi, kebudayaan dianggap memberikan segala yang ascribed, yaitu apa saja yang menjadi atribut seseorang atau tempat seseorang diperanggotakan, tanpa pilihan yang aktif, kritis dan sadar dari yang bersangkutan. Seseorang menjadi Jawa, Sunda, Bugis maupun Minang, bukan karena pilihannya, tetapi semata-mata karena faktor keturunan.
Sebaliknya, nasionalisme lebih diekspresikan sebagai tuntutan politik. Nasionalisme (integrasi nasional) adalah buah pemikiran, perasaan dan perjuangan yang penuh kesadaran dan pilihan, yang menuntut usaha sungguh-sungguh dan harus dikelompokkan ke dalam apa yang disebut sebagai achievement (sebagai lawan dari ascription).
Artinya, keterlibatan individu atau kelompok dalam integrasi nasional (nasionalisme) dianggap mengharuskan adanya pengorbanan terhadap hal-hal yang bersifat kultural dan primordial (keturunan).
Sebagai contoh, bahasa daerah dianggap kurang penting dibandingkan dengan bahasa nasional, dan hal itu tercermin dengan jelas dalam pengajaran bahasa di sekolah-sekolah, di mana (dengan beberapa pengecualian) bahasa daerah tidak diajarkan lagi atau sekadar sampai pendidikan dasar saja.
Demikian pun rasa ke daerahan yang berlebih-lebihan dianggap membahayakan persatuan nasional. Bahkan sifat provinsialisme dianggap sebagai ancaman dan bukan unsur yang menguatkan nasionalisme, meski telah ditetapkan adanya otonomi daerah.
Setidaknya terdapat tiga varian hubungan antara kebudayaan dengan nasionalisme; Pertama, terbentuknya kebudayaan ataupun kesatuan bangsa mendahului kesatuan negara; Kedua, kesatuan negara mendahului kesatuan bangsa, dan; Ketiga, kesatuan budaya di suatu negara jauh lebih dahulu tetapi baru kemudian mendapatkan ekspresi politiknya.
Varian kedua dan ketiga ini dianggap sebagai model yang berhasil dalam kerangka membangun kebudayaan nasional, dengan tidak menyisakan masalah. Berbeda halnya dengan varian pertama, yang masih menyisakan ambiguitas dan dilema.
Indonesia berada pada varian yang pertama, di mana kesatuan budaya jauh mendahului kesatuan politik negaranya. Alternatifnya, melakukan sintesa antara kebudayaan dan nasionalisme dengan menyatakan “kebudayaan nasional”. Istilah ini bukan tidak menimbulkan permasalahan, tapi juga telah menyisakan dilema.
Misalnya, apakah ada jenis makanan nasional? Apakah ada pakaian nasional? Apakah ada jenis rumah nasional? Atau bahkan hal yang fundamental sekalipun, apakah ada upacara perkawinan nasional? Hal-hal semacam ini lebih mudah diidentifikasikan sebagai produk budaya suatu daerah atau suatu kelompok etnik tertentu.
Dalam konteks inilah, istilah kebudayaan nasional menjadi sesuatu yang penuh kontroversi dan ketidakjelasan. Kita diperhadapkan pada sebuah dilema akut tentang pemaknaan nasionalisme dan kebudayaan. Sulit bagi kita menunjukkan secara empiris apa saja yang menjadi unsur-unsur kebudayaan nasional.
Berdasarkan pengalaman selama ini, kebudayaan nasional lebih merupakan gagasan (atau bahasa retorika) politik, daripada suatu konsep yang dapat diuraikan secara ilmiah. Sehingga wajar ketika kita temukan berbagai macam kelompok masyarakat seperti, golongan nasionalis, golongan tradisionalis, golongan ideologis, dan seterusnya.
Ini lebih merupakan ekspresi politik yang berusaha mengaktualisasikan dirinya dalam bentuk kebudayaan nasional. Pertarungan kelompok-kelompok tersebut melahirkan perdebatan tentang ciri dan model negara. Maka lahirlah semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang menjadi ide dominan, yang telah terlebih dahulu muncul dari semangat nasionalisme yang bersifat anti kolonial.
Sadar maupun tidak, bahwa ide tentang negara kesatuan dan persatuan bangsa ini telah menggiring pemikiran ke arah kebudayaan nasional, yang dalam bentuk konkretnya berarti kebudayaan persatuan.
Tetapi, persatuan secara budaya bukanlah tanpa soal, kita akan dihadapkan pada proses dilema, yaitu mengapa kebudayaan-kebudayaan harus dipersatukan, dan kalau dipersatukan, maka persatuan kebudayaan itu mengikuti pola yang mana?
Dalam konteks inilah terlihat secara jelas sikap yang serba mendua dalam kebudayaan nasional di Indonesia, yang tentu saja telah muncul dari desakan politik yang ada, yang kemudian harus dijawab secara pragmatis belaka, tanpa mempertimbangkan implikasi budayanya.
Persoalan asimilasi bukanlah persoalan kebudayaan, tetapi persoalan politik semata-mata. Karena suatu negara hakikatnya adalah komunitas terbayang. Anggota dari suatu bangsa kecil pun tidak akan tahu dan tidak mengenal sebagian besar anggota lain, tidak bertatap muka, tidak pernah mendengar tentang keberadaan dan kehidupan mereka atau bahkan mungkin tidak pernah terpikirkan sedikitpun. Padahal, hal terpenting untuk tetap berdirinya suatu negara adalah adanya perasaan kebersamaan dan persaudaraan sebagai anggota komunitas bangsa itu. Dan hal ini dapat dibangun melalui penciptaan narasi dalam sistem politik.
Maka, ketika Indonesia tidak memiliki identitas budaya yang tunggal bukan berarti tidak memiliki jati diri (budaya nasional), namun dengan keanekaragaman budaya, justru membuktikan bahwa masyarakat kita memiliki kualitas produksi budaya yang luar biasa. Meskipun jawaban semacam ini hanyalah jawaban apologis dan klaim terhadap realitas, yang tentunya belum memberikan kepuasan.