Dengan kondisi yang demikian, saat ini, terjadi banyak kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu, terutama perempuan. Melalui data dari CATAHU (Catatan Tahunan) Komnas Perlindungan Perempuan, dalam tahun 2017 terdapat 5.785 kasus kekerasan seksual, diantaranya 3.495 kasus di ranah privat atau personal dan 2.290 kasus di ranah komunitas atau publik.
Dan dalam temuan tahun 2018 tercatat sebanyak 5.649 kasus kekerasan seksual, dengan 2.979 kasus di ranah privat atau personal dan 2.670 kasus di ranah komunitas atau publik. Dari data tersebut, kasus pelecehan seksual bukan lah kasus yang biasa saja. Kasus ini harus diperjuangkan dan diusut tuntas secara serius dan adil.
Kasus pelecehan seksual ini sering kali luput dari perhatian dan kepedulian lembaga penegak hukum di Indonesia, terkadang kasusnya tidak diselesaikan secara tuntas dan mengambang begitu saja. Bahkan yang terjadi malah korban pelecehan yang disalahkan dan mendapat hukuman.
Contoh kasus yang masih hangat adalah Baiq Nuril, seorang guru yang dilecehkan oleh kepala sekolahnya yang notabenenya adalah atasan Nuril. Ia mencoba melaporkan kasus pelecehan tersebut dengan bukti rekaman percakapan cabul eks Kepala Sekolah SMA N 7 Mataram.
Namun, yang terjadi Nuril divonis bersalah karena ia dianggap menyebarkan percakapan cabul tersebut dan dijatuhi hukuman enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta di tingkat MA, yang sebelumnya oleh PN Mataram divonis bebas.
Kasus pelecehan seksual seakan-akan menjadi senjata makan tuan, yang kadangkala jika korban melaporkan perbuatan tersebut malah menjadikan dirinya sebagai orang yang salah. Hal ini menyebabkan sebagian besar korban pelecehan seksual tidak ingin melaporkan kasus tersebut serta memilih untuk diam meratapi nasibnya sebagai perempuan dan korban dari nafsu pelaku.
Melihat ironisnya kasus pelecehan yang semakin marak terjadi, apa sih yang sebenarnya menjadi penyebab pelecehan seksual?
Berdasarkan pendapat dari beberapa narasumber, adapun faktor penyebab pelecehan seksual yang dikategorikan dengan beberapa kategori sebagai berikut.
Kategori pertama, yaitu faktor internal pelaku. Kategori ini berisi mengenai kurangnya pelaku untuk mengontrol nafsunya, kurangnya rasa sopan dan malu dari pelaku, dan kepribadian pelaku yang cenderung sudah “menyimpang”.
Kategori kedua, yaitu faktor eksternal pelaku. Kategori ini berisi tentang kurangnya pendidikan seks, agama dan moral untuk masyarakat, salah pergaulan, maraknya penyebaran konten porno, kurang tegasnya aturan dan hukuman mengenai pelecehan seksual dan adanya hubungan yang kurang harmonis di lingkungan pelaku.
Terakhir, kategori ketiga yang merupakan faktor dari korban itu sendiri. Pada kategori ini berisi tentang kelakuan, gaya pakaian perempuan sebagai korban yang dianggap lebih dahulu “memprovokasi” kaum laki-laki sehingga pelaku memanfaatkan kesempatan ini dengan melakukan pelecehan seksual.
Hal ini menunjukkan bahwa sangat variatif sekali penyebab mengapa pelecehan seksual terjadi. Pada kasusnya, kita tidak bisa langsung menyalahkan pelaku maupun korban, perlu adanya identifikasi kasus lebih lanjut.
Pengetahuan terkait kasus pelecehan seksual dianggap masih kurang mengakar di masyarakat hingga menyebabkan kasus pelecehan masih sering terjadi.
Bagi kebanyakan orang menganggap seks sebagai kegiatan hubungan badan antara laki-laki dan perempuan. Merujuk pada pengertian seks menurut World Health Organization (WHO) yang sebenarnya adalah “Karakteristik biologis dan fisiologis yang berbeda dari pria dan wanita, seperti organ reproduksi, kromosom, hormon, dan lain-lain”. Padahal kegiatan pelecehan seksual tidak hanya berhubungan intim antara pria dan wanita. Anggapan yang kurang tepat ini menunjukkan bahwa kurangnya pendidikan seks pada sebagian orang.
Menurut data kasus pelecehan seksual diatas, telah banyak kasus pelecehan yang dilaporkan. Tidak menutup kemungkinan bahwa kasus pelecehan seksual tidak ditindaklanjuti atau tidak dilaporkan disebabkan karena lemahnya sistem dan penegakkan hukum.
Sehingga pelecehan dan kekerasan seksual menjadi lebih sulit untuk diungkap dan ditangani karena sering dikaitkan dengan konsep moralitas masyarakat. Perempuan dianggap sebagai simbol kesucian dan kehormatan, karenanya ia kemudian dipandang menjadi aib ketika mengalami pelecehan seksual, misalnya perkosaan.
Korban juga sering disalahkan sebagai penyebab terjadinya kekerasan seksual. Hal ini membuat perempuan atau korban seringkali bungkam. Pasalnya, sebagian dari korban ini mengalami trauma cukup besar sehingga untuk bersaksi tentang pelecehan yang dialaminya pun terasa menyakitkan.
Oleh karena itu, perlu digalakkan pendidikan seks atau sex education di masyarakat terutama remaja. Karena hal ini dapat menjadi salah satu cara menyerukan dan menegaskan tentang buruknya pelecehan seksual dan dampak-dampak negatif yang ditimbulkan.
Penting bagi remaja dan generasi muda mendapat sex education sebab sebagian orang masih menganggap bahwa membicarakan mengenai seks adalah hal yang tabu dan mengakibatkan kurang pahamnya mengenai pendidikan seksual. Masyarakat harus berani menyuarakan dan melaporkan jika menemukan adanya tindak pelecehan seksual.