Jumat, Maret 29, 2024

Berkenalan dengan Jurgen Habermas

Cusdiawan
Cusdiawan
Pembelajar. Pecinta buku, kopi dan diskusi.

Di momentum peringatan hari kelahiran Jurgen Habermas yang ke-91 pada 18 Juni ini, saya ingin mengulas sedikit mengenai sosok Habermas yang barangkali dapat menginspirasi kita bersama, dan yang tidak kalah penting, mengulas sedikit pemikiran Habermas, terutama pemikiran yang relevan yang berkaitan dengan konstelasi politik di Indonesia akhir-akhir ini.

Bagi pembelajar-pembelajar studi sosial humaniora, baik itu filsafat, sosiologi, hukum, ilmu politik, kajian budaya dan sebagainya, nama Jurgen Habermas pastilah bukan nama yang asing, mengingat pengaruh pemikirannya amat luas dan banyak diperbincangkan hingga diperdebatkan dalam diskursus keilmuan sosial humaniora. Hal tersebut sebagaimana yang diungkapkan oleh James Gordon Finlayson dalam Habermas: A Very Short Introduction (Oxford University Press,2005).

Jurgen Habermas sendiri merupakan seorang profesor dalam bidang filsafat dan sosiologi, pria kelahiran 18 Juni 1929 ini merupakan tokoh Mazhab Frankfurt (Teori Kritis) generasi kedua. Adapun yang disebut sebaga generasi pertama (pendahulu) Jurgen Habermas, yakni Theodor Adorno, Max Horkheimer dan sebagainya.

Ada satu hal yang menarik dari kisah hidup Habermas, Habermas mempunyai suatu keterbatasan fisik yang menyulitkannya berbicara. Akan tetapi, dari keterbatasan fisik itulah yang menjadi salah satu penyebab mengapa Habermas teramat produktif dalam menulis yang kemudian teramat melambungkan namanya. Habermas menderita bibir sumbing, oleh karena itu, kekurangannya tersebut menjadi salah satu alasan utama mengapa ia lebih memercayai kekuataan sebuah tulisan dan turut mendorongnya untuk banyak menulis.

Tidak hanya itu, keterbatasan fisiknya itu jugalah yang menyebabkan Habermas menyadari saling keterbutuhan antar-manusia yang kemudian turut menginspirasinya dalam merumuskan teori komunikasi intersubjektivitas.  Tentu saja, pengalaman Habermas tersebut, dapat menjadi inspirasi bagi kita bersama bahwa keterbatasan dapat dijadikan sebagai sumber utama kekuatan dan tidak menjadikan keterbatasan tersebut sebagai halangan untuk berkreasi dan sebagainya.

Menurut Thomas McCarthy (akademisi Boston University) dalam artikelnya yang berjudul Dari Kompetensi Komunikatif Menuju Krisis Legitmasi yang merupakan prawacana dalam buku Krisis Legitimasi (Qalam,2004) yang ditulis oleh Jurgen Habermas, dikatakan bahwa Habermas dikenal sebagai sosok yang mempunyai kedalaman dan keluasan pengetahuan teoretis yang mempuni, Habermas menguasai pemikiran dari Immanuel Kant sampai Parsons, dari teori sistem sampai fenomenologi.

Adapun karya-karya Jurgen Habermas, yakni Legitimation Crisis (Beacon Press,1975) diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Krisis Legitimasi (Qalam,2004), Between Facts and Norms (The MIT Press,1996), Teori Tindakan Komunikatif dua jilid yang edisi bahasa Indonesianya diterbitkan oleh Kreasi Wacana (2006 dan 2019), dan sebgainya.

Di Indonesia sendiri, ada beberapa ahli filsafat yang dikenal merupakan seorang penafsir pemikiran Habermas, salah satunya yaitu Budi Hardiman yang menulis beberapa buku seperti Kritik Ideologi (Kanisius,2009) , Demokrasi Deliberatif (Kanisius,2011), Menuju Masyarakat Komunikatif (Kanisius,1993) dan sebagainya. Tentu saja, buku-buku tersebut, bukan hanya dapat membantu kita untuk memahami pemikiran Habermas yang memang dikenal tidak mudah untuk dipahami, tetapi dapat juga memperkaya tafsiran kita atas pemikiran Jurgen Habermas.

Membayangkan Jurgen Habermas Berbicara Tentang Politik Indonesia

Bila kita membayangkan Jurgen Habermas berbicara soal kondisi politik di Indonesia akhir-akhir ini, pertama-tama yang akan disentil oleh Jurgen Habermas adalah perilaku elite politik kita (baik eksekutif dan legislatif), terutama menyoal perumusan kebijakan publik, yang kita tahu menuai banyak polemik di tengah masyarakat kita (UU Minerba dan sebagainya).

Mengapa demikian? Karena Habermas selalu menekankan pentingnya legitimitas dalam sebuah kebijakan publik. Bagi Jurgen Habermas, suatu kebijakan akan semakin legitim manakala dalam prosesnya menekankan pada diskursivitas rasional, keterbukaan terhadap pengujian publik, termasuk terbuka terhadap revisi-revisi. Dalam konteks tersebut, Habermas mengandaikan adanya partisipasi publik yang seluas-luasnya dan mengkritik suatu pemerintahan yang berjalan berdasarkan rasionalitas/kepentingannya sendiri.

Oleh sebab itu, tentu kita bisa mempertanyakan, dari mulai UU KPK hingga pembahasaan RUU yang dianggap bermasalah, atas rasionalitas/kepentingan siapa pemerintah bekerja dan sejauh mana pemerintah melibatkan publik secara luas? Bila berkaca pada teori Habermas, tentu menjadi sebuah ironi, manakala pemerintah bertindak mengotonomkan diri dari sumber kekuasaannya, yakni rakyat. Demokrasi tidak cukup bila hanya ditandai dengan keikutsertaan dalam Pemilu semata.

Keduanya, saya membayangkan bagaimana Jurgen Habermas akan mengomentari maraknya politik identitas di Indonesia. Jurgen Habermas akan menantang orang-orang yang mendasarkan politik identitas (semangat primordial/partikular) sebagai preferensi politiknya, agar semangat primordialnya tersebut mau diuji secara kritis dan mendapatkan sebuah status epistemic,  dengan kata lain bertujuan agar dapat dimengerti oleh komunitas lainnya (yang berbeda identitas kultural/primordialnya) dan terwujud intersubjektivitas (kesalingpengertian) antar warga negara.

Penting untuk dicatat, dalam teori diskursus Jurgen Habermas, dikenal istilah “asas toleransi teradap netralitas” yang sedikit membedakannya dengan demokrasi liberal yang menekankan netralitas ruang publik politis (dari semangat-semangat primordial).

Artinya, bila demokrasi liberal mengharuskan distingsi yang tajam antara “partikular” dan “universal”, di mana konsekuensi logisnya: semangat partikular atau primordial harusnya tidak dibawa dalam ruang publik, maka Habermas masih memperkenankan toleransi, dengan catatan: semangat partikular/primordial tersebut harus bisa ditafsirkan untuk kepentingan publik yang lebih luas dan tidak hanya untuk kepentingan kelompok primordialnya semata. Karena bagaimanapun juga, ruang publik harus menjadi arena pembentukan common good.

Habermas pun akan menantang para warga negara (termasuk para elite-elite politik) agar mengedepankan kesetiaan terhadap konstitusi demokratis (artinya, konstitusi tersebut tidak menyalahai nilai-nilai universal: kebebasan, kesetaraan dan sebagainya) dibandingkan kesetiaan terhadap identitas/norma primordial, kepentingan pribadi dan sebagainya. Habermas menyebutnya dengan istilah “patriotisme konstitusional”.

Sebagai penutup tulisan ini, saya pun membayangkan juga bagaimana Jurgen Habermas mengomentari isu soal Papua. Habermas akan memberikan saran-saran agar negara lebih mengedepankan pendekatan komunikatif, dialog yang setara antara Papua dan negara, di banding pendekatan-pendekatan yang mengedepankan represivitas. Karena hal tersebut, sebagaimana pandangan Habermas yang lebih memercayai wacana komunikatif sebagai basis untuk mewujudkan perubahan.

Cusdiawan
Cusdiawan
Pembelajar. Pecinta buku, kopi dan diskusi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.