Rabu, April 17, 2024

Digitalisasi Bisnis Saat Pandemi

Rudy Sunardi
Rudy Sunardi
Mahasiswa Ilmu Manajemen Program Doktor Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta.

Pandemi Covid-19 telah mengubah secara drastis dunia usaha. Dari pasar, proses bisnis, sumber pendanaan, konsumen, tenaga kerja, tempat kerja, hingga cara bekerja, semuanya berubah tidak seperti sebelum wabah ini datang. Saat ini ada dua pilihan, ikut perubahan atau mati. Perubahan itu bahkan bisa berujung ini: tinggalkan yang lama, masuk ke bisnis baru.

Dunia usaha di seluruh dunia kini tengah bersiap menghadapi tatanan baru pascapandemi Covid-19. Parahnya, dunia “baru” ini harus dihadapi dengan modal tipis, bahkan minus. Hampir semua sektor usaha babak-belur: industri manufaktur non-kesehatan, pariwisata, perhotelan, transportasi, dan juga media. Perbankan dan industri keuangan pun akhirnya ikut terimbas ambruknya dunia usaha.

Di Indonesia, ribuan perusahaan gulung tikar, sebagian lagi bertahan dengan modal yang terus menipis, dan hanya sebagian kecil yang bertahan serta masih mampu mencetak laba. Stimulus pajak dari pemerintah dalam bentuk penghapusan dan penundaan pembayaran pajak hanya bisa membuat perusahaan bernapas sejenak dan kemudian harus menghadapi problem riil: pendapatan yang menciut dan nyaris tak ada kesempatan memupuk laba.

Bagi pengusaha tidak mudah untuk memasuki tatanan baru yang akan dimulai. Tatanan baru bagi pebisnis jelas berbeda dengan yang dihadapi masyarakat. Tatanan baru bukan sekadar menjaga jarak, memakai masker, serta hidup bersih dan sehat. Mereka akan menghadapi pasar yang berubah. Pola belanja konsumen juga pasti berubah. Pengeluaran yang dulu tak ada di bujet, seperti vitamin dan perlengkapan kesehatan, kini harus dibeli.

Pada saat yang sama, pendapatan sebagian besar penduduk pasti turun drastis akibat kehilangan pekerjaan atau usahanya bangkrut. Kepala Bappenas Suharso Monoarfa memperkirakan tingkat kemiskinan pada 2021 meningkat di atas dua digit atau 10 persen setelah wabah corona. Berdasarkan hitungan Bappenas jumlah penduduk miskin akan bertambah 2 juta orang pada akhir 2020, dari jumlah September 2019 yang telah mencapai 24,79 juta orang atau 9,22 persen. Melihat kenyataan di lapangan, data tersebut tampaknya terlalu optimistis.

Kondisi pasar yang muram itulah yang akan dihadapi pengusaha di era normal baru nanti. Industri kebutuhan primer mungkin masih bertahan. Tapi yang bergerak di usaha kebutuhan sekunder dan tersier pasti terpukul karena masyarakat akan memperketat pengeluaran. Misalnya, data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat penjualan ritel (dari dealer ke konsumen) pada April 2020 hanya mencapai 24.276 unit, anjlok 60 persen dari 60.448 unit pada Maret 2020.

Kondisinya tak akan banyak berubah sampai akhir tahun.Tantangan bagi pelaku usaha kini adalah menghadapi banyak persoalan sekaligus dan harus memecahkannya dalam tempo yang cepat. Tantangannya pun bervariasi antara satu sektor usaha dan sektor yang lain. Sektor transportasi, misalnya, dengan pembatasan jarak, jelas akan memangkas tingkat okupansi, yang berujung pada penurunan pendapatan.

Hotel-hotel mungkin akan kehilangan event berskala besar. Sektor usaha lain pasti memiliki masalah masing-masing.Anjuran banyak lembaga konsultan manajemen bahwa digitalisasi bisnis, termasuk pemanfaatan Internet, perlu dipercepat mungkin sudah lebih awal diadopsi untuk perusahaan tertentu, seperti perbankan, telekomunikasi, media dan lainnya. Mereka sudah banyak belajar dari disrupsi digital yang terjadi sejak hampir satu dekade lalu.

Media cetak menjadi media online atau situs berita, ojek pangkalan menjadi ojek online (ojol), taksi konvensional atau taksi argo menjadi taksi online, mal atau pasar menjadi marketplace atau toko online (e-commerce), dan digitalisasi lainnya.Tantangan Bisnis Selama Masa PandemiBertransformasi menjadi bisnis digital tentu bisa menjadi solusi yang pas selama masa pandemi. Tetapi harus ada tekad kuat selama proses melakukannya. Dengan pendapatan dan modal yang menipis, pilihan ini menjadi tidak mudah dan tidak murah, terutama bagi pengusaha kecil-menengah.

Membahas perihal transformasi tidak melulu harus mengeluarkan biaya mahal untuk belanja infrastruktur atau layanan aplikasi. Hal ini bisa dimulai dari yang paling berdampak bagi bisnis.Sebagai contoh untuk usaha makanan, bisa dimulai dengan mendaftarkan bisnisnya dan menu-menunya ke aplikasi seperti GrabFood, GoFood, Shopee, Kulina, Yummibox, Sayurbox, dan Lemonilo, Dengan demikan bisnis tetap dapat beroperasi dan tetap patuh kepada anjuran pemerintah.

Disamping sebagai solusi, transformasi digital juga bisa dianggap sebagai peluang baik disaat pandemi maupun sesudahnya. Sederhananya, dunia digital adalah sebuah pasar baru dimana banyak pedagang lain yang menjajakan varian produk mereka.Bertahan Selama PandemiPertama kita harus tahu kegiatan usaha yang dijalani, lalu berinovasi mengubah layanan apa yang bisa ditranformasi menjadi layanan digital. Transformasi digitalisasi bisnis ini dibagi kedalam dua kelompok, pertama adalah bisnis yang aktivitasnya tidak digital, namun menggunakan teknologi digital sebagai alat.

Bisnis seperti ini contohnya adalah yang berkaitan dengan makanan, produksi makanan tetap membutuhkan kegiatan fisik, namun pembayarannya bisa dilakukan secara digital. Banyak bisnis makanan juga yang pemesanannya daring tapi pembayarannya masih konvensional.Kelompok kedua adalah perusahaan yang memang produk digital, seperti aplikasi atau game.

Jika aktivitas bisnis perusahaan bersifat non-digital, segera tinjau ulang bisnis dan cari tahu apa saja yang bisa diubah ke bentuk digital.Ada tiga kunci sukses agar transformasi bisnis berjalan mulus dan efektif, yang pertama adalah adaptasi, sebagaimana disampaikan oleh Charles Darwin: bukan yang terkuat, terbesar, atau terpandai, melainkan yang paling adaptif menghadapi perubahan yang akan dapat bertahan. Bisa dilihat bagaimana perusahaan-perusahaan besar di sektor perbankan melakukan berbagai inovasi teknologi dan transformasi digital dalam menghadapi kehadiran fintech.

Yang kedua adalah kolaborasi. Ada pepatah dari Afrika: jika ingin pergi cepat, pergilah sendiri, namun jika ingin pergi jauh, pergilah bersama-sama. Saat ini banyak pelaku usaha memilih jalan kolaborasi daripada berjuang melawan gelombang disrupsi. Bisa dilihat bagaimana Blue Bird yang memilih untuk melakukan kolaborasi dengan Go-Jek yang menghasilkan produk bernama Go-Bluebird.

Yang terakhir adalah berbagi, bukan hanya soal materi, namun juga soal pengalaman dan pengetahuan. Berbagi baik melalui media sosial dan juga tatap muka langsung, Saling berbagi ide, gagasan, dan pengalaman tentang bagaimana mengakselerasi pertumbuhan bisnis serta mengetahui cara agar perusahaan dapat bertransformasi dan beradaptasi dengan lebih cepat dengan pemanfaatan teknologi.

Pada akhirnya, semua berpulang pada kemampuan manajemen menghadapi krisis pandemi Covid-19, termasuk mengatur ketahanan modal dan arus kas, mendorong proses produksi yang lebih efisien, serta merespons perubahan pasar. Cara-cara berbisnis yang lama harus ditinggalkan. Sebaliknya, ketepatan dan kecepatan berinovasi di semua elemen bisnis menjadi dua kunci yang penting bagi pelaku usaha agar bisa selamat dari pandemi dan pascapandemi Covid-19.

Rudy Sunardi
Rudy Sunardi
Mahasiswa Ilmu Manajemen Program Doktor Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.