Jumat, Februari 7, 2025

Dies Natalis HMI 78, Mengukuhkan HMI Untuk Indonesia

Fauzan Muzakki
Fauzan Muzakki
Mahasiswa doktor hukum Universitas Jayabaya
- Advertisement -

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai organisasi mahasiswa berbasis Islam telah melalui berbagai fase sejarah Indonesia sejak kemerdekaan hingga era pasca-reformasi. Didirikan oleh Lafran Pane dan kawan-kawan, HMI memiliki peran signifikan dalam kehidupan umat dan bangsa, menjadikannya miniatur dari Indonesia. Bahkan dinamika konflik internal dalam HMI sering disebut-sebut mencerminkan permasalahan bangsa.

Kritik terhadap kemunduran HMI telah lama muncul, seperti yang diungkapkan Agus Salim Sitompul (2008) dan Cak Nur yang bahkan menyarankan pembubaran HMI. Pergeseran organisasi dari khitah perjuangannya serta keterlibatan kader dalam politik praktis sering dianggap sebagai penyebab kemunduran. Namun, menghakimi kritik tersebut sebagai ancaman bagi organisasi juga tidak bijaksana. Justru, refleksi terhadap sejarah dan ideologi HMI perlu dilakukan guna membangun arah yang lebih jelas bagi masa depan organisasi.

Di usia ke-78 tahun, HMI telah memiliki kelengkapan organisasi yang matang, namun regenerasi kader berkualitas yang terus berlangsung menghadirkan tantangan tersendiri. Setiap generasi membawa corak dan episteme masing-masing, sehingga kesinambungan perjuangan HMI harus berakar pada sejarah, ideologi, dan visi yang tertuang dalam konstitusi organisasi. Momentum Dies Natalis HMI harus dimanfaatkan sebagai ajang refleksi untuk merumuskan strategi terbaik demi masa depan organisasi yang lebih baik.

Refleksi Historis Perjuangan HMI

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) didirikan pada 14 Rabiul Awal 1366 Hijriah atau 5 Februari 1947 di Yogyakarta. Keunikan HMI terletak pada tujuan awalnya yang bukan sekadar organisasi kemahasiswaan, tetapi juga wadah pembelajaran Islam bagi mahasiswa umum yang tidak berasal dari tradisi pesantren (Hariqo Wibawa, 2011). Pendiri HMI, Lafran Pane, bukan dari keluarga kiai, tetapi memiliki keyakinan kuat terhadap Islam dan melihat perlunya organisasi mahasiswa yang berbasis keislaman.

Nurcholish Madjid menafsirkan motif pendirian HMI sebagai upaya meramu Keislaman dan Keindonesiaan (Agussalim Sitompul, 1986). Sementara itu, Lafran Pane menginginkan HMI menciptakan cendekiawan ulama dan ulama cendekia. Dalam perumusan awalnya, HMI memiliki tiga wawasan utama: pertama, wawasan keindonesiaan untuk mempertahankan NKRI; kedua, wawasan keislaman yang mencakup pengamalan ajaran Islam secara utuh, pembaruan pemikiran Islam, serta pengembangan dakwah; dan ketiga, wawasan kemahasiswaan yang berorientasi pada ilmu pengetahuan dan teknologi (Sitompul, 1977).

Lafran Pane (1990) menegaskan bahwa selama usaha menciptakan insan akademis yang bernafaskan Islam dan memiliki kepekaan sosial-politik belum berhasil, HMI harus terus eksis. Namun, dalam perjalanannya, HMI mulai masuk ke pusaran kekuasaan, yang berpotensi menggerus independensinya. Mengenai hal ini, Agus Salim Sitompul (1982; 1984; 1995) telah banyak mencatat gejala pergeseran nilai historis HMI, sementara Muhammad Sobary (1997) menyoroti bahwa keterlibatan HMI dalam kekuasaan memerlukan keteguhan moral agar tidak tergoda terlalu jauh.

Jenderal Soedirman pun pernah mengartikan HMI sebagai “Harapan Masyarakat Indonesia,” menguatkan posisi HMI sebagai pilar Keislaman-Keindonesiaan. Namun, ketika kader-kadernya semakin dekat dengan kekuasaan, terutama pada masa Orde Baru, kekhawatiran muncul. Nurcholish Madjid bahkan pernah mengkritik agar HMI dibubarkan karena dianggap terlalu mengakomodasi kepentingan kekuasaan (Sitompul, 1997). Deliar Noer juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap PB HMI yang dinilai tunduk pada kemauan pemerintah.

Kritik historis lain yang lebih tajam adalah ketika HMI dianggap semakin menjauh dari umat dan kehilangan basisnya di kampus. Tantangan ke depan semakin berat, terutama dalam menghadapi perubahan zaman yang dipercepat oleh era digital. HMI perlu segera merespons perubahan ini agar tetap relevan dalam dinamika sosial, politik, dan intelektual di masa mendatang.

Penguatan Ideologi Organisasi

A. Dahlan Ranuwiharjo (2000) menyatakan bahwa ideologi adalah seperangkat ajaran atau gagasan yang didasarkan pada suatu pandangan hidup untuk mengatur kehidupan negara dan masyarakat dalam segala aspeknya melalui sistem yang tersusun dengan aturan-aturan operasional. Organisasi seperti HMI pun secara tidak langsung menganut suatu ideologi, yang dirumuskan dalam tiga pilar utama: Iman, Ilmu, dan Amal. Basis doktrin HMI ini termaktub dalam Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) dan tafsir tujuan HMI, yang senantiasa diperbarui agar tetap relevan dengan perkembangan zaman.

Iman dalam narasi ideologis HMI adalah keyakinan atas kebenaran Islam dan ajaran-ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Prinsip tauhid ini menjadi dasar fundamental dalam doktrin kaderisasi. Ilmu merupakan upaya menciptakan intelektual Muslim yang tidak hanya berorientasi pada keilmuan agama, tetapi juga mengembangkan ilmu pengetahuan yang lebih luas. Para pendiri HMI menginginkan lahirnya cendekiawan Muslim yang memiliki pemahaman yang mendalam dan mampu berkontribusi bagi peradaban. Amal, sebagai manifestasi dari keimanan dan keilmuan, menuntut kader HMI untuk memiliki kepekaan sosial-politik serta mengimplementasikan ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Keterlibatan kader HMI dalam ranah sosial, politik, dan kebudayaan merupakan wujud nyata dari ketiga prinsip tersebut.

- Advertisement -

Sebagai ideologi yang hidup, nilai-nilai Iman, Ilmu, dan Amal telah mengilhami berbagai tafsir gerak juang HMI sejak 1957 hingga 2004, yang dituangkan dalam 12 naskah doktrin perjuangan HMI. Namun, tantangan zaman yang semakin kompleks menuntut perluasan cakupan ideologi ini agar dapat menjawab isu-isu kontemporer, seperti krisis lingkungan, feminisme dan gender, serta komunikasi publik di era digital. Gagasan tentang public sphere, yang diperkenalkan oleh Jurgen Habermas (1989) dari Mazhab Frankfurt, juga menjadi relevan dalam memahami dinamika diskursus publik dan demokrasi dalam masyarakat modern.

Penguatan kembali ideologi HMI menjadi semakin mendesak dalam menghadapi zaman yang cenderung mengarah pada ideologisasi manusia secara artifisial serta pendangkalan makna. Efisiensi dan pragmatisme modern sering kali menumbuhkan kemalasan berpikir secara mendalam, sehingga ideologi organisasi berisiko mengalami reduksi menjadi sekadar simbol tanpa substansi. Jika kesadaran historis terhadap HMI semakin terkikis, maka yang akan terjadi adalah pengikisan identitas hijau-hitam yang selama ini menjadi ciri khasnya. Oleh karena itu, kaderisasi yang lebih holistik dan mendalam harus menjadi perhatian utama, termasuk dengan mengembangkan perangkat mutakhir yang dapat meng-upgrade peran ideologi secara implementatif dalam menghadapi tantangan zaman. Hal ini memerlukan perluasan diskursus kritis atas telaah prinsip dasar Iman, Ilmu, dan Amal agar tetap relevan dengan wacana kontemporer. Dengan demikian, HMI dapat terus berkontribusi sebagai kekuatan transformatif yang membawa perubahan bagi masyarakat dan bangsa.

Peta Jalan yang Melampaui Zaman

Ada dua hal mesti dipetakan lebih dulu sebelum kita mencoba  membuat peta zaman  bagi visi HMI ataupun  sebagai petunjuk  bersama  bagi  kader untuk membawa  biduk  organisasi  Himpunan  ini.  Pertama, HMI perlu menetapkan posisinya dalam struktur politik Indonesia. HMI perlu menjadi kelompok penekan dan alat komunikasi politik yang berperan menjaga keseimbangan politik nasional, mencegah oligarki dan penyalahgunaan kekuasaan. Dalam konteks ini, HMI perlu berperan sebagai pengontrol, menghindari terjebak dalam pusaran kekuasaan yang tak terkendali, sebagaimana yang diingatkan oleh Lord Acton (1834-1902), seorang sejarawan Inggris yang terkenal dengan diktum: “Power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely.” Hal ini menggambarkan potensi penyalahgunaan kekuasaan jika tidak ada kontrol yang seimbang, yang perlu diemban oleh HMI untuk menjaga kestabilan politik.

Kedua, HMI perlu menguatkan peran intelektualnya, menyesuaikan diri dengan dinamika global yang berkembang pesat. Tradisi intelektual HMI perlu dikembalikan untuk mempersiapkan kader yang cerdas dan mampu menghadapi tantangan zaman.

Sebagaimana diungkapkan oleh Anas Urbaningrum (1997), “ketika garis politik menjadi mainstream (arus utama), maka dinamika akademis-intelektual menjadi menyempit. Sebaliknya, ketika garis intelektual menjadi mainstream, terlihat bahwa kecerdasan dan ketajaman politik organisasi tidak pernah tumpul.“ Ini sangat penting agar politik organisasi tidak kehilangan arah atau kehilangan pengaruh di tengah perubahan zaman.

Mengutip Ibnu Khaldun, seorang sejarawan dan pemikir Islam yang menyatakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan adalah tanda dari peradaban yang maju, namun hal itu hanya bisa hidup jika ada komunitas yang aktif mengembangkannya (Abdul Jabbar, 1983). Hal ini menegaskan pentingnya kembali menghidupkan tradisi intelektual yang relevan dengan kebutuhan sosial dan politik.

HMI perlu menghidupkan kembali tradisi intelektual yang relevan dengan konteks sosial-politik. Intelektual, menurut Antonio Gramsci (1891–1937), seorang pemikir Italia yang memperkenalkan konsep intelektual organik di ruang publik, harus berfungsi sebagai perumus dan artikulator ideologi yang memberi dampak sosial. Konsep intelektual organik ini merujuk pada individu yang berfungsi sebagai perumus ideologi yang berkembang di tengah masyarakat dan memiliki peran aktif dalam mempengaruhi perubahan sosial-politik.

Dengan begitu, HMI bisa menjalankan fungsinya sebagai organisasi kader mahasiswa Islam yang dapat beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan zaman. Untuk mencapai hal ini, konsolidasi organisasi dan penguatan kekuatan internal menjadi langkah penting yang perlu dilakukan.

Dengan demikian, HMI perlu memetakan dua hal utama ini—posisi politiknya dan tradisi intelektualnya—sehingga organisasi dapat menyiapkan diri menghadapi perubahan zaman yang cepat dan memastikan kader-kadernya mampu memainkan peran yang signifikan di masa depan.

Mengukuhkan HMI untuk Indonesia

Setelah 27 tahun pasca-reformasi, Indonesia kini dihadapkan pada situasi yang penuh tantangan dalam perjalanan demokrasi. Meski telah menjalani transisi demokrasi tanpa pertumpahan darah, kenyataannya pemerintah belum sepenuhnya memenuhi harapan rakyat. Setiap hari, kita masih menyaksikan permainan hukum, politik yang dangkal, serta ketidakadilan terhadap hak-hak rakyat. Hal ini memunculkan dilema besar, di mana jalan yang benar atau salah tidaklah selalu jelas.

Dalam kondisi seperti ini, keputusan untuk terus berusaha, meskipun tidak sempurna, tetap memberi harapan. Seperti kata pepatah, kita mungkin tidak bisa memindahkan gunung, tetapi kita bisa mengangkat batu-batu kecil di tebing terjal. Di sinilah peran Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menjadi sangat penting. Sebagai organisasi mahasiswa tertua dan terbesar, HMI memiliki energi besar yang tersebar dari kota-kota besar hingga pelosok desa. Sebagai modal sosial yang kuat, HMI memainkan peran yang sangat berpengaruh dalam perubahan Indonesia.

Peta jalan yang telah dibahas sebelumnya—di mana HMI perlu memiliki posisi yang jelas dalam struktur politik dan menghidupkan kembali tradisi intelektualnya—merupakan langkah konkret yang perlu diambil. HMI perlu kembali menjadi aktor perubahan yang aktif, tidak hanya berfungsi sebagai agen kontrol atas dinamika sosial-politik, tetapi juga sebagai penggerak intelektual yang mampu beradaptasi dengan tantangan zaman.

HMI perlu kembali mengukuhkan komitmen terhadap nilai-nilai Keislaman dan Keindonesiaan yang sejalan dengan semangat demokratisasi dan pembaruan. Seiring dengan momentum Dies Natalis HMI ke-78, ini adalah waktu yang tepat untuk menguatkan kembali posisi HMI sebagai penjaga eksistensi bangsa, menumbuhkan harapan, dan memberi kontribusi nyata bagi Indonesia yang lebih baik.

Fauzan Muzakki
Fauzan Muzakki
Mahasiswa doktor hukum Universitas Jayabaya
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.