Meninggalnya sang maestro campursari Didi Kempot tanggal 5 Mei 2020 saat Pandemi Covid-19 menjadi musuh bersama seluruh dunia, tak kurang menyisakan kehilangan terdalam bagi para penggemar fanatik. Pasalnya sebelum tutup usia ke-54 penyanyi yang terkenal dengan lagu Cidro bagi pendengar milineal ini, terlibat aktif dalam penggalangan dana melalui konser dari rumah dan merilis tembang “Ojo Mudik” untuk melawan virus mematikan itu.
Kepergian Didi Kempot di tengah situasi berbahaya ini penting dicatat sebagai bentuk perjuangan kemanusiaan melalui musik demi kepentingan bersama. Sebagaimana kita tahu para dokter dan tenaga medis yang bekerja keras menangani pasien positif Covid-19 dengan resiko kematian yang harus dihadapi sangat besar karena tidak memadainya Alat Pelindung Diri (APD). Sehingga tidak sedikit jumlah dokter dan tenaga medis meninggal dunia akibat tertular penyakit mematikan itu kemudian menyandang gelar pahlawan kemanusiaan.
Kerja keras Didi Kempot di akhir hayatnya selama pandemi Covid-19 ini sekurang-kurangnya harus kita lihat dari kacamata kemanusiaan yang adil dan beradab. Supaya pembacaan kita atas karya-karya Didi Kempot tidak simplisistik dan sederhana sebatas Stasiun Balapan, Terminal Tirtonadi, Pantai Klayar, Juwana Rembang dan lain-lain sebagai tempat para pemudik merindukan kampung halaman. Karena lebih dari pada itu Cidro, Kalung Emas, Layang Kangen, Pamer Bojo, Sewu Kutho, Ninggali Tatu dan sebagainya adalah karya-karya otentik nan jujur sang maestro di belantika musik tanah air.
Apalagi jika kita mengingat lagunya berjudul Ora Iso Mulih (2019), sang maestro campursari ini saya kira berhasil membaca hari depan sosiologis masyarakat Indonesia, jauh-jauh hari sebelum pernyataan Presiden Jokowi tentang mudik dan pulang kampung menjadi viral di linimassa. Melalui nada dan irama, Didi Kempot begitu canggih menyampaikan kegelisahan sosial kaum urban yang tidak bisa mudik ke kampung halaman karena harus bekerja di musim lebaran.
Berbeda dengan lagunya yang akhir-akhir ini didedikasikan untuk menggalang dana dan mencegah penyebaran Covid-19 ke berbagai daerah dengan tingkat penularan yang semakin luas. Lagu Ojo Mudik yang disenandungkan bersama dengan Walikota Surakarta adalah jawaban sosiologis atas persoalan ekonomi-politik masyarakat Indonesia yang tidak bisa mudik karena Pandemi Covid-19. Sehingga Ojo Mudik merupakan strategi kultural cerdas yang diciptakan Didi Kempot terhadap kebijakan pemerintah yang mendua ketika menerapkan peraturan tidak konsisten dan kurang memperhatikan keselamatan dan kesehatan warga.
Bayangkan, saat kepanikan moral terjadi akibat sistem pelayanan kesehatan nasional bobol menangani pasien positif Covid-19 dengan jumlah kematian yang terus meningkat. Dan sistem sosial masyarakat teledor menjaring dampak-dampak psikologis seperti kasus di beberapa daerah terdapat penolakan jenazah korban Covid-19. Kematian sang maestro akibat kerja kemanusiaan yang tiada tanding itu patut kita renungkan sedalam-dalamnya untuk memupuk kesadaran kita tentang kepedulian dan keterbukaan menghadapi wabah yang lebih mematikan.
Kekhawatiran Nasional
Sebagaimana penggemar fanatik yang merasakan begitu kehilangan sang maestro dengan memutar ulang lagu-lagunya di setiap kesempatan yang ada. Saya pribadi melakukan hal serupa mendengarkan lagu-lagunya dengan penuh kesedihan. Maklum, kesan pribadi lagu Cidro bagi saya terlalu membekas di hati terutama liriknya yang bermakna dan musiknya yang menyentuh. Kepergian sang maestro tak kurang membuat kekhawatiran penggemar fanatik menjadi kenyataan tanpa Didi Kempot di panggung musik nasional.
Pertanyaannya kenapa penggemar fanatik perlu khawatir atas kepergian sang maestro? Jawabannya tidak akan mudah kita sampaikan di sini karena lagu yang diciptakan oleh sang maestro tidak sedikit jumlahnya. Sehingga sangat sulit rasanya jika kita harus menginterpretasikan satu lagu dengan lagu yang lainnya untuk menerangkan The Godfather of Broken Heart. Sebab, saya yakin setiap lagu yang lahir dari tangan dingin seorang Didi Kempot mempunyai kisah bersambung yang pasti menjelaskan setiap perasaan yang menegangkan.
Sebagai contoh lagu Ora Iso Mulih dan Ojo Mudik seperti yang sudah saya jelaskan di atas, sepertinya sangat sulit dirasakan lirik lagu keduanya terpisah dari satu tradisi mudik. Terlebih pandemi Covid-19 yang membuat masyarakat panik dan lelah menunggu sikap pemerintah menanggulangi penyebaran virus mematikan itu. Bahkan sampai titik tertentu pemerintah mencederai janji politiknya dengan tidak lebih memperhatikan pertumbuhan ekonomi dari pada kesejahteraan rakyat dimasa pandemi ini. Bukankah lagu Cidro Janji relevan untuk membaca fenomena saat ini?
Didi Kempot dan lagu-lagunya merupakan bentuk kekhawatiran nasional yang berada di tengah-tengah masyarakat lelah. Meskipun tanpa kenal lelah sang maestro bekerja terus demi perjuangan batin melawan diri sendiri dari kehidupan masyarakat yang panik. Sampai pada titik inilah Didi Kempot perlu meninggalkan kita semua agar kerja-kerja kemanusiaan dan karya-karya terbaiknya dibaca generasi penerus sebagai obat mujarab bagi penyakit mental yang mengerikan. Mungkin begitu.