Sisa-sisa dari superioritas final liga champion nampak tidak bisa disapu bersih begitu saja dari ingatan kolektif kita. Bukan menyoal girasnya perilaku Sergio Ramos terhadap Salah, tendangan kelas wahid dari Gareth Bale hingga kiper Liverpool yang miskin percaya diri, melainkan tentang goresan cerita pandemen bola dalam negeri.
Seonggok berita berkepala ”Nobar Final Liga Champions Berakhir Ricuh” membiak sebuah persepsi mengenai mudahnya emosi masyarakat kita untuk tersulut bahkan terhadap sanak sedulur di sekitar mereka.
Adalah suporter bola yang terlibat dalam nonton bareng pertandingan final liga champion antara Real Madrid melawan Liverpool. Salah satu tempat nobar yang mengundang animo besar adalah Epicentrum Walk yang berada di bilangan Kuningan, Jakarta.
Kedua kubu pendukung telah memadati Epicentrum jauh waktu sebelum kick off didendangkan. Secara akademis, Soekanto (1990), menjelaskan bahwa supporter merupakan salah satu bentuk kelompok sosial yang mempunyai kecenderungan secara relatif tidak teratur dan kelompok tersebut terjadi karena hanya ingin melihat sesuatu (spectator crowd).
Laga di Olimpisky Stadium sedari awal sudah berlangsung sengit dan alot. Pertandingan ini pun sukses memainkan perasaan penonton di Epiwalk malam itu. Namun pada suatu waktu prosesi nonton bareng ini turut dihiasi oleh adu mulut dari masing-masing kubu fans.
Jurnas.com membeberkan lebih jauh mengenai tatak jejak bagaimana peristiwa tersebut terjadi. Pada mulanya kerumunan masyarakat dengan komposisi Liverpudlian dan Madridista lungguh bareng menjadi saksi terbantainya Liverpool malam itu.
Semua bermula semenjak Bale sukses menelurkan gol kedua El-Real.Lempar tangkap ejekan kedua pendukung mulai menyambar kesana kemari. Tak luput terbangnya botol dan bangku turut mewarnai Nobar Spesial di Epicentrum malam itu. Yang patut disesalkan adalah peristiwa ini menjangkit sesama anak bangsa yang berkedudukan sebagai pendukung layar kaca. Lebih lazim jika kericuhan semacam ini terjadi langsung di stadion atas dasar atmosfer yang dapat dirasa langsung.
Sementara kacamata sosiologi memandang ini sebagai konflik horisontal antar pandemen bola. Merujuk pernyataan Winardi (2007) bahwa, konflik dirumuskan sebagai sesuatu emosi yang tidak sesuai satu sama lain, pada diri individu satu dengan lainnya yang kemudian menyebabkan timbulnya pertentangan atau interaksi yang bersifat konstruktif. Tergambar langsung bahwa yang merongrong persatuan Indonesia tak lain karena faktor kuatnya gangguan,tantangan yang dibawa langsung dari luar negeri.
Kekejaman sepakbola telah memeras jerih payah masyarakat kita untuk tetap merajut kesatuan. Laiknya sebuah pertandingan tentu menyuguhkan pro-kontra terlepas dari rahim siapa pro-kontra tersebut lahir. Adanya pergulatan argumentasi khas pandemen bola harusnya dapat disikapi di dalam batas kewajaran.
Budaya fanatisme nampaknya telah berurat akar dalam masyarakat multikultural kita. Fanatisme berlebihan menyoal kepada sesuatu tentu tidak baik dampaknya.Dimana sedikit saja kita menyenggol hal yang menjadikan individu tersebut fanatik maka akan menelurkan pembelaan yang luar biasa dari individu tersebut.
Apa yang tervisualisasi dari peristiwa kericuhan di Epicentrum mencoretkan tinta semu kebodohan masyarakat kaitannya dengan kesadaran bersama sebagai sebuah bangsa. Begitu mudahnya masyarakat terpecah hanya karena sebuah tontonan 90 menit dimana kedudukan mereka hanya sebagai penonton layar kaca.
Pengamatan yang penulis lakukan mengenai besarnya pengaruh fanatisme perisitiwa ini yaitu suporter datang menggunakan atribut tim kesayangan mereka.Tak lain atribut yang bergelantung mewah di badan mereka adalah sebuah bukti kecintaan kepada tim mereka masing-masing.
Adapun beberapa hal yang dapat penulis analisis mengenai apa saja yang dapat berpengaruh besar terhadap perilaku supporter bola:
- Kepemimpinan Wasit Dalam Sebuah Pertandingan
Dalam sebuah pertandingan akbar dengan tensi tinggi pengadil pertandingan di tuntut untuk lebih jeli.Wasit adalah individu yang paling disorot utamanya bagaimana dia memimpin,benar-benar simbol seseorang pengadil atau ada bercak kontroversi yang ia torehkan di lapangan.Hal ini yang sering kali diungkit dan merupakan akar dari biang kerusuhan di luar lapangan.
2. Permainan Kasar Tim Lawan
Esensi keindahan sebuah pertandingan dapat dinikmati selagi pertandingan masih berjalan normatif,fairplay dan kental akan respect dari kedua kesebelasan.Jika sudah menjurus kepada permainan keras dan bengal seperti apa yang tergambar lewat perilaku Ramos malam itu,penonton terdorong untuk lebih hiperaktif dan berubah menjadi acting mobs.
3. Tumbangnya sang tim kebanggaan.
Pandemen sepakbola khususnya di Epicentrum sewaktu nobar liga champion,dan di Indonesia pada umumnya belum dewasa untuk menerima hasil akhir.Suporter akan merasa puas dan senang jika timnya menuai kemenangan.Sebaliknya,suporter akan kecewa dan merasa terhina apabila tim favoritnya memanen kekalahan bahkan pembantaian.Inilah salah satu sisi lemahnya kontrol suporter sepakbola tanah air.Disamping digembar-gemborkannya kedigdayaan suporter Indonesia yang sangat fanatis,ternyata masih meninggalkan tompel buruk.
Dari peliknya masalah dunia persuporteran tanah air,dapat kita kupas seonggok fakta mengenai suporter,yaiut sebagai periuh suasana dan biang dari kerusuhan.Fakta bahwa pertandingan bola yang disuguhkan malah berkembang sebagai sebuah ancaman pemecah belah bangsa cukup sukar untuk dipatahkan.Andil besar sebagai masyarakat multikultural dan bangsa besar seolah-olah adalah lahan subur berkembangnya perpecahan semacam ini.Mereka adalah budak yang asik ditunggangi pengaruh barat dengan maha besar ancaman,tantangan dan gangguan bagi persatuan kesatuan bangsa Indonesia.