Rangkaian proses pendaftaran calon kepala daerah yang ikut kontestasi pilkada serentak yang akan digelar 27 November 2024 sudah selesai. Masing-masing calon sekarang sedang menyusun strategi yang dipakai untuk menarik simpati warga masyarakat. Kondisi politik tanah air mulai mendingin dan berangsur-angsur kondusif.
Jika kita flashback, dalam rentang waktu dua minggu belakang isu terkait dengan ambang batas usia calon kepala daerah menjadi fenomenal dan memicu demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa. Hal ini disebabkan oleh Baleg DPR yang mencoba melakukan revisi terhadap keputusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024, walaupun pada akhirnya batal. Yang penulis tangkap bahwa usia calon kepala daerah (30 tahun) terhitung sejak proses pendaftaran bukan pada saat pelantikan.
Artinya siapapun calon kepala daerah yang belum mencapai umur yang dipersyaratkan pada saat pendaftaran di KPU tidak bisa ikut kontestasi. Menurut hemat penullis, pembatasan ini tentunya tidak hanya sebatas limitasi administrasi saja, tentunya ada reason tersendiri yang ilmiah dan akademis. Karena ini menyangkut hak warga negara Indonesia untuk bisa dipilih dan memilih sebagaimana yang diatur oleh undang-undang.
Aspek Manajerial dan Psikologi
Seberapa berpengaruhkah faktor usia terhadap kemampuan dalam memimpin? Usia memberi pengaruh penting terhadap kemampuan leadership seseorang khususnya calon pemimpin di suatu daerah seperti gubernur. Karena pimpinan merupakan public figure yang sejatinya menjadi role model, panutan dan tauladan bagi khalayak ramai yang setiap kebijakan yang dibuat berdampak terhadap khalayak ramai.
Maka, kemampuan manajerial, problem solving terhadapa suatu masalah, ketenangan dan kedewasaan dalam pengambilan keputusan, kematangan usia menjadi parameter penting yang harus ada pada sosok pemimpin. Dalam tataran manajerial seperti kegiatan mengayomi, mentoring, membimbing sangat tergantung pada pengalaman dan akumulasi pengetahuan, kompetensi sosial yang itu semua sangat berkorelasi dengan usia seseorang (Salthouse, 2012).
Demikian dapat diasumsikan, diatas kertas, keberhasilan manajerial berbanding lurus dengan faktor usia. Pendapat ini diperkuat dengan hasil riset oleh beberapa ahli yang menyatakan bahwa mayoritas orang-orang ingin dipimpin oleh seorang pemimpin yang sudah matang dalam usia karena dianggap berpengalaman dan bertanggungjawab dalam menggunakan autotarian power pada saat mereka berada dalam suatu masalah (Antonakis;2011, Bass & Bass; 2008 dan Kakabadse dkk; 1998). Secara teoritis dapat dipahami, sekali lagi, bahwa rakyat melihat kapasitas pemimpin yang sudah cukup umur lebih mampu menyelesaikan permasalahan, lebih tenang, dan dianggap bisa mengontrol emosi.
Lalu pertanyaan sederhananya umur berapa seseorang dianggap punya kapasitas untuk menjadi pemimpin sebuah pemerintahan? Kalau merujuk pada pendapat Larsson dan Bjorklund (2020) pemimpin muda yang berumur 29 tahun ke bawah lebih cocok menjadi leader pada private sector misalnya sebuah perusahaan, firma, atau CEO. Tetapi mereka yang berumur 30 tahun keatas lebih cocok untuk memimpin dalam level publik yang lebih tinggi seperti pada instansi pemerintahan.
Pemimpin dunia yang berusia muda pada saatt dilantik, jika ditelisik secara detail mereka berusia diatas tiga puluh tahun. Misalnya presiden termuda Ekuador, Danil Noboa berumur 35 tahun, Sanna Marin perdana menteri Finlandia berusia 36 tahun, Gabriel Boric presiden Chile 35 tahun, Jacob Milatovic presiden Montenegro 36 tahun, Nayib Bukule presiden Elsavador 37 tahun, perdana Menteri Georgia Irakli Garibahsvili berusia 31 tahun, Jacinda Ardern perdana Menteri Selandia Baru berusia 37 tahun, dan Emmanuel Macron presiden Prancis 39 tahun.
Untuk skala dalam negeri setidaknya ada 2 nama rekor gubernur termuda yakni Zumi Zola mantan gubernur Jambi yang pada saat dilantik 2016 berusia 36 tahun, dan kedua adalah Andi Sudirman Sulaiman gubernur Sulawesi Selatan yang berusia 38 tahun. Dengan demikian, belum ada pimpinan daerah daerah (gubernur) yang berusia 30 tahun. Dapat ditarik benang merah bahwa teori tentang usia pemimpin sebagaimana yang dijelaskan ada juga benarnya untuk diterapkan.
Menjadi kepala daerah, khususnya pada level provinsi tentu berbeda dengan sebuah perusahaan yang karyawannya bisa dikondisikan, yang terkadang diikat dengan kontrak dan perjanjian tertulis yang lebih gampang dikondisikan. Tenunya dengan “masyarakat” yang agak homogen.
Akan tetapi beda cerita dengan memimpin provinsi yang warganya sangat heterogen dan “berwarna” dalam banyak hal seperti sosial, ekonomi, afiliasi politik, bahkan kepercayaan sehingga membutuhkan kemampuan leadership secara holistik dan manajemen yang handal. Tidak sampai disitu, ketenangan secara psikologi atas tekanan dan kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan juga menjadi variabel penting. Yang kesemua parameter ini didapat seiring dengan bertambahnya usia.
Variabel sosio-kultural
Untuk ranah sosio-kultural, Indonesia selaku negara yang menjunjung tinggi adat dan tradisi ketimuran, memilih (calon) pemimpin senior dalam hal umur masih menjadi pertimbangan. Pada umumnya berlaku dari level paling bawah sampai provinsi, dan mengakar sangat kuat dalam tatanan sosial masyarakat.
Budaya Eastern (ketimuran) masih memegang kepercayaan bahwa senior dalam hal umur lebih mendapat tempat untuk jadi pucuk pimpinan (Vauclair;2017, Ackerman & Chopik; 2020) Masyarakat beranggapan sosok pemimpin yang berumur, katakanlah diatas kepala tiga dipersepsikan mempunyai ketokohan, kematangan sosial dan kebijaksaan yang luwes dalam pengambilan keputusan. Yang lebih tua dianggap sarat pengalaman, walaupun tidak seratus persen benar.
Adagium ini berlaku dalam tradisi kepemimpinan sampai ruang lingkup terkecil sekalipun seperti RT dan RW. Sentimen-sentimen negatif terkadang banyak bersileweran ketika dipimpin oleh kaum muda, seperti anak kemarin sore, masih ingusan, belum cukup umur, menandakan bahwa tradisi budaya kita masih memegang teguh bahwa pemimpin yang berumur masih menjadi primadona. Karena dalam prakteknya, pada saat kontestasi mencari pemimpin, khususnya dalam bidang pemerintahan, persyaratan usia tertentu masih dicantumkan. Ini secara tersirat dapat diinterpretasikan bahwa umur masih masuk kategori yang perlu diperhitungkan untuk menjadi pemimpin.
Memilih pemimpin tentunya tidak hanya mengandalkan satu variable saja, tetapi banyak hal yang mesti menjadi pertimbangan satu diantaranya kematangan umur. Walaupun tidak ada jaminan pasti bahwa kaum muda (di bawah 30 tahun) tidak sukses menjalankan pemerintahan dibandingkan dengan mereka yang diatas 30 tahun. Kita berharap banyak tentunya rasionalitas umur akan berbanding lurus dengan kesuksesan daerah yang akan dipimpin.